Hanya orang melankolis yang mengatakan kalau perasaan mendebarkan hanya datang di saat seseorang sedang jatuh cinta. Tidak, debaran juga bisa terjadi ketika ketakutan. Kebanyakan penyebabnya karena tubuh sedang melakukan pengantisipasian terhadap luka fisik maupun batin terhadap berbagai sebab. Begitulah yang kira-kira gadis itu rasakan. Yang menyebalkan, perasaan itu bahkan sudah menetap jauh sebelum Zhura memasuki ruangan pertemuan, tempat di mana ia kini berdiri menundukkan kepala. Orang-orang pasti mengira ia pemalu, tapi sebenarnya ia hanya sibuk membatin doa-doa agar usaha penyamarannya dilancarkan."Jangan perlihatkan rasa gugupmu, Zhura. Mereka nanti akan curiga."Zhura terkesiap, ia menoleh ke samping kanannya lalu mengangguk dua kali. Inara tampak berdiri dengan tenangnya menatap lurus ke depan. Zhura pun turut menggulirkan matanya ke arah pandangan elf itu. Di bagian depan ada tempat yang disediakan khusus untuk anggota kerajaan. Sebuah kursi singgasana emas berada di tenga
Zhura memalingkan wajah, bibirnya mengerucut penuh emosi. Meskipun Azhara seorang pangeran, tapi pria macam apa yang memperhatikan tubuh seorang gadis di pertemuan pertama mereka. Dia gila, orang mesum, atau cabul. Zhura sibuk merutukinya dalam hati saat ia melihat pemuda itu justru menaikkan pandangan ke arah zamrudnya. Tanpa ba-bi-bu segera ia buang muka kepada pria yang entah menjelaskan apa di depan.Zhura menghirup napas dalam-dalam, mencoba meredakan laju jantung yang melesat seakan-akan tidak peduli dengan nyawa Zhura yang bisa ketinggalan. Dia bisa mati. Hanya gara-gara tatapan pemuda brengsek itu, tubuhnya tiba-tiba saja langsung panas dingin."Kau baik-baik saja?" tanya Inara melihat gelagat aneh Zhura. Zhura yang masih terjebak perasaan gila itu hanya bisa mengangguk."Para gadis suci dipersilakan memperkenalkan diri," tukas pria berjubah biru tua menyelesaikan penjelasan panjang kali lebarnya. Seorang gadis yang duduk paling ujung depan kini bangkit dan maju. Dia berdiri d
"Semua gadis sudah mengirimkan data identitas mereka pada kerajaan. Namun, aku tidak melihat ada surat identitas dengan namamu. Hanya kau yang belum memberikannya. Di mana surat itu?"Zhura diam membatu terjebak bayangan dirinya yang diseret keluar oleh para prajurit berwajah seram, lalu mereka akan mengaraknya keliling kerajaan untuk dieksekusi di depan warga. Tidak ada jawaban atau ide apapun yang datang membuatnya hanya bisa membisu bahkan saat ia sadar bahwa itu justru akan menarik kecurigaan orang lain."Mohon ampuni dia, Yang Mulia." Suara seseorang terdengar, Zhura sontak menoleh ke samping. Dirinya hampir meloncat begitu menyadari pemilik suara itu adalah Valea yang kini duduk bersimpuh di sisinya. Belum juga Zhura berhasil keluar dari mode terkejut, gadis merah itu tiba-tiba menyorotnya dengan pandangan aneh yang langsung membuat ubun-ubun Zhura keheranan.Dengan wajah polos yang terlihat seperti malaikat tak berdosa, Valea menyerahkan selebaran berwarna cokelat pada Raja Ama
"Valea adalah keturunan suku penyihir Dulcis. Ciri khas mereka adalah berambut merah. Sebenarnya kami lebih sering menyebut mereka sebagai kaum ras penyihir yang paling kuno di Firmest, mereka hidup menyebar di Firmest."Valea hanya mengangkat bahu atas penjelasan, sementara Zhura mulai menyapukan matanya menelusuri penampilan gadis merah itu. "Hei, bisakah kau gunakan sihir itu untuk membawaku kembali?" Sudah mati-matian Zhura menampilkan raut wajah memelas, tapi Valea justru mengibaskan tangannya seraya menampilkan ekspresi tidak peduli."Aku tidak bisa. Lagipula aku tidak tahu di mana dunia asalmu itu."Zhura mengeluarkan napas berat. Rasanya seperti ia baru saja dihempaskan dari langit ketujuh. Inara yang masih sibuk mengunyah kini tampak berpikir. Namun, ia tidak mengatakan apapun. Zhura turut melahap nasinya yang entah kenapa justru diletakkan di dalam mangkuk. Beberapa saat keheningan masuk di antara mereka, hingga elf cantik di depan tiba-tiba meletakkan sumpitnya."Sebenarnya
