Bab 110 “Apakah anak saya tidak apa – apa, Dokter?” tanya Amina cemas seraya memeluk anaknya cemas. “Amina hanya terkena virus. Semoga besok panasnya turun,” ucap Dokter Kamil. Hati perempuan itu lega, dia menciumi wajah Ayang yang pucat. Suhu badannya masih tinggi. “Papa… Papa… Ayang kangen Papa.” Ayang mengingau. Amina tercekat. Mungkinkah dia ke Setia Budi untuk bertemu Eril? Mungkinkah anaknya rindu dengan pemuda itu? Eril yang mendengar suara Ayang merespon. “Papa di sini sayang.” Dia mengecup kening Ayang dengan sayang. Anak kecil itu melenguh. “Papa… Papa…” Eril meminta Amina turun dari ranjang. Dia lalu memeluk Ayang. “Papa di sini bersama, Ayang.” Ayang bangun sebentar, dia lalu tersenyum saat menyadari Eril bersamanya. Dia lalu meringkuk manja di pelukan Eril. Amina dan Bik Susi menyentuh dadanya. Mereka lega Ayang telah ditemukan dan bertemu dengan Eril. “Bu, pengamen dan Mas Ojol yang mengantarkan Ayang ke rumah sakit, masih di depan. Apa Ibu mau menemuinya,” u
Bab 111 Amina dan Eril terperanjat dengan kehadiran Iswati dan Dokter Kartika di ruangan Ayang. Eril reflek mendekati mamanya dan membawanya keluar kamar. Amina mengikutinya. “Amina, kamu menggunakan pelet apa, sehingga anakku bertekuk lutut kepadamu?” tuduh Iswati kejam. Matanya dibakar api kemarahan yang sebentar lagi siap meledak. Amina berusaha sabar, mengingat mereka berada di rumah sakit. Dia tidak mau menimbulkan keributan dan membangunkan Ayang. Wanita itu menarik napas panjang. Dia kemudian melihat Dokter Kartika yang menatapnya dingin, seperti orang asing yang baru mengenal Amina. Ada rasa aneh dan dingin merambat di dada perempuan itu dengan perubahan sikap Dokter Kartika yang di luar kebiasaan. Kenapa dia tiba- tiba berubah? “Mama apa – apaan sih. Ini bukan settingan. Ayang ke Setia Budi mencariku. Dia kangen aku. Ingat Ma, jangan menuduh macam- macam. Amina tidak memeletku, aku yang mengejarnya.” Eril berusaha menjelaskan dengan suara pelan. Iswati tak terima penjela
Bab 112"Aku mencintaimu dari dulu, Ril." Suara Dokter Kartika perlahan melamban. Kemudian disusul isak tangisnya yang terdengar pilu.Eril menggigit bibir bawahnya. "Terima kasih dengan keterus teranganmu, Dok. Sayangnya cintaku hanya untuk Amina. Aku tidak peduli meski tanpa restu Mama. Aku akan tetap mengejar Amina.""Apa kekuranganku Ril? Tidakkah kamu punya rasa sedikit saja untukku?" Dokter Kartika mulai menuntut.Pemuda itu menggelang pelan . "Dokter Kartika wanita hebat, sayangnya hatiku telah tertambat pada Amina."Dokter Kartika memegang tangan Eril. "Ril, ini mungkin terdengar gila bagimu, aku rela menjadi selingkuhanmu. Asal kamu mau memberikan sedikit saja hatimu untukku. Aku tidak menuntut apa - apa," ujarnya memohon.Dia mengabaikan rasa malu sebagai wanita. Cinta membuatnya lupa karena dia sangat memuja pemuda di sampingnya itu. Ia tak mau kehilangan kesempatan."Jangan bodoh, Dokter! Jangan sia - siakan waktumu untuk mencintai orang yang tidak mencintaimu. Aku juga ti
Bab 113"Kebakaran! Kebakaran!" Dengan panik Iswati keluar kamar dan melihat asap di atas kompor. Ia seger mematikan kompor dan memencet tombol merah pada alarm.Dia lega suara bising itu telah mati dan tidak ada kebakaran di rumahnya."Ini pasti ulah Eril, lupa kalau dia bikin mie," ujar Iswati melihat panci dan mie gosong di atas kompor."Maaf Tante, itu bukan ulah Eril, tetapi ulah saya. Tadi saya senderan, malah ketiduran." Dokter Kartika tidak enak hati membuat kehebohan.Iswati urung marah. "Ah, saya kira ulah Eril. Anak itu biasanya teledor." Dia memperhatikan raut muka Dokter Kartika yang lelah."Dokter Kartika kelihatan lelah dan pucat. Sebaiknya Dokter isrirahat di dalam. Biar saya yang membereskan kehebohan ini." Suara Iswati lembut sekali."Terima kasih Tante, saya memang lelah sekali." Dokter Kartika pergi ke kamar, merebahkan badan. Sejenak kemudian dia sudah terlelap.Iswati geleng - geleng kepala. Dia mencari Eril di kamarnya, tetapi anaknya tidak ada."Tidur di mana E
