Sementara itu, Di jam yang sama di tempat yang berbeda.
"Aku sudah kenyang, Kak," kata Rena sebelum menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan ketika sebuah sendok berisi bubur di sodorkan tepat di hadapannya.Perempuan bertubuh kurus itu menolak tawaran Serra untuk melanjutkan sarapannya barang satu suap lagi. Sedangkan Serra yang baru beberapa detik yang lalu menyuapinya hanya bisa menghela napas pelan. Berusaha berpikir bagaimana caranya agar Rena bisa makan lebih banyak lagi.Adik semata wayangnya itu sejak dulu selalu sama, tidak akan makan lebih dari tiga suap setiap paginya meski diiming-imingi dengan barang keinginannya. Padahal tubuh lemahnya membutuhkan banyak asupan gizi."Satu lagi, ya? Satu sendok saja, yang terakhir," rayu Serra dan kembali mendekatkan sendoknya ke arah Rena.Sementara Rena yang sudah tidak berminat menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya bahkan belum beranjak dari wajahnya. "Aku sudah mual."Serra lantas menarik kembal"Rena! Hidungmu berdarah, Sayang, sebentar Kakak panggilkan dokter!" Serra bangkit dari tidurnya tetapi saat kedua kakinya hampir turun dari ranjang, Tangannya ditahan oleh Rena membuat Serra hanya terduduk di atas brankar. Sebenarnya mimisan semacam ini sudah menjadi hal yang biasa bagi Rena juga hal yang tabu bagi Serra. Karena sebelum rawat inap di rumah sakit ini, mereka tinggal bersama dalam satu atap. Tetapi saat ini Serra tak ingin ada hal buruk yang terjadi mengingat stadium kanker yang telah diderita oleh Rena. Jika lalai karena hal sepele saja mungkin akan menyebabkan kefatalan.Namun, meski tengah mengeluarkan darah cukup banyak, Rena yang masih terlihat tenang. Seakan tak peduli dengan darah yang mengalir deras. Perempuan itu menggeleng lemah. "No, Kak,aku tidak mau dipanggilkan dokter!""Tapi, Rena, ini—""Kak, please! Sekali ini saja. Aku ingin merasakan sehari saja tanpa jarum suntik. Ini hanya mimisan biasa. Aku tidak apa-apa," potong Rena sebelum Serra melanjutkan a
Serra menatap Madam Lily dengan Serius. Wanita yang tengah mengandung calon keturunan Pranadipta itu masih menanti jawaban dari ibu asuhnya. Sementara Madam lily membuang pandangan dari Serra, ia sedang berusaha memutar otaknya, memikirkan bagaimana cara mencari argumen yang tepat agar ia tak kelepasan bicara. Ia tak akan membiarkan itu terjadi. Jika nine night club berhasil diruntuhkan Gamma, maka ia tak akaj memiliki penghasilan apa-apa.wanita itu lantas membuang napas kasar. "Serra, sesuai perjanjian aku tidak bisa menyebutkan siapa mereka," jawab Madam Lily seraya menyandarkan punggungya. "Lagipula, kau hanya cukup bersyukur saja karena mereka tak mengharapkan ucapan terima kasihmu."Karena mendapat jawaban yang tidak sesuai dengan harapan, Serra lantas membuang napas pelan. "Aku hanya ingin menghargai mereka, Madam. Terlebih apa yang mereka lakukan begitu berarti. Tetapi jika mereka memang tidak mau, aku menghargai keputusan itu. Tolong sampaikan rasa terima kasihku kepada mer
"Memangnya kita mau kemana?" Serra mengernyitkan dahinya ketika mendengar pernyataan Gamma yang akan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Jelas Serra merasa aneh, karena Gamma sangat jarang mengajaknya pergi secara pribadi seperti ini kecuali dalam acara penting yang harus melibatkan Serra seperti pesta perusahaan beberapa waktu yang lalu."Rahasia. Intinya kau tidak usah memasak, dan berdandanlah secantik mungkin, aku jemput jam tujuh, oke?" Jawab laki-laki itu kembali. Alih-alih memudar kerutan di dahi Serra semakin menekuk dalam. Tetapi, meskipun begitu ia menjawab suaminya dengan pasrah hingga terdengar sebuah helaan napas dari bibir mungilnya."Ya sudah, terserah kau saja. Tapi beri tahu aku, apakah ini acara penting? Aku akan menyesuaikan bajuku jika itu memang acara formal seperti yang kita hadiri kemarin." Bukan tanpa alasan Serra bertanya demikian. Tentu ia tak ingin mempermalukan dirinya dengan kejadian salah kostum pada sebuah acara. Apalagi jika acara biasa tetapi dandannya
"Ga— Gamma?"Serra segera membalikkan badannya saat mendengar suara berat milik Gamma. Kini, Suaminya itu tengah berdiri di hadapannya seraya bersedekap. Matanya menatap tajam membuat Tenggorokan perempuan itu mendadak terasa kering hingga susah payah menelan ludahnya sendiri. Bagaimana bisa Gamma sudah berada di kamarnya? Sedangkan lelaki itu berkata jika akan menjemputnya pukul tujuh. "Gamma aku—""Apa yang kau lakukan, Sayang? Kau mencari sesuatu?" potong Gamma lalu melangkah maju ke arah istrinya. Sedangkan Serra kini tercenung sebab raut wajah garang lelaki itu berubah ramah dalam hitungan detik. Secepat itukah Gamma bisa merubah eskpresinya? Tapi mengapa?"Ah, iya aku .... Aku tadi mencari anting dan ternyata ada di sini," jawab Serra sambil menggaruk pelipisnya sendiri. Perempuan itu menunjuk laci yang sedang terbuka itu dengan telunjuknya. Tidak ada reaksi berlebihan yang ditampilkan oleh Gamma. Pria itu hanya berohria saja dengan menyunggingkan bibirnya — tersenyum ke arah S
