Bab 97"Jadi perempuan ini yang membuat kamu berubah?" Perempuan itu mempertegas pertanyaannya lagi."Ma, kapan datang?" Eril terkejut dengan kedatangan mamanya. Dia cepat - cepat sungkem dan memperkenalkannya pada Amina."Amina, kenalkan ini mamaku."Amina gugup, dia mencium tangan mamanya Eril. "Halo Tante, saya Amina.""Iswati," jawab Mama Eril dingin. "Kamu tinggal di mana?""Saya tinggal di sebelah apartemen Eril, Tante." Amina tidak nyaman dengan pandangan menyelidik Iswati. Perempuan itu seolah ingin menelanjanginya."Owh, syukurlah. Saya kira kamu tinggal di apartemen anakku." Iswati membalikkan badannya dan pergi ke apartemen Eril.Perkatan mamanya yang judes pada Amina membuat Eril tidak enak hati. "Amina, aku masuk dulu ya.""Silahkan." Amina tersenyum kecil. Hatinya mengatakan kehadiran mamanya Eril akan membawa ketidaknyamanan pada hubungan mereka berdua.Setelah melihat Eril menutup pintu apartemennya, giliran Amina yang masuk. Perempuan itu langsung duduk di sofa, panda
Bab 98“Yakin sekali Ma. Memangnya kenapa? Itu adalah takdir Amina yang harus ia jalani. Wanita itu kuat dan saya ingin melindunginya. Mama belum kenal Amina dia perempuan baik – baik yang sangat sayang dengan anak dan keluarganya,” balas Eril tak mau kalah.“Kamu itu anak Mama satu – satunya, masak kamu gak pengen membahagiakan Mama? Mama pengen kamu itu menikah dengan gadis ting ting. Jangan wanita seperti Amina. Diperkosa orang, punya anak lagi. Kamu itu juga terlalu baik padanya. Mama geli mendengar anaknya menyebutmu Papa. Malu Mama Ril.”“Ma, memangnya kenapa sih, Eril mencintainya.”“Halah, gak usah bicara cinta sama Mama. Mama pinta kamu mendengarkan apa kata Mama.” Iswati masuk ke kamar Eril. Dia mau tiduran.Eril mendesah. Perdebatan dengan mamanya membuat dirinya capek. Diliriknya alroji di pergelangan tangannya. Amina belum datang, padahal tadi ia berjanji akan membawakan makanan untuknya. Lelaki itu berinisiatif keluar dan hendak pergi ke apartemen Amina.Saat membuka pin
Bab 99“Amina, aku ingin bicara denganmu,” pinta Eril sepulangnya dari syuting. Raut muka lelaki itu tampak frustrasi dengan keadaan yang ia jalani. Amina seminggu ini lebih banyak mengunci mulut, dan dia tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuatnya.“Soal apa?” tanya Amina pendek. Tangan kanannya menyisir rambutnya ke belakang.“Aku salah apa padamu, hingga kamu mendiamkan aku seperti itu?” Rahang Eril menegang. Sikap dingin Amina membuatnya mati kutu.“Kamu tidak salah apa- apa. Aku hanya ingin menghindarimu saja.” Tak perlu lagi Amina berbasa – basi. Mereka sudah sama – sama dewasa.“Kenapa kamu tiba – tiba mau menghindariku? Apakah ini berkaitan dengan mamaku?” Suara Eril tercekat saat mengatakannya. Ia tahu Amina, tak mungkin gadis itu menghindarinya tanpa alasan jelas.“Iya. Aku mendengar perdebatan kalian waktu itu dan kupikir, ada baiknya kita berdua berpisah.” Intonasi suara Amina datar saat mengatakannya. Kenyataan – kenyataan pahit yang telah dilaluinya membuatnya dingin.
