Serra merasa gelisah malam ini. Ia sudah mencoba untuk memejamkan mata akan tetapi ada perasaan cemas yang mengusiknya. Hatinya saat ini merasa tidak tenang. Sudah pukul sebelas malam sejak Gamma dan William meninggalkan rumah. Namun, kedua pria dewasa itu belum juga kembali. Entah kemana mereka, juga ada yang terjadi dengan mereka, Serra hanya bisa menerka-nerka.Sejak tadi tubuh mungilnya itu hanya terbaring di atas ranjang. Sudah berbagai posisi ia coba untuk mencari posisi nyaman, sayangnya gelisah itu masih saja menganggunya.Dimana Gamma saat ini?Beberapa detik kemudian terdengar suara gagang pintu ditekan. Serra menoleh ke arah sumber suara ternyata Gamma sudah kembali. "Gamma?" sapanya kemudian ia bangkit dari tidurnya. Serra duduk bersila di atas kasur. Dahi perempuan itu mengernyit ketika mendapati hal berbeda pada suaminya. Gamma terlihat lemas dan pucat. Lalu ada sebuah pad kecil berwarna putih yang menempel di lengan kiri pria itu."Kenapa kau belum tidur?" tanya Ga
Pagi ini, Serra merasa hamparan bunga sedang memenuhi hatinya. Membuat dua sudut bibirnya terangkat bersamaan. Pertama kalinya ia membuka mata di pagi Hari tetapi bisa menemukan sang suami masih memeluknya dari belakang. Jika selama ini pelukan itu hanya terjadi karena faktor ketidaksengajaan, untuk saat ini bisa ia pastikan karena kemauan Gamma sendiri.Walau dalam hatinya masih menyimpan sebuah teka-teki besar yang belum bisa ia pecahkan, tentang apa yang membuat Gamma berubah drastis seperti ini. Akan tetapi ia sudah bersyukur karena suaminya itu setidaknya sudah berlaku baik padanya."Gamma," panggil Serra. Wanita itu masih dalam pelukan Gamma, ia berusaha membalikkan badannya hingga saat ini tubuh mereka berdua telah saling berhadapan. "Pagi," balasnya ketika membuka mata. Detik berikutnya Gamma mendaratkan sebuah kecupan di bibir istrinya selanjutnya kelopak mata itu kembali terpejam.Serra yang tidak terbiasa akan hal ini mendadak kaku. Haruskah ia membalas kecupan Gamma?"Ka
"Baiklah, aku akan menunggumu hingga sembuh."Serra memutuskan untuk merawat suaminya. Rasa takut dalam hatinya ia tepis kuat-kuat dengan anggapan Mungkin saja khawatir itu hanyalah perasaannya saja karena belum mengunjungi Rena beberapa hari ini.Ia tidak bisa egois. Harus menyadari bahwa kehidupannya tidak lagi sendiri. Lagi pula ada madam Lily yang menjaga Rena. Jika memang firasatnya benar, maka madam Lily pasti sudah mengabarinya.Begitulah pemikiran Serra saat ini.Sementara Gamma hanya diam memeluk Serra yang kini telah berada dalam dekapannya. Entah benar atau tidak saat ini Gamma memilih untuk mengikuti kata hati. Ia menghela napas lega walau tak terdengar. Syukurlah, bila Serra memutuskan untuk diam di rumah bersamanya. Ia belum sanggup melihat kekacuan yang terjadi."Sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau bisa sakit seperti ini?" tanya Serra. Perempuan itu merasa janggal. suaminya baik-baik saja saat pergi dengan William kemarin siang, tetapi kembali dengan kond
Gamma segera mengusap layar untuk mengangkat panggilan itu. Dalam benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Apa yang terjadi hingga William menelponnya sepagi ini.Jika memang ada yang terjadi, ia harap bukan hal buruk.q"Ada apa, Will?" tanya Gamma begitu benda pipih dengan layar menyala itu berada di samping telinganya. Nada Gamma memang datar, tetapi ada kepanikan di sana.["Tenanglah. Tidak ada hal buruk yang terjadi. Justru aku mau memberitahumu kalau kondisi Rena membaik. Kau baik-baik saja, kan?"] Terdengar suara ribut selain William dari seberang sana, beberapa langkah kaki, lalu suara troli untuk ransum pasien. Maklum rumah sakit di pagi hari cukup memiliki aktivitas yang banyak. "Syukurlah kalau begitu. Aku aman, Will, jangan khawatir. Lalu kenapa kau pagi-pagi sudah ke sana?" ["Rena yang memintaku untuk ke sini sebelum aku bekerja. Dan, katanya dokter hari ini bisa melakukan tindakan karena kondisinya semakin pulih. Sekarang dia sedang di observ
Apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Gamma Pranadipta? Semuanya bisa kecuali keinginan istrinya. Terasa sangat Sulit untuk ia kabulkan. Hanya perkara Almond tuiles saja citranya sebagai pengusaha yang bergelimang harta hilang seketika.Bagaimana tidak? Serra menginginkan makanan itu, tetapi ia tak bisa mengabulkannya. Bukan karena uang, tetapi karena Serra menolak semua toko yang telah rekomendasikan.Huft!Kini, Kedua netra Gamma sedang fokus mencermati deretan huruf dan angka yang tertera pada layar komputer jinjingnya. sesekali menikmati sajian film drama china kesukaan sang istri. Sedangkan Serra kini sedang berdiri mondar-mandir di hadapannya sembari menerima telepon dari seseorang.Bian Aditama.Sejak tadi Serra ingin menghubungi pria itu. Ia teringat kembali dengan perkara almond tuiles yang membuatnya berdebat dengan Gamma sehari yang lalu. Tetapi sepertinya dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadanya. Karena jawaban Bian diluar dugaan.["Maaf, Serra. Bukan aku tidak
"Ra, dasiku dimana?" Jari-jari Gamma menyisir barisan dasi yang tergantung rapi di walk in closet berukuran 13 meter itu. Ia sedang mencari dasi berwarna biru tua bermotif garis, namun sejak tadi ia gak jua menemukannya.Sementara itu, Serra sedang menyetrika kembali jas senada yang akan digunakan suaminya. Dengan secepat kilat Serra mematikan setrika dan dan segera menghampiri Gamma, tak lupa membawa jas yang telah selesai ia setrika.Alis wanita itu bertaut saat tiba di hadapan sang suami. Bagaimana bisa Gamma bertanya dasinya dimana sedangkan puluhan dasi sudah tergantung di hadapannya? "Bukankah dihadapanmu itu banyak dasi?" tanya Serra kemudian meletakkan jas gamma pada sebuah gantungan."Tidak ada yang aku cari. Biru tua motif garis!" Gamma menoleh ke arah Serra. Pria itu menatapnya dengan tatapan datar seraya membenarkan posisi jam tangannya.Serra lantas mengernyitkan dahi. "Harus yang itu ya?"Anggukan kepala diberikan oleh Gamma. "Ya, aku haru
Di kantor"Ada apa, Gamma? Kenapa kau memanggilku sepagi ini?" tanya William yang baru saja melemparkan tubuhnya pada sebuah sofa berwarna merah di ruang kerja Gamma. Pria yang sedang mengenakan jas berwarna abu-abu itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, bahkan mungkin posisi william hampir merebahkan diri dengan kedua kelopak mata yang terpejam.Sementara itu, Gamma sedang duduk pada kursi kebesarannya sembari mengutak-atik layar tab berwarna silver lantas menekuk dahi. Kedua netra pria itu menyipit kala mendapati hal tak biasa pada wajah William. Adik lelakinya itu tampak letih, tubuh kekarnya tak sebugar biasanya. Kedua kantung mata yang cukup menggantung itu juga menganggu pandangan Gamma.Ditambah lagi, adiknya itu menguap membuat Gamma semakin bertanya-tanya, apakah William tak sempat tidur? Memang beberapa hari ini ia tak bertemu dengan Adik angkatnya itu. Bahkan sejak kemarin malam, lelaki itu hanya mengantarnya pulang, kemudian pergi lagi. Lalu, semalam William juga t
Sementara itu, Di jam yang sama di tempat yang berbeda."Aku sudah kenyang, Kak," kata Rena sebelum menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan ketika sebuah sendok berisi bubur di sodorkan tepat di hadapannya. Perempuan bertubuh kurus itu menolak tawaran Serra untuk melanjutkan sarapannya barang satu suap lagi. Sedangkan Serra yang baru beberapa detik yang lalu menyuapinya hanya bisa menghela napas pelan. Berusaha berpikir bagaimana caranya agar Rena bisa makan lebih banyak lagi.Adik semata wayangnya itu sejak dulu selalu sama, tidak akan makan lebih dari tiga suap setiap paginya meski diiming-imingi dengan barang keinginannya. Padahal tubuh lemahnya membutuhkan banyak asupan gizi."Satu lagi, ya? Satu sendok saja, yang terakhir," rayu Serra dan kembali mendekatkan sendoknya ke arah Rena.Sementara Rena yang sudah tidak berminat menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya bahkan belum beranjak dari wajahnya. "Aku sudah mual."Serra lantas menarik kembal