Langit malam bergemuruh, tiada bulan atau pun bintang yang cukup luang untuk menemaninya. Petir itu terdengar dekat bersaut-sautan di atas awan gelap yang menggulung. Zhura melirik sosok di sisinya, lalu mengembuskan napas panjang. Azhara terus larut dalam keheningan. Mungkin semua hal memang sedang bergumul pada kesibukannya. Entah bagaimana Zhura baru sadar satu hal, dan itu membuatnya risih. Kejadian waktu itu mengubah bagaimana Azhara menatapnya, bahkan dia belum mengeluarkan satu kata pun sejak terbangun"Hei, apa kau marah?" tanya Zhura mulai membakar ikan yang ia tangkap di atasnya api unggun. Mereka sudah berkuda selama beberapa jam dari tempat Sanguina. Kini, masih tersisa setengah perjalanan lagi. Jika semuanya lancar, maka mereka akan sampai di istana besok siang.Karena tak ada jawaban, gadis itu pun berdecak. Dia merasa berbicara pada Azhara yang dulu. "Aku minta maaf karena melukaimu kemarin, tapi aku melakukannya agar kau tidak menyakiti dirimu sendiri. Kau tahu, aku sa
Ditatapnya kepergian gadis itu, ada kehancuran yang tersimpan dalam dirinya. Tak peduli seberapa keras Azhara berusaha membuat Zhura membencinya, pada akhirnya gadis itu tetap kembali ke istana. Punggungnya terasa panas karena obor pasukan Shar yang datang. Mereka tak memberinya kesempatan apapun selain langsung menggencarkan serangan. Azhara menangkap anak panah yang melesat, lalu melemparkannya kembali ke arah datangnya.Satu per satu anak panah lain melesat ke arahnya, tubuh Azhara terlihat kepayahan karena harus menahan roh jahat itu seraya terus bertarung. Matanya berubah menjadi biru lancip menyala, tanda bahwa ia menyerahkan seluruh dirinya pada kekuatan tersebut. Di kegelapan, cahaya putih kebiruan pun berpendar darinya. Saat itu juga, ia berubah menjadi monster yang orang-orang sebut sebagai roh jahat. Dan seperti biasa, ia dengan brutal menghancurkan apapun di sekelilingnya.Tak adanya jarak aman di antara mereka tentu saja membuat Azhara atau orang-orang Shar terluka. Orang
Pagi hari mendung, tabuhan gong istana bergema beberapa kali memekakkan telinga. Langkah kaki Zhura terhenti begitu ia melihat wajah-wajah bermuka muram. Mereka berseliweran di seluruh penjuru istana dengan pandangan ke bawah. Pada tubuh mereka melekat pakaian hitam seolah-olah menandakan adanya duka cita atas meninggalnya seseorang. Seseorang yang berjalan terburu-buru tanpa sengaja menyenggol punggungnya, karena itu dia hampir saja tersungkur. Beruntung tubuh Zhura bergerak lebih cepat daripada pikirannya sehingga sigap memperoleh keseimbangan.Keheranan yang tak terbendung memaksanya mencari penjelasan. Ia menghentikan seorang pelayan yang lewat di dekatnya. "Apa terjadi sesuatu?" tanyanya.Pelayan berpakaian hitam itu menatap Zhura dengan alis terangkat, matanya lebar terkejut. Dia seperti terperangah sebelum kemudian berlalu menjauh seperti orang ketakutan. Zhura mengerutkan kening. Ada masalah apa dengan pelayan itu? Belum juga ia berpikir lebih lanjut, suara langkah kaki berger
"Bangun! Hei, interogasimu akan dimulai!"Tubuh Zhura tiba-tiba ditarik bangun dan dikekang begitu saja oleh tali. Kesadarannya belum sepenuhnya kembali, gadis itu dengan bingung menatap orang-orang berpakaian prajurit yang tengah mengikat kedua tangannya ke belakang. Cahaya kejinggaan jatuh menyoroti matanya dari celah ventilasi udara, serangan pening tiba-tiba menyerangnya."Kepalaku sakit.""Tidak ada alasan. Cepat ikut kami!" serunya menyeret Zhura keluar dari jeruji besi itu. Beberapa prajurit lain sudah menunggu kedatangan mereka di depan pintu, lantas ikut menggiringnya ke tempat interogasi.Tajam dan mengintimidasi, banyak pasang mata memberikan sorot serupa. Wajarnya tidak ada orang yang menatap seorang pembunuh dengan kelembutan. Maklum, hanya itu yang bisa Zhura katakan untuk menguatkan dirinya sendiri. Menyadari tidak adanya kesempatan yang bisa ia gunakan untuk membela diri, gadis itu memilih menurunkan pandangan. Ia terlalu lelah, staminanya habis untuk bersinergi dengan
