Share

Petang

"Zhura, sadarlah. Hari sudah malam."

Di dalam tidurnya, Zhura merasakan tepukan di bahu seolah pelakunya sedang mencoba membuatnya terbangun. Sejujurnya ia sudah terjaga, tapi dirinya hanya enggan untuk membuka mata. Entah sudah berapa lama Zhura tidak istirahat, tapi tubuhnya benar-benar kelelahan. Diulurkan lengan ke sekitar pembaringan, kernyitan lantas menyusul di kening saat ia tidak menemukan bantal kesayangan.

"Hei, cepat bangun, Bocah!" teriak sosok lainnya dengan nada marah.

Dikibaskan tangannya beberapa kali di udara seraya berkata, "Keluarlah, aku masih mengantuk. Ibu tahu, aku baru bermimpi masuk ke dunia dengan makhluk-makhluk konyol. Di sana aku bertemu dengan paman-paman mesum berkaki kambing yang tidak memakai celana dalam. Memimpikan itu semua membuat tubuhku sangat lelah, rasanya seperti aku baru saja mengikuti kompetisi ninja."

"Dia orang gila, ya?" Suara familiar itu terdengar lagi, begitu samar seakan pemiliknya tengah berbisik.

"Pokoknya aku masih ingin tidur, tolong jangan ganggu aku. Ngomong-ngomong, di mana bantalku?" Zhura mengulurkan tangan, menunggu uluran bantal bercorak bunga matahari kedatangan. Namun, bukan menerima benda empuk itu, wajahnya justru kejatuhan benda lain dengan begitu keras. Kenyamanan dan kantuk seketika buyar berantakan, harapan untuk terlelap dalam tidur lagi seketika hilang. Zhura yang linglung tersentak bangkit dari pembaringan, terperangah menatap dua sosok gadis di dekatnya.

"Jadi, kalian benar-benar nyata?" tanya Zhura dengan wajah pias.

"Kau mau bantal? Itu bantalmu!" seru Valea.

"Ini pakaian apa?" Zhura menatap pakaian yang baru saja dilemparkan si gadis merah. Mengerjapkan mata, gadis itu mendongak untuk mendapatkan pandangan lebih jauh. Tempat tidurnya ternyata hanya tikar cokelat yang digelar di atas rerumputan. Terlihat Inara duduk di samping kirinya, dia bersimpuh seraya memegang segelas air. Sementara Valea, gadis itu berdiri di samping Inara.

"Sebenarnya apa yang terjadi dan di mana ini?" tanya Zhura menatap tenda putih besar tempat mereka bernaung.

"Kau tidak sadarkan diri di kereta dan sekarang kita sedang berada di padang," jawab Inara menyerahkan segelas airnya pada Zhura.

Zhura menenggak air yang Inara berikan hingga tandas, kemudian ia mencermati keadaan sekitar. Pencahayaan di tenda tidak begitu baik, ia jadi kesulitan melihat bagaimana wajah kedua gadis itu. Meskipun begitu, lentera-lentera yang terpasang di sudut tenda memberikan cahaya baginya untuk menyadari bahwa telinga Inara berbeda dengan telinganya. Telinga Inara panjang lancip, dilihat dari tempat temaram pun jelas-jelas itu bukan telinga milik manusia.

Diam-diam dirinya mengambil keberanian untuk menyuarakan isi hati. "Jadi, kalian itu sebenarnya makhluk apa? Kenapa fisik kita berbeda-beda?"

Menyadari kegugupan Zhura, gadis berambut hitam itu mengusap ringan bahunya seakan menenangkan. "Seperti yang kau lihat, aku adalah seorang elf. Ras kami menempati hampir empat puluh persen wilayah Silvermist. Aku berasal dari desa merpati, salah satu wilayah terluas di kerajaan ini. Di sampingku, dia adalah Valea." Inara menoleh pada gadis berambut merah, memindahkan kelanjutan penjelasan kepadanya.

"Aku Valea," tutur gadis merah itu seolah berbicara adalah hal yang membuang-buang waktu.

Inara menggeleng-geleng, lalu menepuk ringan pinggang Valea seraya tertawa lagi. "Dia memang terlihat pemarah dan galak, tapi sebenarnya dia orang yang baik. Namanya Valea, dia adalah manusia sepertimu, Zhura. Para manusia menempati separuh Firmest, yang artinya mereka adalah kaum terbesar. Sisa wilayahnya terisi oleh makhluk campuran seperti yang kau lihat di hutan tadi, dan juga pastinya ada banyak hal lain."

"Oh, begitu." Zhura mengalihkan pandangan dari Valea. Secara pribadi, ia tidak ada niatan untuk membahas gadis merah menyebalkan itu. Saat ini mereka berada dalam tenda putih yang sangat besar yang dapat menampung puluhan orang sekaligus. Karpet-karpet cokelat yang ia kira terbuat dari kulit dibentangkan menjadi alas. Zhura seperti berada di dalam perkemahan raksasa yang diisi oleh ratusan gadis.