"Tangkap gadis bincacak itu! Hei, berhenti kau!" Gadis-gadis pengikut Arlia itu begitu keras kepala, sudah hampir setengah jam berlari dan tampaknya mereka belum ingin menyerah di mata Zhura.Sembari menahan umpatan, gadis zamrud itu mencoba berbelok ke kanan. Ia melewati lorong-lorong tinggi yang membawanya keluar ke halaman luar. Dengan gesit ia gulirkan mata ke segala arah, dicobanya menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk perlawanan. Entah kemana lari membawa dirinya, tapi yang Zhura ketahui tempatnya saat ini masih bagian dari istana. Namun, bentuk bangunannya sedikit berbeda dari bentuk bangunan yang ada di wilayah utama para petinggi kerajaan. Melihat banyak orang berlalu-lalang dengan seragam pelayan, gadis itu menyimpulkan tempat ini adalah wilayah pelayan istana.Pada saat itu juga, aroma menyengat masuk ke dalam hidung, ia sadari aroma itu berasal dari sesuatu yang berjejer di sisi halaman. Dia lihat masing-masing dari mereka dijemur dengan jarak satu meter. Zhura menga
"Minumlah.""Anda tidak perlu melakukan ini." Zhura tengah menggeleng, menunjukan tanda tidak ingin merepotkan seseorang yang baru saja menyilakan mereka minum. Namun, Valea yang kehausan sudah maju menyerobot cangkir teh itu, tanpa ragu menenggak isinya dengan cepat."Anda tahu saja jika kami kehausan. Terima kasih banyak," ujar gadis merah itu meletakkan cangkirnya yang kosong. Zhura hanya bisa menatapnya jengah."Tidak masalah, aku tahu kalian pasti kelelahan mengikutiku sampai ke sini." Mendengar ucapan wanita tua di depan membuat Zhura merasa tidak enak. Sekarang mereka sedang berada di sebuah bangunan yang disebut rumah."Nyonya, apakah ini rumahmu?" Zhura menyapukan pandangan ke sekitar. Dilihat dari gaya dan bentuk bangunannya, rumah ini jelas berbeda dengan rumah yang ada di ujung desanya. Rumah kayu misterius tempat ia terjatuh ke dunia aneh ini, Silvermist."Ini memang rumahku," sahut wanita tua itu.Zhura menganggukkan kepala. Tatapannya kemudian hinggap pada sisi wajah wa
Suara-suara bisikan menguar semakin kuat ke dalam telinganya. Bukan hanya para gadis suci, bahkan barisan tetua yang duduk di sisi aula pun bersaut-sautan mengeluarkan kalimat keterkejutannya. Sepertinya saat ini batin setiap orang menggila ketika melihat Zhura bersimpuh di depan Azhara. Tidak ada yang harus diperdebatkan dari ucapan gadis itu, satu-satunya kesalahannya adalah lawan bicaranya. Memecah keheningan, seorang tetua berdiri dan menunjuk-nunjuk dengan raut marah. "Lancang! Seorang gadis rusa berani-beraninya meminta hal itu pada Putera Mahkota! Tidak tahukah kau akibatnya?!""Bagaimana bisa dia melakukannya? Sudah tertulis di dalam gulungan, orang yang bertugas melatih para gadis suci hanyalah kelima jenderal!" "Gadis suci itu benar-benar tidak tahu batasan!""Dia pasti gila!""Bukan hanya gila, dia tidak bermoral. Dia harus dihukum karena merendahkan Putera Mahkota!" seru mereka kemudian menyetujui usulan tersebut."Ini bencana!" sahut orang-orang.Bahkan melihat keributan
"Orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk, cepat pergi sana!"Teriknya mentari sudah cukup membuat sekujur tubuh Zhura merah tersengat hawa panas, dan sekarang ia masih dihadapkan pada cobaan lain di mana seorang pemuda berwajah kaku menahannya masuk ke paviliun Azhara. Gadis itu menghela napas, memperhatikan sosok yang kini erat memegang lengannya. Dirinya ingat pemuda itu adalah pengawal yang setia mengekor kemana pun langkah Azhara pergi. "Kawan, aku harus menyerahkan gulunganku padanya. Tolong biarkan aku masuk," ujar Zhura melepaskan diri. Belum sempat ia melangkah ke bangunan besar di depan, tangannya sudah kembali dicekal oleh pemuda elf bernama Ramia itu."Nona, apa kau lupa tuanku sudah menolakmu tadi? Tolong pergilah dari tempat ini. Jika kau berbuat kacau, aku terpaksa melakukan tindakan yang serius," ancam Ramia.Zhura mengunci tatapannya pada bangunan besar yang berada di ujung istana itu. Begitu terpencil dan jauh dari keramaian, seakan-akan pemiliknya membuang di