Bab 128Eril tidak menghiraukan perkataan Adrien. Laki - laki itu dengan angkuh melewati Adrien lalu berjalan menembus badai."Ril, Eril!" teriak Adrien. Suaranya melengking, berharap pemuda itu menoleh padanya.Sia - sia! Suara Adrien tertelan gemuruh hujan yang disertai angin kencang.Ranting - ranting pohon meliuk, seakan berputar dan saling bergesek, menimbulkan suara menakutkan.Beberapa pohon yang akarnya tidak kuat harus rela tercabut dan terhempas mengotori halaman resort.Hati Adrien cemas angin kencang itu menerbangkan atap bungalow mereka."Jasmine!" Ingatan Adrien melesat ke keponakannya. Ia tadi meninggalkan bocah itu di kantin.Tanpa memedulikan hujan. Adrien berlari menuju kantin. Ia lega melihat Jasmine berada bersama tamu lain. Dia asyik makan jagung bakar dan acuh terhadap ganasnya badai.Di kantin ada api unggun yang berada di tengah - tengah ruangan kantin. Selain untuk menghangatkan badan, seringnya tamu menggunakannya untuk membakar jagung dan ubi, hasil kebun re
Bab 129 Adrien mendesah panjang. Hatinya mendadak sedih, teringat dua orang yang dicintainya meninggal, dan meninggalkan anak kecil yang harus ia urus. Diusapnya kepala Jasmine lembut. “Aunty yakin, lelaki itu akan selamat. Sekarang, sebaiknya kita tidur, besok banyak pekerjaan yang menunggu kita.” “Iya Aunty.” Setelah itu Jasmine membaca doa mau tidur. Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut. Adrien tersenyum melihatnya. Kemudian ia mematikan lampu di kamar. Resor mereka belum terjangkau listrik, sehingga mereka menggunakan solar panel untuk menghidupkan lampu, men- charge ponsel serta laptop. Lampu di resor menyala mulai jam 6 sore sampai 10 malam. Setelah itu gelap gulita. Mereka mengandalkan penerangan alami. Di sana tidak ada televisi maupun kulkas. Sebagai gantinya, Adrien menyediakan gitar, dan permainan seperti catur, karambol, kartu serta banyak buku sebagai hiburan mereka dan tamu yang berkunjung. Tamu – tamu yang datang ke resor menyukai idenya. Meskipun ada internet
Bab 130“Aunty… Aunty!!” Jasmine berlari kencang ke resor.Sontak, teriakan anak kecil itu membangunkan Stephane, turis asal Perancis yang menghuni bungalow dekat pantai.Pria bule itu tergesa – gesa menghampiri Jasmine. “What’s up Jasmine? Where is Adrien?” tanyanya ingin tahu.Melihat Stephane, Jasmine segera menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. “Sir, please followed me. I saw a death man on the beach.” Ia setengah memaksa supaya pria itu mengikutinya.“Let’s go!’ kata Stephane ingin tahu.” Dia mengikuti langkah kecil Jasmine.Bersamaan dengan itu, Adrien terbangun. Ia kaget karena Jasmine tidak ada bersamanya. “Jasmine, di mana kamu?” Dengan panik dia keluar mencari Jasmine. Hatinya tergerak pergi ke pantai.Kemudian, di dekat kapal cepat miliknya, Adrien melihat sinar lampu senter, dan dua orang yang sedang berjongkok. “Jasmine, bersama dia?” Tergesa – gesa ia mendekatinya.Stephane membalikkan tubuh Eril, kemudian ia memeriksa nafasnya. Dengan sigap lelaki itu merobek ka
Bab 131“Amina! Buka pintunya!” Suara Iswati melengking memecah pagi.Bik Susi yang mendengar suara Iswati menghadap ke Amina. “Ada mamanya Mas Eril di luar. Biarin saja dia ya, Bu. Kita tidak usah membukakan pintu.” Ia masih kesal dengan perempuan itu.Amina menarik napas. “Jangan begitu, Bik. Bagaimana pun dia tetap tamu kita.” Dia melangkahkan kakinya hendak membuka pintu, tetapi Fahri mencegahnya.“Biar saya saja Tante.” Tanpa menunggu persetujuan Amina, anak kecil itu membukakan pintu gerbang. Ia lalu ke lantai atas, menemui Ayang dan berjaga – jaga melindungi gadis cilik itu.Kepala Amina muncul dari balik pintu. “Silahkan masuk, Tante.” Ia menutupi rasa tak nyamannya, kenapa wanita itu masih mau datang, setelah dia mengusirnya tempo hari. Apa yang mau dilakukannya lagi? Seribu bertanyaan berhamburan datang di benak Amina.Rupanya Iswati datang bersama Dokter Kartika, mereka diantar oleh lelaki yang pernah dia lihat sebelumnya.Amina mengamatinya sejenak. Untuk beberapa saat mat