Bab 100Amina yang mendengar suara tangis Ayang datang menghampiri. Dia terpaku melihat putrinya dalam pelukan Eril.“Maafkan anak saya, Tante.” Amina langsung membawa Ayang ke dalam pelukannya. Gadis cilik itu langsung menyembunyikan wajahnya dalam dada ibunya.“Iya, kamu mestinya sadar itu, jangan malah mengambil kesempatan dengan mengajarinya memanggil Papa pada Eril.” Iswati berkata dengan ketus.“Sudah Ma. Tolong Mama jangan sakiti hati Ayang. Dia tidak salah. Aku yang memintanya memanggilku Papa.” Eril tetap membela Ayang.Amina tidak ingin mendengar perdebatan lebih dalam antara Eril dan mamanya. “Maaf saya masuk dulu,” Wanita itu berbalik dan masuk ke dalam apartemennya. Hatinya benar – benar patah melihat mamanya Eril memarahi anaknya.“Ayang jangan menangis, Gak apa - apa gak punya Papa. Ayang masih punya Ibu,” tutur Amina sambil mengusap air mata di wajah anaknya.Ayang masih menangis sesenggukan. Bik Susi yang melihat majikannya menangis, turut meneteskan air mata. Dia kes
Bab 101Amina tertegun melihat mobil Ibu Hesti semakin menjauh dari dirinya.“Bu, kita di sini mau ngapain?” kata Bik Susi. Dia berdiri di samping koper bersama Ayang yang terkantuk – kantuk.“Saya tidak tahu Bik. Kita tunggu saja Bapak Ridho di sini.” Suara Amina terdengar cemas. Dilihatnya langit yang gelap gulita. Sebentar lagi hujan.Baru saja dia selesai, rinai datang mengguyur. “Hujan Bik, kita menepi dulu di teras rumah itu,” ajak Amina. Dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci dan membantu membawa kopornya masuk ke teras.Bik Susi menyusul Amina bersama Ayang. Mereka berdiri melihat hujan yang semakin lama semakin deras.“Siapa Ridho itu, Bu?” Bik Susi memecah kesunyian.“Saya juga tidak tahu Bik.”“Apakah dia lelaki baik, jangan – jangan dia orang jahat.” Bik Susi tiba – tiba cemas, majikannya akan dijual ke lelaki jahat.“Jangan berpikir aneh- aneh dulu, Bik. Kita tunggu saja dulu dia. Jika satu jam tidak datang, saya akan menghubungi Bu Hesti.” Amina tidak mau terpenga
Bab 102Amina melongo untuk beberapa detik. “Kamu gak bohong kan?” tanyanya dengan tatapan aneh.“Saya tidak mungkin berbohong, Bu. Semua surat – suratnya ada di saya . Ibu tinggal tanda tangan.” Ridho kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan semua berkas – berkas kepada Amina.Amina membacanya dengan tangan bergetar. Rumah itu memang untuknya. Ada namanya tertera dengan jelas di atas kertas. Wanita itu tak habis pikir. Kenapa Ibu Hesti sebaik itu padanya?“Tolong tanda tangan di sini, Bu?” pinta Ridho. Ia menyerahkan pulpen ke tangan Amina.“Sebentar, saya mau meminta penjelasan terlebih dahulu. Amina menenangkan diri. Dia kapan hari tanda tangan kontrak bersama Eril di kantor Bu Hesti, tapi di sana tidak ada pembicaraan tentang rumah. Apakah ini sebuah lelucon? Dia mencubit pipinya. Sakit! Kemudian ia melihat berkas rumah itu. Di situ masih ada namanya tertulis jelas. Jadi matanya tidak salah dan ini bukan guyonan maupun mimpi.Amina menelpon Ibu Hesti. “Malam Bu, Ridho bersama saya
Bab 103 Eril berdiri di depan pintu kamar Amina. "Amina, Amina, buka pintunya sayang," teriaknya berulang kali. Tidak ada jawaban dari dalam. Kemana Amina? Telponnya juga tidak aktif. Sesuatu pasti telah terjadi dengan Amina dan Ayang. Tidak mungkin mereka tidak menjawab panggilannya. Eril mulai frustrasi. Dia terduduk lesu di depan pintu.seraya memeluk kedua lututnya. "Ngapain kamu di situ, Ril? Amina sudah pergi. Dia tidak membutuhkan kamu sekarang." Iswati yang melihat Eril seperti orang putus asa kesal. Perempuan itu mengomel sepanjang waktu. "Pergilah Ma, biarkan aku sendiri di sini." Eril mengusir mamanya. "Mama tidak akan pergi, selama sikapmu begitu." "Kalau begitu, Eril yang pergi. Mama telah membuat hidup Eril hancur! Mama sok tahu mau mengatur hidup Eril." Lelaki itu bangkit dengan lunglai dan mengemasi pakaiannya. Iswati tercenung. "Jangan pergi Ril. Semua yang Mama lakukan demi kebaikan kamu." Ia berusaha mencegah. "Kebaikan apa Ma? Apa yang Mama tahu dari Eri
Bab 104 Dengan senyum manisnya, Dokter Kartika menjawab dengan lugas. “Saya selama ini sibuk bekerja hingga tak sempat memikirkan pasangan.” Senyum Iswati lebar sekali. Dia senang sekali dengan jawaban polos Dokter cantik itu. Sebuah ide tercetus di kepalanya. Betapa bahagianya jika dia mendapatkan mantu seorang Dokter. “Sungguh suatu kebetulan.” Perempuan itu melihat ke arah Eril. Eril bertambah muak dengan gelagat mamanya. Terang - terangan sekali dia ingin menjodohkannya dengan Dokter Kartika. “Dokter istirahatlah dulu, aku mau melanjutkan tidur dulu.” Lelaki itu menghindar. “Eril benar, sebaiknya Dokter Kartika istirahat dulu. Setelah itu kita makan siang. Tante mau masak spesial dulu.” Iswati mengajak Dokter Kartika ke kamarnya. Dokter Kartika mengangguk, meski dia tampak kecewa dengan sikap Eril yang dingin. Dia tahu lelaki itu sedang patah hati. Dengan napas tertahan, wanita muda itu duduk di tepi ranjang dan melihat sebuah lukisan siluet wanita berdiri di tepi jendela. M