Beberapa meter ke sisi kanan, seorang gadis berpelukan dengan temannya sembari menangis. Ada kata-kata sedih dan menakutkan keluar dari bibirnya yang bergetar, sepertinya dia sedang ketakutan. Sementara yang lain juga tak jauh beda kacaunya. Mereka duduk termenung dengan mata sembab, entah bagaimana raut-raut keruh serupa juga tampak pada gadis-gadis di dalam tenda.

"Seperti apa situasi kita? Sebenarnya ada apa ini? Kenapa dengan mereka semua?"

"Seperti yang kubilang, kita sedang berada di padang. Di sini tempat dikumpulkannya para gadis pengorbanan," jawab Inara dengan senyum yang tenggelam.

Rasa lelah di tubuh Zhura lekas menghilang tepat setelah mendengar ucapan Inara. "Gadis pengorbanan itu, siapa mereka?" tanya Zhura meminta penjelasan lebih.

"Kasihan sekali, bagaimana bisa kau tidak tahu apapun?!" seru Valea mendekat. Inara menepuk pelan bahunya, lantas menatap Zhura dengan sorot kebingungan. "Zhura, semua orang di dataran Firmest harusnya tahu tentang siapa itu gadis pengorbanan. Apakah benar, kau bukan berasal dari satu pun wilayah di Firmest? Kalau begitu, darimana asalmu?"

"Kau benar, aku memang tidak berasal dari dunia ini," jawab Zhura mengangguk beberapa kali.

Valea yang sebelumnya sudah mendekat tiba-tiba mundur satu langkah, dia mulai menatap Zhura dengan kengerian yang dibuat-buat. "Tidak berasal dari dunia ini? Apa jangan-jangan kau adalah arwah penasaran? Aku pernah dengar setiap tahun akan ada roh terkutuk yang turun. Jadi itu adalah kau yang datang dari alam penghakiman? Mungkin karena amalmu sangat jelek, kau jadi tidak diterima di sisi surga maupun neraka, karena itu kau memilih datang ke dunia lagi dan menghantui kami?"

Zhura berdecak, menahan rasa ingin menyumpal mulutnya dengan rerumputan di bawah karpet. "Ha-ha cerita konyol macam itu?! Murahan sekali idenya, lain kali belajarnya lebih dulu untuk menghargai orang lain daripada bercerita."

Valea meletakkan tangannya di pinggang, sementara tatapannya lebar menganga. "Kau bosan hidup, ya?" ancamnya.

Inara mencoba menengahi mereka dengan menarik tubuh Valea untuk duduk di sampingnya. "Sudahlah, lagipula ada apa dengan kalian? Belum ada satu hari kita bertemu dan kalian berdua sudah bertengkar terus."

Setelah mengirim sorot keruh sebagai balasan untuk si gadis merah, Zhura menggenggam tangan Inara dengan erat mencoba mencari simpatinya. "Percayalah, aku tidak berbohong. Aku adalah manusia sungguhan yang datang dari dunia lain. Lihatlah, aku memakai pakaian tebal karena tempat asalku sedang musim dingin, aku sungguh tidak berasal dari tempat ini. Jika kalian mau, aku akan menceritakan bagaimana aku sampai di sini. Kemarin, aku mengantarkan roti milik seorang wanita tua yang rumahnya terletak di ujung hutan desaku. Lalu, suatu hal terjadi di dalam rumahnya sehingga aku tak sengaja masuk di dunia ini."

Kulihat Inara dan Valea mulai mengikuti perkataan Zhura dalam diam. Sebelah tangan kemudian terulur ke arah saku celana, mencoba mencari keberadaan kalung itu. Diembuskan napas lega seraya mengucap syukur saat menemukan benda itu ternyata masih ada padanya. "Wanita itu meninggalkan kalungnya dalam amplop. Aku lantas berpikir untuk mengembalikan kalung ini, jadi aku masuk saja ke dalam rumahnya. Tapi lantai tempat aku berdiri tiba-tiba roboh, itu membuatku jatuh ke dalam tanah yang sangat dalam. Di ujung lubang itu, anehnya aku berakhir di hutan dengan kabut perak dan pohon-pohon besar, tempat kita tertangkap tadi siang."

"Benarkah?" tanya Valea. Kini seluruh sorot menyebalkan miliknya sudah hilang terganti raut tercengang. Ekspresinya tak berbeda dengan Inara. Mereka berdua tampak tak habis pikir, itu terlihat dari bagaimana mata mereka yang melebar sebesar koin satu sen.

Zhura pandangi bandul kalung yang berbentuk seperti belati di tangannya. Warnanya sebiru lautan. Benda itu begitu cantik, tapi sensasi berat justru mengisi hati. Mungkin saja jika Zhura tidak berniat mengembalikan benda ini pada wanita itu, sekarang ia pasti masih berada di dunianya. Nasi sudah menjadi bubur, sekarang yang bisa ia lakukan hanya bertahan untuk mencari jalan pulang.

Bagaimana pun caranya, ia harus pulang. Sembari menenangkan diri sendiri, Zhura mengenakan kalung itu. Situasinya sedang tidak jelas, satu-satunya benda yang bisa menjadi petunjuk jalan pulang hanyalah kalung belati ini. Selain itu, ada suatu bagian dari dirinya yang merasa bahwa ia tidak boleh kehilangan benda ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status