Bab 114 Iswati mengamati Dokter Kartika. Dia kelihatan serius sekali memikirkan masalahnya. “Apa yang akan Dokter Kartika lakukan?” Dokter Kartika belum menjawab. Dia berdiri lalu berjalan mondar – mandir, sambil melipat kedua tangannya. “Apakah Tante ingin memutus hubungan Eril dengan Amina?” “Iya! Tante tidak suka dengan perempuan itu. Tante pengen Eril mendapatkan wanita yang sekufu dengannya. Malah pengennya Tante, dia memilih wanita seperti kamu, Dokter! Cantik, Dokter lagi!” Iswati bersemangat sekali mengatakannya. Hati kecil Dokter Kartika senang dengan jawaban mamanya Eril. Dia seperti mendapat angin segar. Ia bersemangat lagi mengejar pemuda yang dicintainya itu. “Baiklah, saya masih mencari cara bagaimana memisahkan mereka berdua.” “Tante yakin kamu bisa.” Iswati menyemangati Dokter Kartika. “Ngomong – ngomong bagaimana Tante membungkam mulut netizen. Apa Dokter tahu, mulut mereka jahat sekali!” “Abaikan dan jangan ditanggapi. Lama – lama mereka diam sendiri. Lebih b
Bab 115 Amina langsung terbatuk – batuk dengan permintaan anaknya. “Uhuk… uhuk….” Dia tak menyangka Ayang memiliki pemikiran itu. “Sekarang, coba Ayang tanya Ibu, apakah mau menikah dengan Papa?” Eril meminta Ayang dengan serius. Lelaki itu berharap, Ayang bisa memuluskan rencananya menikahi Amina secepatnya. “Mmm… oke!” Ayang mengiyakan. Anak kecil itu lalu berjongkok di depan ibunya. “Ibu, apakah Ibu mau menikah dengan Papa Eril. Ayang mau punya Papa seperti Papa Eril yang ganteng,” sanjungnya serius. Ia kemudian menambahkan kalimatnya dengan tegas. “Ayang tidak mau punya Papa seperti Kakek Jazuli! Dia tua, bau dan jahat. Ayang benci!” Matanya mendadak berubah berkilat. Secara langsung dia berani mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. Amina menjadi salah tingkah dengan permintaan anaknya. Ia belum sanggup untuk menjawab. Pelan, ia mengigit bibir bawahnya. Kemudian secara tak sadar, ia meremas jemarinya yang mulai berkeringat. Semua mata terpaku dan menahan napas menunggu ja
Bab 116 Mendengar jawaban Eril. Kaki Amina seperti terpancang di atas ubin. Untuk beberapa saat dia tertegun. Otaknya mulai menyambungkan drama demi drama yang ia yakini sebagai potongan puzzle. Kini, ia mengerti alasan dibalik kebencian mamanya Eril kepadanya. “Owh, jadi itu alasannya,” gumam Amina pelan. Ia dan Eril memang tidak sederajat. Mulai dari pendidikan, hingga status. Dengan langkah berat, wanita itu melangkahkan kakinya. “Pulanglah kamu Ril, aku dan Ayang tidak apa – apa. Jangan paksakan kamu bersama kami. Bagaimana pun kuatnya kamu berusaha. Kita tidak akan pernah sepadan.” Mata Amina sendu ketika mengatakannya. Ia lalu berjalan cepat menuju kasir. Eril berdiri seperti patung. “Sial! Kejujuranku telah menyakiti hatinya!” Ia merasa bersalah. Lelaki itu menunggu Amina di dekat pintu kasir. Setelah Amina selesai membayar. Eril mendekatinya. Tetapi Amina setengah berlari. “Amina! Amina!” Eril mengejarnya, dan membawa wanita itu ke tempat yang agak sepi. “Sorry Amina, bu
"Sebelum ngaku - ngaku ini milik anak Ibu. Lebih baik Ibu tanyakan dulu." Bik Susi geram sekali dengan perkataan Iswati yang langsung mengakui rumah Amina. Iswati mencibir. "Heleh, bagaimana bisa? Amina itu bodoh, mana mungkin bisa punya rumah sebagus ini dalam sekejap,.kalau bukan dari Eril! Dia memakai uangnya Eril kan?" Bik Susi gemas sekali. Dia pengen melawan tapi takut pada Amina. "Terserah situ deh, saya mau merapikan rumah dulu." Bik Susi meninggalkan perempuan itu sendirian. "Eh, dasar pembantu belagu! Ambilkan kopor saya di luar. Setelah itu buatkan kami makan siang!" perintah Iswati bengis. Bik Susi tidak mengindahkan perintah Iswati. Perempuan berumur 35 tahun itu malah pergi mencari Amina. Dia melihat Dokter Kartika yang sedang memainkan ponsel di ruang tamu. Aneh! Perempuan itu seperti melihat orang asing. "Dokter Kartika, apa melihat Ibu Amina?" Dokter Kartika melihat Bik Susi sekilas. "Tidak tahu. Kamu cari saja sendiri," jawabannya dingin. Matanya lalu kembali
