Share

Tawanan Mertua Kakak
Tawanan Mertua Kakak
Penulis: Fidia Haya

Bab 1

Jika kamu suka ceritanya, subcribe yuk!

05082022

Amina selesai menyanggul rambutnya yang panjang, setelah itu dia memoleskan lisptik warna nude ke bibirnya. Kemudian ia merapikan baju kemejanya. Senyum gadis itu mengembang melihat pantulan dirinya di cermin.

Hari ini adalah hari pertama Amina bekerja di toko emas milik kakak iparnya Wahyu yang menikah dengan Ajeng, kakaknya. Usia mereka terpaut 4 tahun.

Karena ketiadaan biaya, selepas SMA Amina tidak melanjutkan kuliah, dia menganggur selama setahun. Dia senang sekali ketika Ajeng dan Wahyu pulang kampung lebaran kemarin lalu menawarinya pekerjaan.

“Amina, kalau kamu sudah selesai berdandan cepatlah keluar dan beli sarapan,” kata Ajeng dari ruang keluarga.

Amina cepat-cepat keluar menemui kakaknya. “Aku sudah menyiapkan sarapan Kak, ada nasi goreng dan telur ceplok.”

Ajeng melihat adiknya dari atas ke bawah. Timbul rasa iri di hatinya. Postur tubuh Amina tinggi semampai. Pakaian apapun bagus ia kenakan.

Amina juga cantik, dia memiliki hidung mancung, mata lentik, pipi ranum seperti apel merah serta rambut panjang bergelombang. Sedangkan dia kebalikannya.

Jika Ajeng tidak melakukan perawatan dan perombakan pada tubuhnya, pastinya ia akan kalah pamor dengan Amina.

“Aku tak suka nasi goreng. Kamu makan sendiri aja. Sekarang, belikan kakak dan Mas Wahyu nasi pecel. Ini uangnya.” Ajeng melempar uangnya ke depan Amina.

Amina memungut lembaran uang 50 ribu di lantai dengan perasaan datar. Dia memaklumi, dari kecil sikap Ajeng kepadanya selalu buruk bahkan terkesan memusuhinya. Kakaknya sering membully dan sering membuatnya menangis.

Meskipun Ajeng anak pertama, dia sama sekali tak mau mengalah pada Amina. Ajeng sering meminta perhatian lebih pada kedua orang tuanya. Jika permintaannya tidak dikabulkan maka dia akan menangis seharian.

Kedua orang tuanya yang bekerja sebagai guru honorer mati-matian memenuhi keinginan Ajeng. Sayangnya Ajeng tidak peduli.

Berbeda dengan Ajeng, sikap Amina sangat perhatian pada keluarganya. Karena kasihan pada keluarganya dia rela menjadi mengalah pada kakaknya.

“Kenapa kamu masih bengong di situ? Cepatlah pergi membeli makanan. Kakak lapar!” perintah Ajeng dengan ketus. Sedangkan tangannya sibuk mengecek I*******m.

Dengan langkah gesit, gadis berusia 19 tahun itu melangkahkan kakinya ke luar rumah, berjalan kaki ke ujung jalan membeli nasi pecel permintaan kakaknya.

“Mau ke mana Dek?” tanya Wahyu di belakang Amina. Dia sedang lari pagi.

“Beli nasi pecel, Mas,” jawab Amina.

“Lho, bukannya tadi Mas melihat kamu membuat nasi goreng?” tanya Wahyu. Sebelum berangkat olah raga tadi dia melihat adik iparnya itu sibuk memasak di dapur.

“Kak Ajeng mau sarapan nasi pecel.”

“Oh, Mas Wahyu gak usah dibelikan nasi pecel. Mas sarapan nasi goreng buatanmu saja.”

Amina tegas menolak permintaan kakak iparnya. “Gak mau, nanti Kakak memarahi saya. Mas Wahyu kayak gak tahu Kakak saja.”

Wahyu tersenyum getir. Watak Ajeng keras, siapapun yang tak menuruti kemauannya, bakalan kena marah. Sangat berbeda sekali dengan sikap Amina yang lembut dan keibuan. “Okelah, tapi nanti Mas mau sarapan nasi goreng juga.”

Selepas membelikan nasi pecel untuk Ajeng. Amina bersiap berangkat ke tempat kerja. Wahyu sudah datang dan sedang sarapan bersama kakaknya.

“Kak, Amina berangkat.” Amina pamit.

“Hmm…” Ajeng menjawab pendek tanpa menoleh pada adiknya.

“Amina, kamu berangkat sama Mas saja, tunggu sebentar di depan,” cegah Wahyu menyudahi sarapannya.

Mata Ajeng mendelik. “Eh, enak sekali Papa berangkat dengan Amina. Biarkan dia naik angkot, toh dia sudah gede.”

“Tapi Ma, Amina itu adikmu, adikku juga kan. Masak Mama gak kasihan melihat adiknya berangkat kerja naik angkot.” Wahyu mencoba membela Amina.

Ajeng melengos. Matanya melirik Amina tak suka. “Mama gak kasihan. Mestinya Amina bersyukur kita sudah memberinya pekerjaan, tempat berteduh dan makan. Kurang apa lagi Pa? Apa Mama perlu menyusuinya juga biar dia jadi anak manja?”

Wahyu hanya bisa mengelus dada melihat sikap istrinya. Dia bertanya-tanya kok bisa-bisanya dia mencintai dan menikahi wanita itu dulu?

Amina yang mendengar kata-kata kakaknya menelan ludahnya yang mendadak kering. Bukan sekali dua kali Ajeng memberinya kata-kata kasar. “Amina berangkat sendiri saja Mas.”

15 menit kemudian, Amina sampai di Toko Emas Murni. Karena tokonya masih tutup dan menunggu Mas Wahyu dan karyawan lain datang. Amina duduk-duduk di depan toko sembari matanya melihat ke jalan raya.

Amina tidak memperhatikan ada sebuah mobil sedan yang berhenti di depannya. Dia terkejut ketika Om Jazuli – mertua kakaknya menghampirinya. “Amina sedang menunggu siapa di sini?” Tangan Jazuli dengan ramah memegang dagu gadis itu.

Dengan gugup Amina mencium tangan lelaki itu. “Saya baru hari ini bekerja di sini Om.”

Jazuli manggut-manggut, matanya nakal menelusuri tubuh molek Amina. “Om, tidak menyangka kamu cantik sekali melebihi kakakmu, Ajeng. Kapan-kapan kamu bisa menemani Om jalan-jalan kan?”

Amina hanya menunduk. Hatinya mendadak resah menghadapi lelaki gaek di depannya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status