Bibir Gamma mendadak kaku saat sang istri baru saja menangkap basah dirinya yang sedang menerima telepon di balkon. Entah sejak kapan wanita itu berada di ambang pintu itu, tetapi ia harap semoga Serra hanya mendengar kalimat terakhirnya saja. Karena apa yang ia bicarakan adalah berkaitan dengan Rena.Pria itu berusaha untuk menampilkan wajah tenang walau sebenarnya ia panik dan gelisah. Harus bagaimana sekarang? Tidak mungkin Gamma memberitahukan semua hal yang william katakan kepadanya tadi. Sedangkan Serra masih bersedekap menatap sang suami, kedua alisnya bertautan seakan melayangkan pertanyaan besar ada apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa ia tak boleh tahu? Lalu, harga apa? Mengapa ada kata yang terbaik dan apapun ia setuju?Karena Gamma tidak memberikan jawaban, Serra kemudian menegakkan badannya. Selanjutnya, perempuan berambut sebahu itu mengurai dekapan tangannya sendiri. "Ada apa, Gamma? Kenapa kau diam saja? Apa yang terjadi hingga kau menyetujui apapun yang terbaik?" t
Romana mengernyit saat melihat penampilan Serra begitu berbeda. Perempuan itu mengenakan dress monokrom, wajahnya juga sudah terpoles dengan make up tipis. Ya Romana tahu Serra akan pergi bersama Gamma, putranya. Bukan itu yang menjadi pertanyaan dalam hati perempuan berusia paruh baya itu. Ia mengernyitkan dahi karena mendapati Raut wajah menantunya itu menegang."Serra? Kenapa kau tegang begini? Ada hal buruk yang terjadi padamu?" tanya Romana tak mengindahkan pertanyaan Serra sebelumnya. Sementara Serra yang tergagap sedang susah payah meneguk ludahnya sendiri. "Em ..., tidak ada hal buruk yang terjadi, Bu. Aku Hanya terkejut saja kenapa ibu tiba-tiba di depan pintu," jawab Serra seraya melekuk bibirnya agar Romana percaya bahwa dia baik-baik saja.Mendengar itu Romana hanya berohria saja. "Oh, aku ke sini karena di depan ada kurir yang mengantar paket untukmu. Terima lah dulu, Nak," kata Romana.Serra yang merasa tidak memesan apa-apa kini menautkan kedua alisnya. "Paket?" beonya
"Dok, apapun yang dokter lakukan saya percaya. Dokter jangan khawatir masalah biaya. Berapapun jumlahnya akan segera saya bayar!"William berdiri di depan sebuah ruangan berlabel ICU, pria itu menatap para tenaga medis yang mengenakan pakaian khusus berwarna hijau itu dengan serius. Dada bidangnya bergerak naik turun. Napasnya tersendat-sendat seiring dengan rasa cemas yang kian menyesakkan dadanya.Sementara para dokter yang sedang berdiskusi dengan William membuang napas pelan. "Tuan William, sebetulnya tidak ada lagi harapan untuk Rena dan semua tindakan yang sudah kami lakukan sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Namun, kami akan berusaha dan memberikan yang terbaik, tetapi kami juga butuh dukungan doa dari keluarga. Dan kami minta apapun hasilnya semua sudah kehendak Tuhan yang Mahakuasa," kata salah satu dokter yang berdiri di hadapan William seraya menepuk-nepuk bahu pria itu seakan memberikan kekuatan dan pengertian bahwa para tenaga kesehatan yang bekerja saat ini hanyalah m
"Gamma, sebenarnya kita mau kemana?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Serra tatkala mobil yang dikemudikan oleh sang suami tak kunjung tiba di tempat tujuan. Sudah 30 menit lamanya waktu yang telah mereka lalui, tentu membuat Serra bertanya-tanya sejauh apa te.pat yang akan mereka kunjungi malam ini? Lalu, sebenarnya acara apa yang akan ia hadiri bersama sang suami? Pertanyaan itu juga masih belum terjawab oleh Serra.Sedangkan Gamma yang duduk di kursi kemudi, hanya melirik sekilas sang istri dari balik kaca mata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya.Lelaki itu kemudian menggeser pandangannya kembali fokus kepada jalanan yang cukup padat di malam hari. Ah, sebenarnya Gamma sudah memilih jalan alternatif agar cepat sampai tujuan mereka. Sayangnya, tetap saja ada ribuan kendaraan yang sedang memadati jalanan itu."Gamma?" panggil Serra kembali karena Gamma masih enggan membuka suaranya. Dengusan napas kasar terdengar dari Gamma. "Ikut saja dulu. Nanti kau juga tahu, Ra!" jawab