"Untuk detail lebih lanjut, akan disampaikan langsung oleh pimpinan baru kalian. Sebenarnya beliau sudah resmi menggantikanku sejak beberapa bulan lalu, tapi baru kali ini kita berkesempatan untuk bertemu dengannya." Pria berkepala botak menyilakan seseorang untuk naik ke podium.Ramia masih belum menemukan Tusk, jadi dirinya belum bisa kembali. Hari ini dia dan semua anggota Shar dikumpulkan, mereka diminta berbaris di markas utama tempatnya menyusup beberapa hari terakhir. Ran yang merupakan temannya berkata kalau mereka mempunyai pengumuman penting yang akan segera diberitahukan. Awalnya Ramia mengira akan ada satu dua misi baru yang harus dijalankan, tapi tak ia sangka pengumuman itu ternyata juga membawanya pada fakta yang mengejutkan.Dari segala hal yang sudah Ramia temui di perjalanan ini, belum ada yang telak membuatnya terlonjak seperti saat melihat pemandangan di atas podium. Pria tua yang sangat ia kenal sedang mengumbar senyum ramah khasnya yang dipenuhi wibawa. Di sebela
Sementara itu, Inara terlihat baru saja tersadar. Ia terkesiap mendapati sekujur tubuhnya di ikat. Ada asap yang memenuhi penjuru ruangan tempatnya dikurung Kekuatan radar miliknya tidak akan berfungsi, ia tidak bisa merasakan sekitar jika ada sesuatu yang menggangu di udara. Jelas seseorang yang menangkapnya tahu betul kelemahannya. Suara langkah kaki terdengar, seseorang memasuki ruangan. "Siapa kalian?" Inara mendongak, menatap orang-orang berpakaian tertutup yang kini berdiri di hadapannya."Ternyata kau memang bertahan hidup, aku yakin sudah menjerat lehermu dengan kuat tadi," ujarnya salah satu dari mereka.Gadis elf itu terbatuk-batuk karena asap. Penutup wajahnya sudah dibuka, kini identitasnya benar-benar terpampang. Untuk meringankan, ia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang kering. Asalkan kekuatan dirinya stabil, dia bisa menyembuhkan luka secepat apapun di tubuhnya. Jadi, bagaimana pun orang melukainya, ia akan tetap hidup."Tidak kusangka para pria tangguh hanya b
"Kau sungguhan?"Bahkan saat ia sudah mendengarnya dengan jelas, Zhura tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. Azhara menggigit bibir, diam-diam menahan rasa sakit yang sejak tadi terus menggerogotinya. Sebuah anggukan ia hantarkan pada gadis itu ketika suhu udara yang menggigit tiba-tiba berubah panas. Perubahan yang drastis itu segera disadari oleh mereka berdua. Zhura dan Azhara pun bangkit, menatap ke arah hawa membakar itu terasa."Mereka datang?!" tanya Zhura gusar.Segerombol pasukan mendekat ke pemukiman suku Wiyyam. Api yang dinyalakan di obor sebagai penerangan mereka membuat hutan terang benderang. Hewan-hewan di pohon yang terusik berlarian menjauh, kesunyian yang tentram seketika hilang. Azhara menajamkan pendengarannya. Pasukan itu berjumlah ratusan, terlalu besar untuk pasukan yang ditugaskan menangkap dua orang yang kabur."Aku akan mengatasi ini, kau pergilah dan evakuasi warga. Sembunyikan diri kalian di sisi selatan bukit," tutur Azhara lalu berniat pergi, ta
"Kau cukup tangguh tapi di sinilah saatnya untuk kau berhenti. Kami akan membawamu pada Sacia dan kebebasan dunia pun akan datang!""Apa maksudmu?" Zhura meringis saat punggungnya terasa nyeri. Orang-orang Shar itu sungguh tidak memberinya celah untuk kabur."Kau tidak perlu tahu. Jika saja kau menyerah sejak awal, orang-orang tak berdosa ini tidak akan mati. Tapi kau memilih terus lari, dan inilah yang kau lihat. Ini semua salahmu!" Sosok itu menjambak rambut Zhura untuk memperlihatkan padanya pemandangan padang rumput yang kini berkubang darah. Ia melihat Kakek Maral tergeletak di kejauhan dengan anak panah yang menancap di perutnya, dia mati."Biadap." Air mata keputusasaan menuruni sisi wajahnya dan meresap ke rumput. Azhara tengah memberikan perlawanan sengit pada orang-orang bertudung yang menyerangnya. Puluhan anak panah sudah tertanam di tubuhnya yang tak mempunyai waktu untuk menghindar. Mengesampingkan keadaannya yang telah sampai pada ambang batas pertahanan, pemuda itu te