Bab 118 Kemudian suara pecahan piring jatuh. Ayang yang baru bangun mencari Amina di kamarnya. “Ibu, suara apa itu?” “Sebentar, Ibu cek dulu. Ayang di kamar dulu ya.” Amina tidak mau Ayang melihat kericuhan di bawah. “Iya Ibu.” Amina bergegas turun. Ia melihat steak dan piring pecah berserakan di ruang makan. Bik Susi dan Fahri membersihkannya. “Fahri, tolong temani Ayang di atas. Biar saya yang membantu Bibik,” kata Amina. Fahri mengikuti perintah Amina. “Ada apa ini Bik?” tanya Amina sambil membantu Bik Susi mengumpulkan pecahan kaca. “Mamanya Mas Eril tidak suka dengan makanan yang saya beli, Bu. Katanya gak enak. Saya pesen lewat Grabfood. Rating dan reviewnya juga bagus. Mana saya berani pesen makanan yang gak punya reputasi.” Mulut Bik Susi nyerocos tanpa henti. Amina masygul melihat steak terbuang sia – sia. Dia menghela napas panjang. Dia tidak mengerti ada orang yang tega membuang makanan, tanpa berpikir masih ada orang yang kesulitan mencari makan. Ia teringat peng
Bab 119 “Perempuan kurang ajar! Berani sekali kamu mengusirku. Kamu tanggung sendiri akibatnya nanti!" Dengan marah Iswati masuk ke dalam kamar tamu, mengambil tasnya. Dokter Kartika mengikutinya dari belakang. Tangannya menyeret kopor. Saat melihat Amina, dia berkata dengan tatapan dingin. "Aku batal menginap di sini. Lebih baik aku tidur di rumahnya Tante." "Terserah Dokter Kartika. Jika memang di sana lebih nyaman daripada di sini." Amina menjawab dengan datar. Ia tidak tahu, alasan apa yang membuat sikap Dokter Kartika berubah padanya. Wanita itu lalu naik ke lantai atas, dan tergerak mengamati mamanya Eril dan Dokter Kartika melalui celah korden di kamarnya. Amina melihat kedua perempuan itu bertemu dengan seorang lelaki yang menunggu di seberang jalan. Pemandangan itu jelas sekali terlihat dari kamar Amina. Sejurus kemudian ia melihat Dokter Kartika berbicara dengan pria bertopi itu, setelah itu ia masuk ke dalam mobil dan melesat pergi. "Aneh! Siapa lelaki itu? Mungkinkah
Bab 120 Amina menggeliat, tidurnya nyenyak sekali. Ia bangun dengan tubuh segar. Diusapnya matanya pelan. Dia teringat dengan janji Eril. “Eril kok belum datang ya, tumben dia terlambat. Apa ada sesuatu di jalan?” gumamnya pelan. Tak mau berpikir ruwet, Ia lalu bersiap – siap pergi syuting. Butuh waktu 30 menit untuknya bersiap – siap. Setelah itu, Amina turun menemui Ayang dan Fahri yang bermain di dekat kolam ikan ditemani Bik Susi yang menyetrika baju. “Ibu, tadi Papa datang tapi cuma sebentar. Katanya ada kepentingan mendadak.” Ayang bilang ke Amina. Amina kaget. “Oh ya? Ibu kok tidak tahu, Nak?” Amina mencium kening anaknya dan mengusap kepala Fahri. “Sewaktu Ayang mengantarkan Papa ke kamar Ibu, Ibu sedang tidur,” jawab Ayang. “Wajah Om Fahri kelihatan sedih, dia buru- buru pulang tanpa mencium Ayang,” timpal Fahri. Kedua alis Amina saling bertautan. Ia tak menduga Fahri bisa sedetail itu menggambarkan kondisi dan kebiasaan Eril. “Apa betul begitu, Bik?” tanya Amina. “I
Bab 121“Eril berhenti? Kenapa saya tidak tahu? Apa alasannya, Bu?” tanya Amina syok. Hatinya mendadak terluka. Reflek, ia memijat tengkutnya menahan emosi.“Makanya saya bertanya kepadamu. Kalian ada masalah apa? Ini tidak professional sekali!” Suara Bu Hesti meninggi.Tidak ada cara lain untuk membuat Ibu Hesti suka. Selain Amina mengungkapkan sekilas masalahnya.“Oke, saya mengerti. Jadi ibunya Eril tadi ke rumahmu? Hmm ini tak masuk akal.” Ibu Hesti memainkan bolpoin di tangannya.“Sebenarnya Eril juga sempat menceritakan masalahnya kepada saya beberapa hari yang lalu. Saat itu, dia mengungkapkan keinginannya untuk berhenti, tapi saya cegah. Dia punya potensi, tapi ya sudahlah, dia sudah memilih,” ungkap Bu Hesti kecewa.Keduanya sama – sama diam dengan pikirannya masing – masing.“Kamu boleh pergi sekarang. Ibu rasa, kamu perlu manager baru. Sepertinya Ridwan cocok. Kamu masih ingat Ridho, kan?” Ibu Hesti menduga, Eril juga akan berhenti menjadi manager Amina.“Ridho, sales prope