Dimas dapat merasakan tentang betapa beratnya kerinduan yang dirasakan oleh istri kecilnya itu. Sebab saat ini Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak dan segera keluar dari masalah yang sedang menderanya. "Kamu yang sabar ya, Sayang. Mas akan segera membuktikan bahwa Mas tidak pernah berhubungan sejauh yang Lena tuduhkan pada Mas. Kamu percaya kan sama Mas?" Hanya kata-kata itu yang dapat Dimas ucapkan untuk meyakinkan istrinya."Dwi percaya sama Mas Dimas."*Sepanjang malam Dwi tidak bisa tidur memikirkan tentang keadaan suaminya. Sebagai istri, seharusnya saat ini Dwi berada di samping suaminya dan melayani segala kebutuhan Dimas. Dalam hati yang paling dalam, Dwi benar-benar merasa bersalah karena telah menuntut Dimas dengan berlebihan dan memberi sebuah beban yang sangat berat dipundak suaminya itu.Karena tidak bisa tidur, Dwi memutuskan untuk membuat sarapan untuk ibu mertuanya. Dwi harus mencari perhatian dari ibu suaminya itu agar tetap bersi
"Dimas! Dimana kamu? Ayo keluar! Jangan coba-coba sembunyi dariku Dimas!" teriak Lena dari luar sembari menggedor-gedor pintu ruangan yang biasa ditempati oleh Dimas dengan sangat keras. Sudah beberapa hari ini wanita itu datang ke kantor ini untuk mencari keberadaan kekasih hatinya itu dan ingin meminta pertanggung jawaban darinya.Namun sayang, apa yang dia cari tak kunjung ketemu. Bak ditelan bumi, keberadaan Dimas tidak dia ketahui. Yang ada hanya Arya, pemuda yang begitu menyebalkan baginya.Ratih dan Arya yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan kantor di dalam ruangan itu sontak terkejut."Siapa itu Arya?" tanya Ratih kepada putra temannya itu."Sepertinya itu suara Lena, Tante.""Kenapa wanita itu bisa bebas berkeliaran di kantor ini?""Dia sudah biasa melakukannya, Tante. Beberapa hari ini saja, dia sudah berkali-kali datang ke sini untuk mencari Dimas.""Kenapa kamu tidak mengusirnya?""Saya sudah mencoba untuk memberinya peringatan, namun wanita itu tidak juga mau meny
"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Maaf, Dwi. Papa udah nggak ada. Tidak ada gunanya lagi kita lanjutkan pernikahan ini." Bagai tersambar petir hatiku saat mendengar Mas Dimas mengucapkan kata itu. Laki-laki yang baru saja menikahiku dua minggu yang lalu. Kini tepat setelah tahlil malam ketiga berpulangnya mertua laki-lakiku, dia ingin kami berpisah begitu saja."Ma__maksud Mas..., apa? Salah Dwi apa, Mas?" Genangan air telah penuh mengisi rongga di tiap sudut netraku. "Kamu tahu sendiri alasan Mas mau menikahi kamu, kan? Sekarang alasan itu udah nggak ada. Mas udah memenuhi permintaan Papa saat dia masih hidup. Namun Mas juga punya hak mengambil keputusan untuk diri Mas sendiri."Air mataku mengalir deras begitu saja. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Mas Dimas maksudkan. Yang aku tahu kami menikah atas persetujuan kedua belah pihak. Sama sekali tak ada paksaan.Aku memang yatim piatu yang diasuh oleh keluarga Mas Dimas. Papanya yang telah lama menjalin persahabatan dengan ayahku, membuat orang tua Mas Dimas
"Apa Mas menyalahkan Dwi karena kematian Papa?" Aku mencari-cari di mana letak salahku.Mas Dimas memejamkan mata perlahan."Mas ingin jujur sama kamu, Dwi." Pria berperawakan tinggi tegap itu menatapku sendu. "Ada apa?""Mas punya pacar. Dan Mas berniat menikahi Lena."Bibirku bergetar mendengar nama yang dia sebutkan. Selama aku tinggal bersama mereka, tak pernah sekali pun kulihat Mas Dimas membawa atau mengenalkan seorang gadis pada keluarganya. Apa wanita itu baru saja dikenalnya?"Ma__maksud Mas, Mas sudah selingkuh di belakang Dwi?" Aku memberanikan diri bertanya. Tentu saja karena aku merasa punya hak sebagai istrinya."Tidak, Dwi. Sebelum menikah, Mas sudah lama menjalani hubungan dengan Lena. Dan pernikahan kita, hanya keinganan dari papa saja. Mas nggak pernah memiliki perasaan apa-apa sama kamu."Deg!Jantung ini rasa seperti diremas. Tanpa perasaan, dia bilang kalau aku tidak berarti apa pun di hatinya. "Lalu kenapa Mas terima permintaan papa? Kenapa waktu itu tidak men
Aku hanya terdiam menyaksikan mama memarahi mas Dimas habis-habisan. Aku yang sedari kecil hanya menumpang tinggal dengan mereka, merasa tak punya hak suara untuk menengahi perdebatan itu. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menanti dengan pasrah keputusan apa yang mereka ambil untukku.Aku yang tidak punya siapa-siapa lagi ini tak tahu harus ke mana jika harus mengalah dan pergi. Kerabat lain pun tak banyak yang aku kenal. Sementara selama ini, makan dan segala kebutuhanku masih dipenuhi oleh orang-orang di rumah ini.Andai aku mengalah dan angkat kaki dari sini, aku harus ke mana? Pengalaman kerja pun aku belum punya. Tidak mungkin aku membiarkan mas Dimas pergi dari rumahnya sendiri. Laki-laki yang masih sah menjadi suamiku itu pasti semakin membenci keberadaanku.Ya, Allah. Apa yang harus aku lakukan?"Kamu jangan khawatir, Dwi." Mama seperti bisa membaca pikiranku. "Kamu tetap menjadi anak Mama. Kalau Dimas menceraikan kamu, Mama akan mencarikan jodoh lain untuk kamu, dan menye
Kamar kita?Aku menelan ludah saat mendengar kata 'kita'. Barusan saja dia mengajakku berpisah, namun belum sampai satu jam dia langsung mengakuiku lagi sebagai istrinya. Aku tahu. Mas Dimas pasti tidak tega melihat kesedihan mama tadi. Dia pasti ingin menenangkan hati orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Nanti saat suasana sudah mulai tenang, suamiku ini pasti akan kembali ke niatan awalnya. Mas Dimas memang anak yang baik bagi orang tuanya.Sayangnya dia bukan suami yang baik... untukku."Iya, Mas." Aku Menurut saja. Toh juga saat ini aku masih istrinya. *"Ma, maafin Dimas, ya." Mas Dimas mulai membujuk mama saat sarapan.Pagi ini mas Dimas sudah berpakaian rapi seperti hendak ke kantor. Sejak papa meninggal hingga hari ini, mas Dimas memang tidak masuk kerja. Jika ada hal yang mendesak, asistennya akan datang dari kantor untuk membawakan berkas.Selama papa jatuh sakit, mas Dimas lah yang menggantikan papa memimpin perusahaan. Karena mas Dimas satu-satunya anak mama dan papa.