Share

Pangeran Dengan Hati

"Tidak ada yang tahu nasib mereka. Ada yang percaya mereka sudah mati terbunuh oleh pemilik Naga Biru, penguasa dataran Hidee. Ada juga yang bilang mereka terjebak di sana."

"Kenapa gadis suci harus mencari darah pemilik Naga Biru? Apakah sosok itu adalah orang yang mengutuk dunia?"

"Itu memang yang kami percayai selama ini. Dialah mengutuk dataran Firmest semenjak ribuan tahun. Membuat kita harus selalu mengorbankan nyawa gadis-gadis, sebelum bulan purnama merah yang akan muncul setiap enam belas musim semi," lanjut Inara.

Zhura mengalihkan pandangan pada lentera kecil yang berada tak jauh dari tempatnya terduduk. Redup, itu bergoyang tertiup angin dari sela-sela tenda. "Apa yang akan terjadi jika tidak mengobankan para gadis? Dan tidak perlu mencari darah suci pemilik Naga Biru?"

"Kutukannya akan datang, dataran Firmest akan tertimpa nasib buruk. Mulai dari kekeringan, pandemi, dan bencana alam. Aku pernah mendengar ceritanya dari ayahku. Saat itu, kelima kerajaan sepakat untuk menghentikan ritual pengorbanan dan pencarian darah suci, tapi hal itu membuat setengah nyawa dari penduduk lima kerajaan melayang."

"Apa yang terjadi?"

"Dataran Firmest mengalami musim panas berkepanjangan, itu menyebabkan banyak penduduk dan ternak kekurangan pangan. Sejak saat itu, Firmest memutuskan untuk kembali melanjutkan ritual pengorbanan, begitu juga mengirim gadis suci ke dataran Hidee. Meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang pulang, tapi kutukannya menghilang. Hujan turun, sawah-sawah dan perkebunan menghijau, ternak-ternak dan sumber daya alam lain melimpah, Firmest kembali pulih. "

"Tapi, pergi ke dataran itu sama saja dengan bunuh diri." Membayangkan apa saja hal yang akan dirinya lalui membuat seluruh hasrat hidup seolah diangkat dari raga Zhura. Ia tidak ingin melalui itu semua, tapi ia juga tidak bisa lari.

Inara mengangguk, juga menggeleng. "Takdir mengharuskan dikorbannya sesuatu yang berharga untuk terciptanya kedamaian. Pada hakikatnya ritual pengorbanan dan pencarian darah suci pemilik Naga Biru itu, adalah upaya yang dilandasi dengan harapan baik."

"Kau terlihat sangat santai saat menjelaskan ini semua, lalu kenapa kau kabur waktu itu, Inara?"

Gadis elf itu tersenyum kecil seraya menggaruk belakang telinga lancipnya. "Valea memaksaku ikut dan sampai sekarang jujur saja aku sungguh-sungguh ingin kabur. Kau tahu, aku merasa ketakutan sepanjang waktu. Meskipun sudah mempersiapkan diri pada kemungkinan terburuk, tapi tidak ada orang yang ingin mati dengan cara seperti itu. Meskipun tahu kesempatannya kecil, aku tetap saja mengikuti Valea."

"Bagaimana pun aku bukan orang egois yang ingin selamat seorang diri. Aku sudah menyiapkan rencananya hampir sebulan penuh, meskipun sebenarnya aku juga tidak terkejut saat kita tertangkap lagi," Valea menimpali, memalingkan wajah

Kesempatan, rasanya memikirkan kesempatan bagi Zhura untuk kabur adalah hal yang mustahil mengingat rencana kabur Valea saja yang dibuat matang-matang terbongkar. Kepasrahan mulai melingkupi dirinya. Sebentar lagi ia akan menjadi gadis yang akan dikorbankan dalam ritual aneh. Lalu seandainya ia selamat, ia masih harus melewati perjalanan dengan pergi ke dataran yang dikuasai oleh pemilik Naga biru. Tempat di mana mereka harus membunuhnya agar dataran Firmest terbebas dari kutukan.

"Apakah dengan hanya membunuh pemilik naga biru, kutukan dataran ini tidak akan hilang? Haruskah kita juga mengambil darah sucinya?" lanjut Zhura diterpa penasaran.

