"Duduklah," ujar Romana seraya menarik tangan menantunya agar menggeser langkah ke bibir ranjang. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Serra hanya menurut saja dan mengikuti arah sang mertua. Istri Gamma itu tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya mengatur napas, hati, dan pikiran dari berbagai kemungkinan yang akan ia dengar. Mungkin saja ia akan mendengar hal terburuk yang tidak pernah ia duga. Sempat ia berpikir untuk tidak melanjutkan ini. Mungkin memilih berpura-pura tidak tahu agar semua baik-baik saja. Seperti kebanyakan wanita yang memilih untuk memendam semua rasa sakit dan penasarannya demi banyak hal yang harus dijaga.Namun, di sisi lain, egonya memilih untuk mengetahui semuanya. Logikanya meminta penjelasan dari ribuan teka-teki yang selama ini tak bisa ia pecahkan.Dan sekarang adalah kesempatannya.Ia harus siap dengan segala resikonya.Tak lain halnya dengan Romana, wanita yang menjadi ibu kandung Gamma Pramadipta itu beberapa kali memejamkan matanya sebelum membuk
"Pulangkan aku!" ujar Serra setelah mereka sampai di dalam kamar.Kedua alis tebal milik Gamma spontan menyatu. Apa? Memulangkan Serra? Maksudnya bagaimana? Apa konotasi pulang yang dimaksud oleh Serra? Entahlah, ia pun merasa ambigu dengan kata 'pulangkan' itu."Pulang kemana maksudnya?" tanya Gamma memastikan jika tidak ada yang salah dengan rumah ini."Apartemenku!" jawab Serra dengan secepat kilat.Kerutan di dahi Gamma semakin dalam. "Kau tidak betah tinggal di rumah ini?"Serra menganggukkan kepalanya mantap. "Ya!""Tunggu, Ra! Kau bertengkar dengan ibu? Atau kau ada masalah apa dengan ibu?" hanya itu pertanyaan yang terlintas dikepala Gamma. Apalagi yang membuat Serra tak betah tinggal dirumah ini? Tetapi jika dipikirkan ulang tidak mungkin sang ibu, Romana, bertengkar dengan Serra, terlebih wanita itu sudah cocok dengan menantunya."Karena aku tidak sanggup tinggal di rumah yang penuh dengan kenangan dan masa lalu suamiku!" tegas Serra sembari melangkahkan kakinya menjauh dari
“Bisa jelaskan padaku apa yang terjadi?” Sebuah pertanyaan itu terlontar bersamaan dengan suara dorongan pintu yang mengenai dinding. William tiba di kamar Gamma dengan napas terengah-engah. Bagaimana tidak? ia baru saja menyelesaikan meetingnya bersama dengan bawahannya dan berencana akan rehat dari segala kerumitan yang terjadi di kantor, justru kini jantungnya dipacu kembali bekerja empat kali lebih cepat ketika mendapatkan kabar bahwa Serra pergi dari rumah. Entah berapa pertanyaan yang sudah ia siapkan sebelumnya, nyatanya hanya satu pertanyaan itu yang mampu terlontarkan. Tubuhnya mendadak kaku ketika melihat keadaan sang kakak yang terduduk di sisi ranjang sembari meremas rambutnya sendiri bersama dengan sang ibu yang sedang memeluknya seakan memberikan kekuatan untuk kakak laki-lakinya itu. Sepengetahuannya, pasangan suami istri itu baik-baik saja ketika ia berangkat kerja tadi. Hanya ekspresi Serra yang tidak rela Gamma menginap di kantor. Namun, ia rasa masalah yang terjad
Dua kaki jenjang milik Serra terhenti di depan sebuah rumah sederhana yang terletak dipinggiran kota. Setelah berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil yang sepi, akhirnya ia tiba ditempat persinggahan sementaranya saat ini. Perempuan yang sedang hamil tua itu mengucap syukur sebab masih ada seseorang yang mau menolong meski tak mengenalnya. Ia tak sengaja bertemu dengan seorang wanita paruh baya berusia sama seperti sang mertua, namanya Bu Ambar. Awalnya Serra hanya membantu wanita itu untuk menyebrang jalan. Namun, setelah berbincang-bincang mengenai alasan Serra pergi meninggalkan rumah malam-malam, wanita itu akhirnya menawarkan Serra untuk tinggal bersamanya. Serra sempat menolak, sebab tujuan awalnya ia akan pergi ke apartemen lamanya, tetapi Bu Ambar tetap memaksa karena hari sudah malam. “Nak Serra, ini rumah ibu. Maaf hanya sederhana ya,” tutur Bu Ambar seraya membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu jati belanda. Bangunan itu memang sederhana namun terkesan asri sebab bany
