"Seharusnya Putera Mahkota ada di sana juga, tapi aku tidak yakin dia akan datang. Kupikir, dia adalah orang yang tertutup dan jarang keluar. Sebenarnya ada beberapa alasan juga yang menyebabkan ia sebaiknya tidak banyak pergi bertemu orang lain. Kau tahu? Putera Mahkota itu adalah sosok yang aku ceritakan tadi malam. Yang aku dengar, perangainya pun sangat dingin dan tak berperasaan.""Sosok yang kau ceritakan semalam?" Sejujurnya Zhura tidak ingat."Mereka mulai membaca mantra!" Seorang gadis berambut cokelat yang berdiri di baris paling depan tiba-tiba berseru. Zhura lantas mengedarkan pandangan, mengolah situasi. Para gadis dari kalangan biasa terlihat panik, sementara gadis-gadis bangsawan mulai mempersiapkan senjata. Yang Zhura lakukan hanya melongo karena yang ia punya hanya peniti di baju yang kebesaran. Sekarang ia bahkan tidak memegang apapun selain doa-doa yang terus dipanjatkan. Zhura berusaha tenang tapi rasa panik terus menggelayut ketika pria dengan jubah biru gelap mul
Jadi seperti ini ritual pengorbanan yang mereka lakukan pada gadis-gadis. Entah itu berlari atau pun merangkak di tanah, gadis-gadis yang dipenjara ketakutan itu menangis berlumuran darah. Bahkan saat garis lembut wajah mereka penuh keringat, mereka tetap berjuang keras untuk tetap hidup. Zhura memang bukan bagian dari apapun di sini, tapi melihat berbagai penyiksaan di depannya membuat dirinya merasakan sakit hati."Sudahlah, Zhura!" Inara yang menyadari kehadiran hewan-hewan buas di sekitar mereka lantas menarik Zhura berlari ke arah rumput-rumput tinggi. Banyak tubuh-tubuh gadis yang gugur terkapar di seluruh tempat ini. Mati-matian Zhura mengabaikan itu dan menjaga pandangan yang mengabur agar hanya tertuju pada jalan. "Akh!" Sesuatu yang keras membuatnya tersandung, dan untuk pertama kalinya sejak berlari ia terjatuh.Duduk, Zhura mengusap lutut kanannya yang terasa panas akibat tergores bebatuan kecil. Bersamaan dengan itu, datang guncangan pada tanah yang samar-samar memperdeng
"Zhura!" seru Inara yang tergeletak di tanah. Gadis elf itu menangis, merasakan aura keberadaan Zhura yang melemah.Di tempatnya, kepala Zhura berdentang seperti gong yang dipukul berulang-ulang, pening dahsyat. Gendang telinga pun berdesing, berdengung dan tuli secara bersamaan. Yang ia rasakan selanjutnya adalah sakit yang tak karuan. Zhura menarik napas dalam saat dadanya mulai terasa sesak. Ia merasa seperti baru saja ditabrak kereta, hancur berantakan. Zhura bahkan tidak bisa memperkirakan lagi bagaimana posisi kaki dan tangannya, rasanya itu menghilang."Ah..." Sebuah cairan terasa menuruni pelipis kiri dan masuk ke helaian rambut. Bahkan sebelum Zhura memikirkannya, ia sudah tahu apa cairan panas itu. Dalam keremangan, daun telinganya yang berkedut mendengar suara Inara. Gadis elf itu terus meneriakkan namanya dengan suara parau dan kering. Sekujur tubuh Inara terluka, penuh luka robekan. Entah sudah berapa gigitan dart yang elf itu terima pada tubuhnya. Yang jelas Inara juga k
Bayangan gadis-gadis yang berlarian dengan tubuh terkoyak mulai datang. Kilasan mengenai Inara dan Valea yang sedang berjuang melawan dart, menumbuhkan keprihatinan Zhura. Seharusnya ia tidak perlu mengenal mereka sejak awal. Jika Zhura tidak mengenal siapapun, keputusannya untuk pergi pasti mudah untuk dibuat. Hidupnya bukan drama di mana ia bisa menjadi protagonis utama yang harus menyelamatkan orang. Zhura hanya gadis sembilan belas tahun yang ingin bersikap egois dengan kembali ke rumah dan bertemu ibunya."Zhura, jangan khawatir, kita akan melalui ini bersama-sama." Ucapan Inara terngiang.Ia sungguh ingin pulang ke rumah, tapi ia tidak mau teman-temannya mati, bahkan meskipun mereka baru bertemu. Zhura membayang mengenai dirinya pulang ke rumah, beraktivitas seperti biasa seolah-olah ini semua tidak pernah terjadi dan melupakan Inara dan Valea. Namun, suara Inara terngiang di tempat yang sama ia letakkan keraguan. Berdengung, merasuki kepalanya bersama berbagai perasaan gundah.