Bab 132“Siapa laki – laki itu, Tante.” Sorot mata Amina menghujam mata Iswati.Tak ayal, pertanyaan Amina membuat dada Iswati bergetar hebat. “Saya peringatkan kamu! Jangan sembarangan menuduh orang lain. Saya masih setia dengan papanya Eril!” jawabnya terengah – engah.Amina mencibir. Dia senang melihat Iswati terprovokasi oleh pertanyaannya. “Saya tidak menuduh, saya hanya ingin tahu siapa laki – laki yang mengantar Tante dua kali ke sini? Kenapa Tante tidak menyuruh Eril?”Iswati diam, dia masih mencari alasan tepat. Kemudian, Reynard menjawabnya.“Kalau tidak salah, dia adalah Vincent, wartawan gossip.” Lelaki itu melihat ke Amina. “Apa kamu yakin tidak pernah melihat Vincent? Dia tinggal di apartemen Setiabudi, sayangnya Eril tidak pernah menyukainya.”Amina tersenyum tipis. Sekarang masalah mulai jelas. “Sebernarnya, tujuan Tante ke sini mau apa? Mencari Eril atau hanya mau membuat berita heboh untuk memojokkan saya?”Iswati berubah gagap. “S-saya mau tanya Eril, itu saja. Tapi
Bab 133 Maksudmu, wanita yang menunggu di teras? Memangnya kenapa dengan dia?" Amina serius menanggapi pertanyaan Reynard. "Apakah kamu mengenalnya?" Reynards menegaskan pertanyaannya. "Huum? Dia Psikiaterku, tapi belakangan ini dia berubah secara mendadak dan seolah -olah tidak mengenalku. Padahal sebelumnya kita akrab." Amina kaget dia.bisa begitu terbuka dengan Reynard yang baru beberapa hari dikenalnya. “Apa kamu mengenalnya?” tanyanya balik. Reynard tersenyum tipis. "Apa kamu tidak merasakan keanehan dengan perubahan sikapnya itu.” Ia menggali apa yang ada dalam pikiran Amina. Amina menggelung rambutnya ke atas dan memperlihatkan lehernya yang jenjang. “Keanehan soal apa dulu. Pernah sih terlintas di kepalaku kenapa Dokter Kartika berubah. Sayangnya, masalah yang datang bertubi – tubi membuatku mengabaikannya.” Ia memperhatikan Reynard yang serius mendengarkannya. “Apa kamu pernah menanyakan perubahan itu padanya? Siapa tahu, kamu pernah menyakiti hatinya.” Reynard hati – h
Bab 134 Sementara itu, di Atauro. Adrien duduk terkantuk – kantuk di sisi ranjang Eril. Sesekali dia memeriksa suhu badan lelaki itu. Badannya masih panas. Wanita itu lalu mengganti kompres di dahi Eril. “Amina… Amina…!” Eril terus mengigau dengan alis saling bertaut. Adrien mengusap peluh di dahi Eril, “Apa gara – gara wanita kamu sembunyi di sini, Ril?” gumamnya pelan. Sudah dua hari, Eril demam, dan Adrien setia menunggunya, dan ini malam ke tiga. Beruntungnya dia memiliki staff seperti Maria, Joseph dan Robert mereka bergantian menjaga Eril. Adrien sadar, sebagai pemilik resor, ada tanggung jawab tak tertulis untuk membuat nyaman tamunya. Ia memiliki prinsip, setiap tamu yang menginap di resor adalah keluarganya. Maka ia harus menjaga mereka seperti keluarganya sendiri. Wanita itu menguap berkali – kali, lalu merenggangkan tangannya ke atas. Ia sangat lelah dan butuh istirahat. Setelah melihat tertidur nyenyak, dia menyandarkan punggungnya di tiang bambu. Keesokan paginya…
Bab 135 Belum hilang keterkejutan Adrien, perempuan itu kembali tercengang dengan sikap Eril. “Sayang, tidurmu pasti nyenyak sekali semalam.” Lelaki itu mencium kedua pipi Adrien, lalu membersihkan kotoran di matanya.. Ciuman Eril yang mendadak itu membuat pipi Adrien bersemu merah. Darah yang mengaliri badannya terasa panas. Sekujur tubuhnya menegang. Dia belum pernah dicium oleh lelaki sebelumnya. Beberapa detik, tubuhnya seperti melayang – layang ke udara. Jasmine yang melihat Adrien dicium lelaki, tersenyum malu – malu. Dia kemudian memegang tangan Eril. “Dia Adrien, bukan Amina, Om.” Disangkanya lelaki itu bergurau. Eril kelihatan bingung. Dia memandang anak kecil itu lama. “Ayang, kamu jangan menggoda Papa. Dia ibumu.” Lelaki itu menghadapkan tubuh Jasmine ke Adrien. Jasmine mundur beberapa langkah, kemudian dia bersembunyi di belakang Adrien. “Aunty? Apakah Om Eril gila?” katanya pelan, seraya matanya mengintip Eril dari balik kaos Adrien. “Aunty tidak tahu sayang.” Adrie