Kedua gadis di depan terdiam, kemungkinan sibuk dengan pemikiran masing-masing. Beberapa saat keadaan berlalu dalam keheningan. Zhura menoleh ke arah Inara yang tiba-tiba beranjak menyingkap tirai pada tenda. Udara dingin lekas menyeruak masuk begitu tirai putih itu terbuka menampilkan pemandangan di luar. Kini terhampar di depan mereka padang rumput yang sangat luas. "Kita memang harus mendapatkan darah suci itu. Karena dibanding dengan membunuh pemiliknya, darah sucinya itu yang paling diutamakan. Keberadaan darah suci itu tidak hanya berguna bagi Firmest, tetapi juga untuk hal yang tak kalah pentingnya, Zhura."

Zhura turut bangkit dan berdiri di samping Inara, gadis elf tersebut tengah melarikan pandangannya ke arah hamparan tanah hijau luas yang membentang di luar tenda. Ia melihat lapangan itu yang gelap dan tak berujung, seolah-olah mereka tengah berkemah di tengah-tengah savana.

"Sebelum bulan purnama merah datang, seseorang harus meminum darah suci itu untuk mengusir roh jahat yang berada di tubuhnya," Suara Inara terdengar lemah dan kering, seperti daun tua di ranting pada musim panas.

"Siapa orang yang harus meminum darah suci itu?" Menggigit bibir, Zhura menggulirkan pandangan ke atas di mana bulan bersinar dengan terang. Entah apakah ini hanya perasaannya, tapi bulan di sini terlihat sedikit lebih besar dari yang biasa ia lihat di desa.

"Orang-orang memanggilnya pangeran dengan hati yang mati."

***

Seperti awan yang membawa terlalu banyak muatan, sensasi berat yang tak tertahan mulai menggerogoti separuh tubuh Zhura. Seolah ada tambur, jantung kian berdebar tak karuan menguras energi hingga lemas. Di pagi hari, para gadis dibangunkan secara paksa sebelum diperintahkan untuk bersiap-siap. Kini mereka berdiri di tengah hamparan berwarna hijau yang terbentang hingga ke cakrawala, Zhura memperkirakan luasnya jauh melebihi batas penglihatan. Tidak ada lagi kesempatan melarikan diri, ritual pengorbanan sudah ada di depan mata. Entah apa yang akan terjadi, ia hanya berusaha waspada sembari terus memanjatkan doa-doa perlindungan.

Ia melirik pakaian yang membalutnya, terlihat sama persis dengan yang para gadis-gadis lain kenakan. Kecuali tulisan di punggung, tentu saja tidak ada perbedaan apapun pada pakaian mereka karena ini seragam. Di sela-sela kewaspadaan mengamati sekitar, Zhura teralihkan oleh rasa penasaran pada arti dari tulisan di punggung gadis yang berdiri di depannya. Warna tulisan di punggungnya hijau, warna yang juga menempati punggung sebagian besar gadis-gadis yang berdiri di padang rumput. Sementara sisa gadis lainnya termasuk Zhura memiliki warna tulisan kuning pada punggung mereka.

"Kenapa warna tulisan di punggung para gadis berbeda?" Gadis itu membuka suara pada Inara yang berdiri kuyu di sisi kiri.

"Zhura, tulisan pada punggung ini adalah bentuk identitas dan status sosial pemakainya di masyarakat," sahut gadis elf itu menunjuk tulisan pada punggung gadis di depan mereka. "Tulisan yang bewarna hijau dibaca pagoni yang berarti seekor merak. Merak melambangkan sebuah keagungan atau tingginya status keluarga mereka. Biasanya warna hijau diberikan kepada keluarga kaya, bangsawan, atau mereka yang memiliki hubungan kerabat dengan kerajaan. Sementara warna kuning seperti tulisan di punggung kita dibaca elafia yang berarti rusa. Itu menggambarkan bahwa sosok pemakainya berada di status yang lebih rendah daripada kelompok merak. Biasanya gadis yang memakainya berasal dari kalangan warga sipil atau budak yang dikirim tuannya untuk menggantikan puteri mereka."

