Share

Bab 3

Bab 3

06082022

Sepulangnya dari tempat kerja, Amina tidak langsung pulang ke rumah kakaknya, melainkan pergi ke taman dan duduk di bangku kayu dengan wajah murung.

Kejadian di toko tadi membuat Amina resah memikirkan bagaimana menjalani hari-hari selanjutnya. Sanggupkah ia bertahan bekerja di toko emas kakak iparnya?

Bercerita dan mengadu pada Wahyu apalagi Ajeng kakaknya bukanlah solusi. Ia sangat mengenal kakaknya. Perempuan itu takkan mempercayai ceritanya dan bakal akan menuduhnya macam-macam.

Berhenti bekerja? Nyali Amina ciut menghadapi cacian Ajeng yang pasti akan mengungkitnya tak tahu diri.

Hhhh… Amina menghela napas panjang. Hatinya menggigil antara mengingat pelukan Om Jazuli dan ketakutannya menghadapi hari esok. Ia lalu pulang.

Sementara itu di depan rumahnya, Ajeng berdiri seperti seorang satpam. Berkali-kali ia melihat ke jam dinding. Wajahnya dongkol karena Amina belum pulang. “Kemana aja sih anak itu!”

Wahyu yang sudah tiba terlebih dahulu, memperhatikan istrinya. “Sudahlah Ma, Ajeng paling masih jalan-jalan. Kamu harus maklum, dia butuh refreshing.”

“Mama gak suka Amina berbuat sesukanya. Memangnya kita berdua pengasuhnya,” jawab Ajeng sewot.

“Gak usah marah, tuh adikmu sudah datang,” kata Wahyu saat melihat Amina membuka pintu gerbang. Dia lalu ke kamarnya menonton televisi.

Dari kamarnya Wahyu mendengar istrinya memarahi Amina.

“Kamu dari mana aja sih Mina! Pulang kerja mestinya pulang malah jalan-jalan!”

Amina menunduk, tak berani menatap kakaknya. Wajah Ajeng berubah menyeramkan jika marah. “Maaf Kak, tadi Amina jalan-jalan ke taman sebentar.”

Ajeng mengitari adiknya. “Hmm, bagus sekali. Kamu sudah berani bertindak tanpa bilang Kakak dulu. Memangnya kamu Nyonya di rumah ini!” Matanya melotot pada Amina. Dia lalu mendorong tubuh adiknya hingga jatuh terjerembab.

Amina menangis. “Amina minta maaf Kak! Amina janji tak akan mengulanginya lagi.”

Mendengar suara jatuh Wahyu keluar dari kamarnya. Ia melihat Amina sedang menangis dan memohon ampun pada kakaknya.

“Kamu apa-apaan sih Ma! Memarahi Amina seperti anak kecil. Ingat Ma, Amina sudah besar. Dia hanya jalan-jalan ke taman. Ia tidak melanggar aturan. Kamu dulu juga gitu waktu masih muda, bahkan lebih parah dari Amina!” tegur Wahyu tak suka melihat kelakuan istrinya yang keterlaluan.

Ajeng semakin marah, mendengar kata-kata Wahyu yang terkesan membela adiknya. “Amina itu adikku Pa. Aku bisa melakukan apa saja sesukaku. Papa gak usah ikut-ikut!”

Pedih sekali hati Amina mendengar kata-kata kakaknya. Sifatnya yang arogan dan keras kepala membuat Ajeng selalu merasa dirinya paling benar dan tak mau disalahkan oleh orang lain.

“Terserah Mama, akan tetapi aku tidak suka Mama berlaku kasar pada Amina!” Wahyu kembali masuk ke kamarnya dengan muka bersungut.

Ajeng melihat Amina yang masih menangis sesenggukan. “Sudah jangan menangis. Sekarang kamu langsung ke dapur, masak buat makan malam, setelah itu nyuci dan seterika baju dan bantu kakak memakai kuteks.”

Sederet pekerjaan menunggu Amina. Gadis itu tidak membantah, meski badan dan hatinya lelah ia melakukan perintah kakaknya.

Di kampung, dari kecil Amina terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan Ajeng lebih suka menghindar dan selalu beralasan badannya sakit. Ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan berdandan. Maka Amina maklum, jika kakaknya kurang mengerti melakukan pekerjaan rumah.

Keberuntungan memihak Ajeng. Ia menikah dengan Wahyu yang merupakan anak orang kaya dan bukan termasuk suami rewel.

Ajeng bisa menyewa pembantu rumah tangga, tapi setelah Wahyu mengajak Ajeng tinggal bersama mereka. Perempuan itu memberhentikan pembantunya dan sebagai gantinya Amina yang melakukan semua pekerjaan rumah tangga.

Di rumah Ajeng, Amina tak bisa santai. Semenjak kedatangannya ia sibuk melayani kemauan kakaknya yang memperlakukan dirinya sebagai pembantu rumah tangga.

Sambil menyiapkan makan malam, Amina mencuci pakaian. Kedua pekerjaan itu selesaikan dengan cepat. Selesai menjemur ia langsung menyetrika baju di kamarnya. Gadis itu menatap pasrah melihat 2 keranjang baju yang harus ia setrika.

Sebagian besar adalah baju-baju kakaknya yang ia setrika. Mata Amina terkantuk-kantuk menyelesaikan pekerjaannya, tinggal 3 baju lagi ketika Ajeng datang ke kamarnya.

“Lelet sekali kamu menyetrika bajunya!” Semprot Ajeng dengan muka masam. “Apa kamu pura-pura lupa Kakak memintamu memasang kuteks Kakak?” Dia sama sekali tak peduli dengan tumpukan baju yang telah di setrika Amina.

“Kak, setrikaan banyak, besok saja ya make kuteksnya?” pinta Amina kelelahan.

“Haish! Sejak kapan kamu berani melawanku? Kakak mau sekarang! Kamu tinggalkan saja itu setrikaannya. Karena besok pagi Kakak ada arisan!” bentak Ajeng. Dia langsung mencopot stok kontak dan menarik lengan Amina kasar.

Ajeng langsung duduk di kursi dan Amina duduk di lantai. Saat dia melakukan kesalahan tak segan-segan Ajeng menggetok kepala adiknya dengan tangannya.

“Yang bener dong! Matanya jangan meleng!”

“Aduh! Sakit Kak!” ratap Amina sedih. Dia mengusap kepalanya. Supaya tidak kena marah lagi. Ia berhati-hati memakaikan kuteks di jemari Ajeng.

Ajeng puas dengan hasilnya. “Nah, ini baru bagus!” Dia lalu melihat ke Ajeng yang sedang merapikan kuteks. “Apa kamu tadi bertemu dengan bapaknya Mas Wahyu?”

Amina mendongak kaget. Hatinya mulai was-was. “Iya Kak.”

“Hmm, bagus! Tadi beliau menelpon Kakak, dia memintamu untuk bekerja di tokonya mulai besok, dan permintaannya tiap hari kamu membawakan sarapan untuknya.”

“Tapi Kak, Aku mau kerja di tempat Mas Wahyu,” tolak Amina halus.

“Heh sembarangan! Kamu ini siapa? Ingat Amina, kamu di sini menumpang di rumah Kakak, kok berani-beraninya menolak perintahku.” Mata Ajeng melirik tak suka dengan Amina.

“Kakak sudah menyetujuinya. Mertua Kakak itu menyukaimu dia baik dan suka memberi Kakak uang. Kamu gak boleh menolak titik!” Ajeng melengos. “Ya sudah, lanjutkan setrikanya sekarang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status