"Zhura."Suara kecil terdengar mengalihkan perhatian Zhura dari mayat gadis di dekatnya. Ia lekas melarikan pandangan ke arah jam sepuluh. Di sana, seonggok tubuh gadis elf yang dikenal tergeletak mengenaskan. Tubuh gadis elf itu terbaring dengan pakaian yang robek hingga memperlihatkan bagian tubuhnya. Di sekitarnya, Valea juga tampak memprihatinkan. Gadis berambut merah itu terpejam dengan cairan merah yang keluar dari mulutnya. Mereka berdua sekarat. Hawa kehidupan padam tergantikan oleh aura keprasahan pada datangnya kematian.Zhura mengamati Valea lagi. Menurutnya gadis itu bukan jenis orang yang akan menyerah sebelum tubuhnya sampai pada batas kemampuan. Melihat kondisinya sekarang, ia pasti sudah berjuang mati-matian melawan dart yang kini berdiri di belakangnya. Makhluk itu masih berdiam di sana. Menunggu kematian Valea dengan sabar, sebelum kemudian memakan daging lawan tangguhnya dengan lahap.Gadis zamrud itu mengerjap ketika bayangan gelap menyelimuti tempat ritual dari at
Zhura diburu waktu, dirinya tak bisa menahan panik ketika ia tidak melihat senjata yang bisa ia gunakan. Seekor makhluk buas di depannya pun tak ingin berbaik hati memberikannya kesempatan untuk berpikir. Dart dengan tubuh penuh luka itu tampaknya belum ingin mengakhiri kekejamannya dengan mengacungkan moncong tepat di depan wajah Zhura. Dengan sisa kekuatan pada kakinya, Zhura sontak melompat menghindarinya, alhasil bunyi gemelutuk terdengar begitu keras seakan persendiannya rusak. Rasa sakit yang teramat menyeruak menyesakkan, Zhura lekas mengulurkan tangan untuk mencengkram kuat-kuat dada kirinya yang berdenyut Pandangan Zhura beralih ke tempat para petinggi kerajaan itu duduk menyaksikan akhir ritual. Beberapa dari mereka terdiam dengan wajah datar sementara sisanya sibuk berbincang sembari menunjuk-nunjuk ke arahnya. Jaraknya dengan mereka mungkin sekitar lima puluh meter, tetapi entah bagaimana Zhura bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Jika dipikirkan lagi, ia
"Jadi, delapan puluh tiga gadis lainnya?" Akal pikiran Zhura yang belum terhubung sontak bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa menjadi bagian dari tujuh belas gadis yang bertahan hidup. Haruskah ia bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup, sementara nyawanya juga berada di ujung tanduk saat menjadi bagian dari kelompok gadis suci. "Saya turut berduka atas kepergian korban dan mewakilkan rekan tabib lain menyampaikan bela sungkawa pada keluarga mereka. Meskipun saya bukan bagian dari kalian, sebagai seorang wanita rasa sakit atas penderitaan kalian semua juga menyakiti hati saya. Namun, siapa yang bisa mengelak dari itu." Sang tabib menunduk, terdapat raut keruh menandakan perasaan turut berdukanya atas peristiwa tiga hari lalu.Zhura mengangguk. Kemudian sebuah gagasan datang saat ia menatap lebih lama wanita paruh baya di depannya. "Bagaimana Anda bisa menjadi tabib seperti sekarang? Tidakkah setiap wanita harus dikorbankan?""Tidak semua, hanya para gadis yang terpilih
"Kenapa dengannya?" tanya gadis berambut merah, membuat pikiran Zhura kembali tersadar."Aku tidak tahu, tapi kupikir dia bilang jika kalungku indah," jawab Zhura menggeleng seraya mengambil duduk di hadapan Valea yang masih lesu di tempat tidurnya. Dengan rambut merah yang tergerai bebas dan juga beberapa lebam di wajah, lekas membuat penampilan gadis itu terlihat berantakan dan penuh dengan kesan liar. Zhura masih mengamati penampilan urakan Valea, saat gadis itu mulai menyilangkan kedua tangannya di dada."Lalu, mengapa kau masih ada di sini?" tanyanya menaikkan alis.Zhura mengangkat wajahnya seraya mendecakkan lidah. "Kenapa kau masih bertanya?! Tentu saja aku datang untuk mencekikmu!" teriaknya membuat gerakan seolah-olah tengah mencekik Valea. Ia sungguh kesal. Sudah mati-matian Zhura melawan makhluk mengerikan di ritual atas namanya. Namun, kini Valea justru bersikap seperti seorang perundung padanya. Mengingat kondisi sekaratnya saat itu, Zhura tidak menyangka gadis merah di