Zhura terdiam saat sebuah rasa tidak terima tiba-tiba saja hinggap di hati. Dirinya merasa aneh mendapati sebuah pengetahuan baru yang sebenarnya terdengar sangat konyol. Bahkan dalam keadaan seperti terancam seperti ini pun masih ada yang memperdulikan tentang status sosialnya di masyarakat. Bukankah hal ini justru menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi gadis-gadis dengan status yang lebih rendah. "Kenapa harus dibedakan? Menurutku itu malah menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi sebelah pihak. Kau tahu, seperti merendahkan."

Inara berkedip, menatap tulisan punggung milik gadis di depan kami. Sebuah gerakan anggukan keluar samar. "Ini justru dilakukan, agar timbul semangat bersaing pada diri kita. Semangat itulah yang diperlukan saat menjadi bagian dari gadis suci nanti."

"Maksudmu semangat untuk mati? Simpan saja sendiri, aku tidak butuh." Di sisi kanan Zhura, Valea menimpali seraya merotasikan mata. Tepat setelah itu, suara bisik-bisikan gadis mulai terdengar riuh. Zhura menyadari suasana tiba-tiba menjadi sesak, para gadis berjejal-jejalan ingin melihat sosok-sosok dengan jubah besar yang tampak mulai mengisi sebuah tempat di depan. Zhura berjinjit, melihat mereka yang kini mulai duduk di panggung yang sengaja dibuat lebih tinggi dari tanah itu. Mungkin jika di dunia Zhura itu disebut podium atau panggung yang sangat besar.

"Para petinggi kerajaan," ucap Valea. Gadis merah itu tengah menatap sekumpulan orang di atas panggung dengan beringas. Tentu saja, dipisahkan secara paksa dari keluarganya yang berada di tempat jauh pasti membuatnya marah pada kerajaan. Tanpa dilihat dua kali pun, aura kemarahannya terpampang begitu jelas. Zhura kembali menatap ke depan. Seorang pria tua berjubah cokelat gading dengan benang emas di bahu kini duduk di tengah-tengah menggunakan kursi kebesaran. Telinganya lancip, mirip seperti milik Inara. Ada tiga kursi lain yang sengaja diatur di dekat pria tua itu. Dua diantara tiga kursi tersebut sudah terisi oleh dua orang pemuda, kemungkinan orang penting kerajaan.

"Kenapa mereka duduk di sana, Inara?" tanyanya dilanda penasaran.

Kaku, Inara menampilkan raut wajah yang tak dapat Zhura baca. "Mereka akan menjadi saksi dalam ritual."

"Lalu, siapa orang itu?" Zhura menunjuk pria tua berjubah cokelat gading yang duduk di kursi kebesaran.

"Dia Yang Mulia Raja Amarhaz, pria berjubah cokelat itu adalah pemimpin Kerajaan Silvermist. Dia seorang elf sepertiku," jawab Inara.

Dianggukkan kepalanya menyudahi percakapan. Namun, Inara justru kembali menunjuk sosok lain di depan sana. Gadis elf itu ternyata masih ingin melanjutkan penjelasannya. "Dua pemuda yang duduk di samping Raja Amarhaz, mereka adalah para pangeran."

"Sepertinya ada yang aneh." Satu tanda tanya besar melubangi isi kepala Zhura ketika menyadari bentuk telinga kedua pangeran itu berbeda dengan telinga Raja Amarhaz yang merupakan ayah mereka. Telinga para pangeran mirip dengan telinganya yang berarti mereka adalah manusia.

"Kau pasti melihat telinga mereka, jika kau teliti bentuknya tampak berbeda dengan milik ayah mereka. Pemuda yang duduk di samping Raja Amarhaz, adalah putera kedua yang bernama Aryana. Sementara pemuda yang duduk di samping Aryana adalah putera ketiga yang bernama Asyaralia. Ibunda mereka adalah seorang manusia, namanya permaisuri Nashara. Karena itu, ketiga pangeran terlahir sebagai manusia. Meskipun begitu mereka tetap memiliki berkat kekuatan elf pada tubuh mereka."

"Jadi, Aryana dan Asyaralia." Lagi-lagi kerutan muncul di antara alis gadis zamrud mengetahui para anggota kerajaan selalu menggunakan huruf awal yang sama dalam penamaan. Kemudian satu hal lain yang masih mengganjal keluar sebagai pertanyaan, "Kau bilang ada tiga pangeran, di mana putera pertamanya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status