Dimas berusaha menghentikan langkah istrinya. Namun, Lena langsung menarik tangannya agar Dimas tak kemana-mana."Lepaskan aku!" Dimas membentak Lena."Aku berhak melarang kamu. Kamu ayah dari anakku!" Lena balas membentak."Jangan mimpi! Lakukan saja test DNA. Aku bukan orang bodoh yang langsung percaya pada bualanmu!" Dimas menatap tajam wanita di hadapannya.Lena terperanjat. Dia tak berpikir jika Dimas akan berpikir ke arah sana. Lena mengira bahwa Dimas akan melunak karena mereka akhirnya punya alasan untuk menikah. Ternyata Lena salah. Bukannya bahagia mendengar bahwa mereka akan memiliki anak dari buah cinta mereka, Dimas malah murka dan menuduhnya yang bukan-bukan.Lena tampak bersedih. Air matanya mengalir mendapatkan perlakuan Dimas yang kasar seperti itu. Dan lebih parahnya lagi, sedikit pun Dimas tak mempercayai ucapannya.*"Dwi, kamu kenapa?" tanya Arya ketika berpapasan dengan Dwi di sebuah lorong menuju toilet.Tanpa menjawab, gadis itu langsung menerobos masuk, tak m
Setelah membuat Lena shock dengan sikapnya, Dimas keluar untuk menyusul Dwi. Dia berjalan cepat mencari Dwi ke mejanya. Namun istrinya sedang tak berada di sana."Mana Dwi?" tanya Dimas pada karyawati yang duduk di sebelah Dwi."Katanya mau mengantar dokumen ke ruangan Pak Arya, Pak," sahut gadis berkemeja abu-abu itu.Dimas langsung bergegas menuju ruangan Arya. Tanpa mengetuk pintu pria yang sedang dilanda kecemasan itu mendorong paksa pintu kayu berwarna cokelat di hadapannya.Di dalam pikirannya, saat ini Dwi sedang menangis mengadu pada sahabatnya itu, dan Dimas tak ingin Arya mengambil kesempatan dengan memeluk istrinya dengan dalih menenangkannya.Namun saat pintu terbuka, ruangan itu kosong. Tak ada Dwi di sana, maupun pemilik ruangan itu.Dimas meremas rambutnya sendiri. Merasa frustasi bahwa kini Dwi dan Arya menghilang bersamaan. Bayangan Dwi menangis di pelukan Arya menari-nari di kepalanya. Andai saja itu benar, dia bersumpah akan meninju wajah Arya saking geramnya.Dimas
"Istri?" sindir Arya. "Emang istri kamu ada berapa? Kamu pikir aku nggak tahu bagaimana selama ini kamu memperlakukan Dwi?""Kamu__." Dimas ingin kembali mendekatinya. Namun tangan Dwi kuat memegangi lengan berotot pria itu.Dimas menatap Dwi yang sedang menangis bercampur dengan ketakutan. Rasa amarah tadi menjadi rasa iba melihat istrinya yang begitu menderita karena ulah dirinya."Keluar! Mas akan jelaskan semuanya." Dimas menatap istrinya dengan lekat."Dwi nggak mau mendengar apa pun lagi. Semuanya udah jelas. Dwi memang bodoh karena hampir percaya dengan ucapan Mas. Tapi Dwi nggak buta! Mata Dwi jelas melihat Mas Dimas berpelukan dengan wanita itu. Jadi kita akhiri sampai di sini!" "Kamu salah paham! Itu nggak seperti yang kamu pikirkan. Sekarang ikut Mas. Kita bicarakan dengan tenang." Dimas menarik tangan Dwi dan menyeretnya. Namun Dwi tidak mau hingga membuat Arya kembali turun tangan."Lepaskan dia, Dim! Dwi nggak mau ikut sama kamu!""Jangan ikut campur urusan rumah tangga
Arya menatap Dimas tak percaya. Hatinya begitu terluka. Meski Arya tak pernah tahu bahwa sejak menikah, Dimas tak pernah menyentuh istrinya, namun dia tak menyangka bahwa pada akhirnya Dwi benar-benar telah menjadi milik sahabatnya, seutuhnya.Arya merasa kecewa. Harapannya tentang perceraian sepasang suami istri itu musnah sudah. Meski Dwi menginginkannya, wanita itu bisa saja berubah pikiran dengan anak yang kini ada di dalam kandungannya."Jangan main-main, Dimas! Anak pungut itu tidak mungkin hamil," sanggah Lena dari belakang. Merasa tidak terima dengan pengakuan Dimas."Apa yang tidak mungkin? Dwi adalah istriku. Aku halal melakukan apa saja padanya. Jadi jangan bermimpi aku akan menceraikannya." Dimas harus terlihat percaya diri.Pria itu hanya mengarang cerita agar Arya dan Lena berhenti mengharapkannya menceraikan Dwi. Padahal Dimas sendiri sadar, sekali pun dia belum berhasil mendapatkan haknya sebagai seorang suami."Tapi kamu sudah berjanji padaku, Dim. Kamu bilang tidak a
