Bab 119 “Perempuan kurang ajar! Berani sekali kamu mengusirku. Kamu tanggung sendiri akibatnya nanti!" Dengan marah Iswati masuk ke dalam kamar tamu, mengambil tasnya. Dokter Kartika mengikutinya dari belakang. Tangannya menyeret kopor. Saat melihat Amina, dia berkata dengan tatapan dingin. "Aku batal menginap di sini. Lebih baik aku tidur di rumahnya Tante." "Terserah Dokter Kartika. Jika memang di sana lebih nyaman daripada di sini." Amina menjawab dengan datar. Ia tidak tahu, alasan apa yang membuat sikap Dokter Kartika berubah padanya. Wanita itu lalu naik ke lantai atas, dan tergerak mengamati mamanya Eril dan Dokter Kartika melalui celah korden di kamarnya. Amina melihat kedua perempuan itu bertemu dengan seorang lelaki yang menunggu di seberang jalan. Pemandangan itu jelas sekali terlihat dari kamar Amina. Sejurus kemudian ia melihat Dokter Kartika berbicara dengan pria bertopi itu, setelah itu ia masuk ke dalam mobil dan melesat pergi. "Aneh! Siapa lelaki itu? Mungkinkah
Bab 120 Amina menggeliat, tidurnya nyenyak sekali. Ia bangun dengan tubuh segar. Diusapnya matanya pelan. Dia teringat dengan janji Eril. “Eril kok belum datang ya, tumben dia terlambat. Apa ada sesuatu di jalan?” gumamnya pelan. Tak mau berpikir ruwet, Ia lalu bersiap – siap pergi syuting. Butuh waktu 30 menit untuknya bersiap – siap. Setelah itu, Amina turun menemui Ayang dan Fahri yang bermain di dekat kolam ikan ditemani Bik Susi yang menyetrika baju. “Ibu, tadi Papa datang tapi cuma sebentar. Katanya ada kepentingan mendadak.” Ayang bilang ke Amina. Amina kaget. “Oh ya? Ibu kok tidak tahu, Nak?” Amina mencium kening anaknya dan mengusap kepala Fahri. “Sewaktu Ayang mengantarkan Papa ke kamar Ibu, Ibu sedang tidur,” jawab Ayang. “Wajah Om Fahri kelihatan sedih, dia buru- buru pulang tanpa mencium Ayang,” timpal Fahri. Kedua alis Amina saling bertautan. Ia tak menduga Fahri bisa sedetail itu menggambarkan kondisi dan kebiasaan Eril. “Apa betul begitu, Bik?” tanya Amina. “I
Bab 121“Eril berhenti? Kenapa saya tidak tahu? Apa alasannya, Bu?” tanya Amina syok. Hatinya mendadak terluka. Reflek, ia memijat tengkutnya menahan emosi.“Makanya saya bertanya kepadamu. Kalian ada masalah apa? Ini tidak professional sekali!” Suara Bu Hesti meninggi.Tidak ada cara lain untuk membuat Ibu Hesti suka. Selain Amina mengungkapkan sekilas masalahnya.“Oke, saya mengerti. Jadi ibunya Eril tadi ke rumahmu? Hmm ini tak masuk akal.” Ibu Hesti memainkan bolpoin di tangannya.“Sebenarnya Eril juga sempat menceritakan masalahnya kepada saya beberapa hari yang lalu. Saat itu, dia mengungkapkan keinginannya untuk berhenti, tapi saya cegah. Dia punya potensi, tapi ya sudahlah, dia sudah memilih,” ungkap Bu Hesti kecewa.Keduanya sama – sama diam dengan pikirannya masing – masing.“Kamu boleh pergi sekarang. Ibu rasa, kamu perlu manager baru. Sepertinya Ridwan cocok. Kamu masih ingat Ridho, kan?” Ibu Hesti menduga, Eril juga akan berhenti menjadi manager Amina.“Ridho, sales prope
Bab 122Lelaki itu cepat – cepat mengganti sarungnya dengan celana jeans. Dia membasuh mukanya sebentar dan mengambil kunci mobil Eril yang tergeletak di atas meja.“Kampret lo Ril! Lo main pergi dan perintah saja. Bisa – bisanya lo kagak bilang ke gue mau ke mana,” gerutu Reynard sepanjang jalan. Dia sudah telat menemui Amina.Sementara itu di sudut Café Lembayung, Amina tampak gelisah. Tadi pagi, ia membaca pesan Eril dan langsung bergegas ke Cafe.Hampir dua jam dia menunggu Eril, tapi dia tidak datang. “Kemana kamu, Ril.” Hatinya tertekan. Ada rasa sesak yang menjalar di hatinya. Berulang kali ia menelpon Eril, sayangnya, ponsel pemuda itu tidak aktif.Setelah mendapatkan informasi Eril berhenti dari RTV, Amina menjadi bimbang untuk memutuskan Eril sebagai managernya. Bagaimanapun, lelaki itu telah berjasa pada kepadanya. Selain itu ia juga memikirkan perasaan Ayang.Seorang waitress mendatangi Amina. “Apa Mba mau memesan minuman lagi?” tanyanya ramah setelah melihat gelas minuman