Inara mengerjap, langit-langit kamar tempatnya bernaung entah bagaimana sangat asing. Menyanggupi rasa hausnya akan jawaban, ia pun menggulirkan pandangan lebih lanjut dan terkesiap saat menemukan Aryana tengah sibuk mengupas apel. Sepertinya ada banyak hal yang ia pikirkan hingga pemuda itu tidak menyadari kalau gadis di hadapannya sudah sadar.Inara memperbaiki posisinya menjadi duduk, lalu berdehem.Aryana yang mendengar itu pun mendongak. Ia tanpa sadar mengulas senyuman lega, "Kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?""Saya sedikit pusing." Inara yang masih lemas teringat kejadian demi kejadian kemarin. Memori itu lekas saja membuatnya teringat akan mantra peledak yang dipasang orang-orang Shar. Ia meraba punggungnya dengan sebelah lengan. Ada sedikit rasa sakit yang terasa, tapi tidak sekuat sebelumnya. Rasanya lebih ringan seakan tidak ada lagi segel apapun di sana."Jika kau penasaran soal peledak itu, aku sudah mengeluarkannya. Kau bisa tenang." Aryana menyodorkan apel yang tel
Kekacauan yang sebelumnya pecah sudah sepenuhnya padam. Entah istri yang kehilangan suaminya atau anak yang kehilangan ayahnya, mereka yang selamat dari pertempuran semalam meratap kepergian keluarga mereka yang gugur. Keadaan padang rumput terasa pilu, penyerangan pasukan Shar sungguh meninggalkan trauma yang berat di setiap orang. Begitu juga dengan Zhura. Seiring hatinya yang menggelap, gadis itu semakin menundukkan kepalanya.Bahkan meski ia telah bersembunyi jauh di hutan, dirinya tetap tak sanggup menahan hawa kepedihan yang menyebar ke sekitar. Saat ini ia berada di tenda darurat yang ia buat seadanya untuk bernaung. Di sisinya Azhara masih belum sadarkan diri. Terkadang Zhura akan mengusap kulit dingin pemuda itu dengan air hangat. Ia bahkan sudah menggunakan seluruh cadangan pakaiannya untuk menyelimuti Azhara, tapi suhu rendah tetap saja bersarang di tubuhnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat.Zhura memutuskan untuk memeriksanya, betapa terkejutnya ia saat menemukan Yar
"Syukurlah, Anda terlihat lebih baik."Azhara menganggukkan kepalanya merespon ucapan Nenek Manira. Meskipun berwajah kaku, Azhara tidak lagi menundukkan kepalanya yang kini tidak dibungkus selendang. Ia seperti sudah pasrah pada siapapun yang melihat penampilannya. Senyum ramah sekaligus canggung terpatri di wajah nenek tua yang berdiri di hadapannya. Semua orang datang mengantarkan mereka, beberapa di antaranya sangat hangat sementara sisanya masih ragu dan takut karena mengingat kejadian kemarin."Kami tidak akan pernah melupakan kalian." Zhura berujar seraya tersenyum haru. "Tinggal bersama kalian terasa sangat menyenangkan. Hari demi hari terlewat mengajarkan saya pengalaman berharga tentang arti pentingnya keluarga. Saya sangat menyayangi kalian semua.""Karena kau adalah gadis suci, kau akan pergi ke dataran terkutuk itu seperti Ra. Bagaimana jika kau tidak kembali sepertinya? Aku tidak mau kehilanganmu, Kak!" Yara memeluk Zhura dengan erat seakan tak ingin melepas kepergiannya
"Benarkah ini tempat yang dimaksud Nenek Manira?"Zhura memeriksa alamat yang tertera di kertas, ia yakin ini adalah tempat yang cocok dengan alamatnya. Azhara yang masih belum mau membuka suara, kini memilih berdiam diri di belakangnya. Tak menunggu lama, Zhura langsung saja membuka pintu masuk. Yah, sepertinya Sanguina mulai beralih profesi sebagai pedagang karena seperti yang terlihat, tempat mereka berdiri sekarang adalah toko. Wajar saja, catatan yang ditulis di buku catatan Kakek Maral terjadi hampir sepuluh tahun lalu. Sebelum melangkah lebih jauh, ia sempatkan untuk melihat ke pasar di depan toko. Sama seperti pasar yang biasa Zhura temui, banyak penjual menggelar dagangannya di meja atau karpet. Orang-orang berseliweran dari berbagai ras, kesibukan menyeruak di sana. Hanya saja, jika dibandingkan dengan pasar di alun-alun dekat istana, pasar di hadapan Zhura sekarang terlihat lebih unik. Gadis itu mengernyitkan kening, tidak ada satu pun manusia murni yang melintasi jalanan