Bab 114 Iswati mengamati Dokter Kartika. Dia kelihatan serius sekali memikirkan masalahnya. “Apa yang akan Dokter Kartika lakukan?” Dokter Kartika belum menjawab. Dia berdiri lalu berjalan mondar – mandir, sambil melipat kedua tangannya. “Apakah Tante ingin memutus hubungan Eril dengan Amina?” “Iya! Tante tidak suka dengan perempuan itu. Tante pengen Eril mendapatkan wanita yang sekufu dengannya. Malah pengennya Tante, dia memilih wanita seperti kamu, Dokter! Cantik, Dokter lagi!” Iswati bersemangat sekali mengatakannya. Hati kecil Dokter Kartika senang dengan jawaban mamanya Eril. Dia seperti mendapat angin segar. Ia bersemangat lagi mengejar pemuda yang dicintainya itu. “Baiklah, saya masih mencari cara bagaimana memisahkan mereka berdua.” “Tante yakin kamu bisa.” Iswati menyemangati Dokter Kartika. “Ngomong – ngomong bagaimana Tante membungkam mulut netizen. Apa Dokter tahu, mulut mereka jahat sekali!” “Abaikan dan jangan ditanggapi. Lama – lama mereka diam sendiri. Lebih b
Bab 115 Amina langsung terbatuk – batuk dengan permintaan anaknya. “Uhuk… uhuk….” Dia tak menyangka Ayang memiliki pemikiran itu. “Sekarang, coba Ayang tanya Ibu, apakah mau menikah dengan Papa?” Eril meminta Ayang dengan serius. Lelaki itu berharap, Ayang bisa memuluskan rencananya menikahi Amina secepatnya. “Mmm… oke!” Ayang mengiyakan. Anak kecil itu lalu berjongkok di depan ibunya. “Ibu, apakah Ibu mau menikah dengan Papa Eril. Ayang mau punya Papa seperti Papa Eril yang ganteng,” sanjungnya serius. Ia kemudian menambahkan kalimatnya dengan tegas. “Ayang tidak mau punya Papa seperti Kakek Jazuli! Dia tua, bau dan jahat. Ayang benci!” Matanya mendadak berubah berkilat. Secara langsung dia berani mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. Amina menjadi salah tingkah dengan permintaan anaknya. Ia belum sanggup untuk menjawab. Pelan, ia mengigit bibir bawahnya. Kemudian secara tak sadar, ia meremas jemarinya yang mulai berkeringat. Semua mata terpaku dan menahan napas menunggu ja
Bab 116 Mendengar jawaban Eril. Kaki Amina seperti terpancang di atas ubin. Untuk beberapa saat dia tertegun. Otaknya mulai menyambungkan drama demi drama yang ia yakini sebagai potongan puzzle. Kini, ia mengerti alasan dibalik kebencian mamanya Eril kepadanya. “Owh, jadi itu alasannya,” gumam Amina pelan. Ia dan Eril memang tidak sederajat. Mulai dari pendidikan, hingga status. Dengan langkah berat, wanita itu melangkahkan kakinya. “Pulanglah kamu Ril, aku dan Ayang tidak apa – apa. Jangan paksakan kamu bersama kami. Bagaimana pun kuatnya kamu berusaha. Kita tidak akan pernah sepadan.” Mata Amina sendu ketika mengatakannya. Ia lalu berjalan cepat menuju kasir. Eril berdiri seperti patung. “Sial! Kejujuranku telah menyakiti hatinya!” Ia merasa bersalah. Lelaki itu menunggu Amina di dekat pintu kasir. Setelah Amina selesai membayar. Eril mendekatinya. Tetapi Amina setengah berlari. “Amina! Amina!” Eril mengejarnya, dan membawa wanita itu ke tempat yang agak sepi. “Sorry Amina, bu
"Sebelum ngaku - ngaku ini milik anak Ibu. Lebih baik Ibu tanyakan dulu." Bik Susi geram sekali dengan perkataan Iswati yang langsung mengakui rumah Amina. Iswati mencibir. "Heleh, bagaimana bisa? Amina itu bodoh, mana mungkin bisa punya rumah sebagus ini dalam sekejap,.kalau bukan dari Eril! Dia memakai uangnya Eril kan?" Bik Susi gemas sekali. Dia pengen melawan tapi takut pada Amina. "Terserah situ deh, saya mau merapikan rumah dulu." Bik Susi meninggalkan perempuan itu sendirian. "Eh, dasar pembantu belagu! Ambilkan kopor saya di luar. Setelah itu buatkan kami makan siang!" perintah Iswati bengis. Bik Susi tidak mengindahkan perintah Iswati. Perempuan berumur 35 tahun itu malah pergi mencari Amina. Dia melihat Dokter Kartika yang sedang memainkan ponsel di ruang tamu. Aneh! Perempuan itu seperti melihat orang asing. "Dokter Kartika, apa melihat Ibu Amina?" Dokter Kartika melihat Bik Susi sekilas. "Tidak tahu. Kamu cari saja sendiri," jawabannya dingin. Matanya lalu kembali