“Bagaimana bisa? Memangnya tidak ada cara lain?” ujar William dengan seseorang yang sedang tersambung dalam panggilan selulernya. Pria itu memijit keningnya ketika mendengar kabar jika apa yang ia minta tidak bisa dipenuhi oleh bawahannya. “Come on, ada apa denganmu? Bukankah biasanya kau pandai dalam hal seperti ini? Kau jangan membuatku naik darah! Aku sangat membutuhkan informasi itu, sialan!” Kali ini William mendengus kasar setelah seseorang di seberang sana menjelaskan alasannya. Biasanya pekerjaan seperti ini sangat mudah ia lakukan, tetapi entah kenapa ada-ada saja hal yang terjadi hingga membuat semuanya terhambat. “Aku tidak mau tahu, kau harus bisa menemukan keberadaan Serra secepat mungkin. Minimal malam ini harus ada informasi dia ada dimana!” tegasnya kembali seraya menilik arloji berwarna hitam yang melingkar di tangan kirinya. “Batas waktumu hanya dua jam! Jika kau tak bisa melakukannya dengan baik, kau tahu apa konsekuensinya!” Setelah mengatakan kalimat terakhir it
Dua kelopak mata Serra yang terpejam tiba-tiba saja terbuka setelah merasakan sebuah lonjakan hebat dalam perutnya. Dengan setengah sadar ia menahan sensasi kedutan yang cukup kuat itu. Dahinya bertaut dalam dan bibirnya tergigit buat. Selama mengandung Sembilan bulan, Serra tidak asing dengan pergerakan bayinya yang super aktif itu. Tendangan yang cukup kuat seperti ini sudah menjadi sarapan rutinnya setiap pagi. Dan, selama ini tak menjadi masalah karena selalu ada perlakuan khusus dari Gamma untuk meredakan rasa ngilu dipunggungnya. Hanya saja, keadaan paginya selama tiga hari ini tak sama seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya, saat ia membuka mata selalu ada lengan kekar yang memeluknya dari belakang, mendengar suara bariton yang serak dipagi hari, dan kecupan hangat dari seorang Gamma, suaminya. “Selamat pagi, Sayang!” Itu adalah kalimat yang selalu menyambutnya ketika membuka mata dan saat ini ucapan selamat pagi itu hanya bisa tereka ulang dalam ingatannya. Mungkin, seandain
"Tunggu, aku tidak salah lihat, kan? Kau Serra?" Bian sekali lagi memastikan bahwa apa yang lihat adalah benar adanya. Serra, perempuan yang pernah tinggal satu komplek perumahannya. Sementara Serra sendiri juga terkejut setengah mati. Sebab ia tidak mengira jika akan bertemu dengan Bian Aditama, pria yang sempat menghilang beberapa waktu ini. Bisa ia lihat dengan jelas bagaimana kerutan dalam itu terbentuk di dahi Bian. Seakan menyiratkan ribuan pertanyaan darinya. Helaan napaa pelan terdengar dari Serra. Perempuan itu lantas menekuk bibirnya, membuat senyuman setengah lingkaran. "Kau benar, Bi. Ini aku," jawabnya kemudian."Tunggu, sejak kapan kau .... Sorry, Maksudku, kenapa kau bisa di sini? Dan ada hubungan apa antara kau dengan Bu Ambar?" tanya Bian yang tak bisa membendung rasa penasarannya.Serra memahami bagaimana rentetan pertanyaan itu dilemparkan untuknya. Ia sensiri paham mengapa Bian dan Bu Ambar bisa menjalin relasi. Mereka sama-sama berbisnis di bidang yang sama. Kuli
"Biarkan dia masuk," jawab Gamma yang membuat William melebarkan matanya. Pria itu sungguh tak percaya dengan keputusan Gamma. Masalahnya dengan Serra saja belum terselesaikan tetapi sekarang mantan kekasihnya itu datang menambah masalah dalma hidupnya. Mengapa Gamma justru membiatkan Rossa menemuinya begitu saja?"Tunggu dulu, kau yakin? Untuk apa kau membuang waktumu menemui wanita ular itu, ha?" William menatap Gamma dengan seksama. Ia sedang mencari jawaban dalam ekspresi datar kakaknya itu. Namun, sayangnya, tidak aja jawaban pasti yang ia dapatkan. Justru raut wajah biasa yang ditampakkan Gamma semakin membuatnya bingung dan ragu. "Gamm? Kau tidak bercanda kan?""Aku tidak bercanda. Biarkan dia menemuiku mungkin ini berkaitan dengan perusahaan Adam yang kolaps," jawab Gamma mengutarakan pendapatnya.Sungguh jawaban Gamma diluar dugaannya. Bahkan sampai saat ini William belum mampu mengerti apa rencana dibalik keinginan kakaknya itu. "Lalu? Bukankah krmarin kau sudah mengatakan ak