"Dimas, aku__.""KELUAR!" Lena tak bisa berbuat apa-apa. Melihat wajah Dimas yang murka membuatnya tak berani bertindak lebih jauh. Dia harus menunggu dan memikirkan cara lain.'Kamu pasti akan menikahi aku, Dim. Bagaimanapun caranya.'*Arya mengambil benda pipih dari saku celananya, kemudian mencari nama kontak untuk menghubungi mamanya."Apa? Dwi pingsan?" Suara Sonia membuat Arya memijat pelipisnya sendiri.Mau tak mau Arya harus memberitahu apa yang terjadi. Hanya saja dia tak berani menyampaikan kabar pada mamanya Dimas, bahwa Dimas telah menghamili wanita selain istrinya."Kasihan Dwi, Arya. Mama nggak nyangka kalau Dimas sampai tega seperti itu pada istrinya.""Arya juga bingung, Ma. Dimas bersikeras nggak mau melepas, Dwi. Bahkan untuk menolong Dwi yang tengah pingsan pun, Arya merasa nggak berhak. Arya harus bagaimana, Ma?""Ya udah. Kamu turuti aja apa maunya Dimas. Bagaimanapun, Dimas memang lebih berhak pada istrinya. Kamu menjauh dulu dari mereka. Biar mama hubungi tante
Ratih terhenyak. Bukannya wanita paruh baya itu tak menyangka akan apa yang Sonia ucapkan. Wanita itu sendiri tahu bahwa putranya memang bersalah karena telah menjalin hubungan dengan wanita lain di luar pernikahan.Namun yang membuat Ratih syok adalah Dimas telah melanggar norma-norma agama sedemikian parah hingga membuahkan kehamilan. Dirinya merasa sia-sia telah membekali putra semata wayangnya itu dengan rasa tanggung jawab dan juga moral."Ratih. Kamu enggak apa-apa, kan?" Sonia khawatir melihat Ratih yang terdiam tanpa sepatah kata pun."Jangan khawatir, Nia. Aku masih kuat." Bulir bening menetes di pipinya."Kamu tenang dulu ya, Tih. Siapa tahu wanita itu hanya memfitnah Dimas. Kamu dan aku sama-sama tahu bagaimana perangai Dimas selama ini, kan?" ucap Sonia menguatkan sahabatnya.Ratih menghela napas, merasa terbebani dengan cobaan yang datang bertubi-tubi. Belum lagi selesai satu masalah, sudah timbul masalah lain lagi. Tadinya Ratih sudah mulai tenang dengan sikap Dimas. Di
Dwi tak menjawab. Hanya menangis dengan semakin sesenggukan. Ratih mengerti bagaimana perasaan wanita itu. Ratih pun bisa melihat bahwa menantunya itu sudah mulai memberikan hatinya pada Dimas. Dari tatapan dan caranya menatap suaminya di meja makan, Ratih tahu bahwa sudah ada benih-benih cinta di antara mereka.Untuk itu lah Ratih tak pernah lagi membicarakan perceraian. Berharap kedua anak menantunya akan berdamai sebelum seratus hari kepergian suaminya."Jangan khawatir, Sayang. Ada mama di sini. Mama akan sepenuhnya berada di pihak kamu."Dwi menggenggam erat tangan mama mertuanya. Dwi tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. "Kenapa kamu pingsan? Apa yang sedang kamu pikirkan?" Ratih mencoba memancing perasaan Dwi.Dia melihat kali ini menantunya itu terlihat lebih rapuh. Padahal sebelumnya gadis itu begitu tegar, bahkan setelah tahu bahwa Dimas memiliki kekasih dan ingin menceraikannya.Namun kali ini Dwi berbeda. Membuat Ratih yakin kalau Dwi telah benar-benar jatuh cinta
"Hentikan sandiwara konyol kamu!" Ratih menahan tangan Lena yang masih histeris saat memukul-mukul perutnya sendiri.Wanita paruh baya itu tahu bahwa Lena sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatiannya. Namun demi anak yang dikandung gadis itu, Ratih mengalah.Dia khawatir anak yang dikandung Lena benar-benar anak Dimas. Tentu saja dia tak tega jika anak itu harus meninggal akibat ibunya yang sedang frustrasi.Lagipula semua orang tahu bahwa Dimas dan Lena berpacaran. Mau tidak mau tuduhan sebagai ayah dari anak yang dikandungnya adalah Dimas. Rasa tanggung jawab adalah pesan yang selalu ditanamkan Ratih pada putra semata wayangnya itu."Biarin aja dia, Ma! Itu bukan anak Dimas. Terserah dia mau menggugurkan anak itu atau tidak!"Dimas tak lagi terkecoh oleh sandiwara wanita yang dulu dicintainya itu."Tega kamu, Dim! Begini cara kamu? Habis manis sepah dibuang? Kamu mau membuang aku setelah mendapatkan wanita yang lebih muda? Laki-laki macam apa kamu?" Lena merasa begitu terpuk