Bab 123 Amina menelengkan kepalanya ke kanan. “Maaf, Anda siapa” tanyanya kalem. Ia sama sekali tidak mengenali lelaki di depannya itu. “Kamu tidak perlu tahu siapa saya! Lebih baik kamu bayar hutang bapakmu sekarang!” Wajah lelaki itu garang sekali. “Bagaimana saya mau membayar, jika saya tidak tahu Anda siapa? Anda tiba – tiba datang dan marah – marah tanpa saya tahu sebabnya.” Ekor mata Amina menyisir ke sekeliling. Dia tak enak menjadi pusat perhatian customer di Café Lembayung. “Cepat bayar! Saya capek mengikuti kamu terus!” Wajah lelaki itu kian beringas. Amina berusaha untuk tetap tenang, walau nyalinya ciut. “Begini, bagaimana kalau Anda duduk dan makan atau minum dulu? Setelah itu baru kita selesaikan masalahnya.” Ia baru menyadari lelaki itu tampak lelah dan mengantuk. “Oke, setelah itu apa kamu berjanji mau membayar?” Pria itu mempertimbangkan tawaran Amina. “Kita sebaiknya makan dulu.” Supaya pembicaraan mereka tidak didengar oleh orang lain. Amina memilih tempat d
Bab 124 “Arrghhhh…” Akibat lehernya ditekan kuat, Bangor kesulitan bernapas, ia tampak sangat kesakitan. “Hey, lepaskan dia. Lelaki itu hanya menjalankan tugasnya,” bela Amina ketakutan. Ia tidak mau masalahnya kian rumit dengan pemberitaan yang memojokkan dirinya. “Apa kamu tahu, lelaki ini mengancammu?” “Iya, aku tahu. Tapi tolong lepaskan dia dulu!” bentak Amina kesal. Lelaki itu melepaskan lengannya. “Jika wanita itu tidak melarangku. Aku tidak segan mematahkan lehermu.” Dia mengusap mulutnya dengan kasar. “Awas kamu, kalau mengancamnya lagi. Aku akan bawa kamu ke kantor polisi!!” Bangor mendengus. “Sialan! Gara – gara kehadiranmu, pekerjaanku jadi lamban!” Dia berdiri di depan pria itu. “Aku tidak takut dengan ancaman kamu! Besok kalau Amina tidak membayar hutangnya. Jangan salahkan aku, jika anaknya kulenyapkan!” hardiknya kejam. Ia mau pergi, tapi kakinya dijegal oleh pria itu, hingga membuat Bangor tersungkur. Pria itu menatap nanar mata Bangor. “Kamu disuruh siapa?”
Bab 125“Amina awas!” Reynard mendorong keras tubuh Amina.Akibatnya, kayu itu menghantam keras punggung Reynard. BUG! Lelaki itu mengeluh sebentar. Kemudian, dalam sekali kedipan mata, dia berbalik dan melemparkan tendangan bertenaga pada badan Bangor. Preman itu tersungkur ke tanah.“Bedebah kau!” Reynard kemudian dengan sigap membekuk tangan preman itu ke belakang. “Sudah kuperingatkan masih saja belagu!” Ia mengusap kotoran yang ada di mulutnya. Dia kemudian mengambil dompet Bangor, mengambil dompetnya.Bangor ketakutan. “Bang, tolong jangan ambil dompetku.” Jika lelaki itu mengambilnya, mampuslah dia di Jakarta.Reynard mengambil foto identitas preman itu lalu meliriknya sinis. “Oke, aku kembalikan, dengan syarat kamu jangan ganggu Amina dan anaknya. Soal hutangnya, kami akan selesaikan. Mengerti kamu!”“Baik, Bang!” Bangor berjanji.Sesuai janjinya Reynard mengembalikan dompet kepadanya. Preman itu lalu pergi tanpa menoleh ke belakang lagi dengan muka masam.Reynard, mendekati A
Bab 126"Memangnya kamu siapa? Berani sekali kamu menyuruhku menemui Jazuli!" Mata Amina berkilat marah. Napasnya tersengal-sengal, menahan emosi.Reynard tersenyum tipis. "See! Kamu langsung marah, tanpa bertanya alasanku terlebih dahulu." Disadarinya wanita yang duduk di sampingnya itu begitu rapuh. Pria itu meliriknya sekilas, dan dia sangat cantik. Pantas Eril bertekuk lutut."Untuk apa aku bertanya. Jelas - jelas kamu menyarankan nasehat sesat kepadaku!" dengus Amina. " Hentikan mobilnya. Turunkan aku di sini.""Tidak! Aku berjanji akan mengantarmu sampai rumah."Amina bertambah kesal. Ouh, dia meremas - remas jemarinya. Lelaki di sampingnya itu wataknya lebih kuat daripada Eril. Tegas dan blak - blakan.Setelah melihat Amina agak tenang, Reynard melanjutkan kalimatnya."Sekarang gue bertanya, apakah masalah lo akan selesai bila turun dari mobil?" Reynard mencemooh. Perempuan selalu begitu, bisanya mengancam dan ngambek.Amina diam. Dia melengos dan mengalihkan pandangannya ke lu