"Namaku Zhura. Aku datang dari dunia yang sangat jauh dari rumah yang kalian sebut Firmest."Gadis itu menahan napas, menjatuhkan pandangan pada karpet hijau di bawah. Ia bersiap menerima respon orang-orang setelah mendengar ceritanya. Tentu saja, banyak reaksi berbeda ia terima dari orang-orang. Beberapa dari mereka menampilkan wajah terkejut dengan mulut terbuka lebar, tapi ada juga yang tertawa seolah baru saja mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya."Tidak bisa disebut kesengajaan, kehadiranku di dunia ini justru berawal dari kecelakaan. Aku berasal dari desa kecil, di sebuah wilayah di bumi. Kalian boleh percaya, boleh juga tidak. Aku hanya bercerita sesuai dengan fakta. Jauh di sisi lain ada peradaban manusia yang menjadi tempat asalku."Zhura melanjutkan, "Di duniaku, aku hanyalah seorang gadis biasa. Pada suatu malam, aku mengantar pesanan di hutan desa, setelah mengantar roti itu ke rumah pemesan ternyata ada barang yang tertinggal di amplop pembayarannya. Jadi aku memu
Zhura tak ingin bertatap muka dengan Azhara, jadi ia mengalihkan pandangannya. "Hanya karena beberapa hal, kalian semua menuduh kami sebagai pembunuh raja?""Dengan data dan informasi yang bocor kepada kalian adalah satu bukti lain. Jika kalian tidak memiliki suatu niat tersembunyi, kalian tidak akan mengorek sedemikian rahasia yang disembunyikan istana!" Ruvas membahas mengenai informasi perekrutan prajurit baru dan identitasa anggotanya yang pernah didapat Tabib Ma dari ruangan Pak Dima.Azhara menatap gadis di sisinya, ia yakin bahwa Zhura mendapatkan informasi itu untuk alasan yang baik.Ruvas berdehem. "Dan lagi, barang-barang sebelumnya yang sudah kau akui sebagai milikmu, juga pernyataan gadis-gadis suci yang mengatakan kau bertindak mencurigakan menjadi poin penting. Kau mungkin bisa berdalih dengan cerita asal-usul karanganmu, tapi barang-barang bukti ini mengatakan kalian mempunyai persekutuan!""Kami memang berkerja sama! Tapi persekutuan kami bertujuan untuk mengungkapkan
Paman Ruvaz heran, "Kenapa kau bertingkah seperti seorang penyidik sekarang?" Meskipun terlihat tidak terima dengan sikap Zhura, ia tampak membawa sesuatu ke tempat interogasi. Beberapa menit kemudian, sebuah kursi santai berwarna kuning empuk berada tepat di depannya."Lihat! Sebelumnya tidak ada robekan di kursinya. Kemarin raja duduk di sofa itu, dan saya tidak melihat ada bagian sofa yang rusak." Tabib Ma menunjuk sandaran kursi tersebut. Semua orang di sekeliling balai mulai menampakan raut serius, turut menatap sofa kuning itu."Berapa kedalaman dan panjang robekannya?" tanya Zhura."Kedalaman robekannya sepuluh sentimeter dengan panjang sisi robekannya tiga sentimeter. Dilihat dari bentuknya yang lurus dan sempit, sepertinya itu dihasilkan oleh tancapan senjata tajam."Zhura menatap robekan itu cermat-cermat, "Robekannya juga rapi, pasti dihasilkan oleh satu tusukan saja. Sepertinya senjata pelaku sempat meleset saat mengincar dada raja."Elf penginterogasi di depannya terkesia
"Jadi, kalian selamat dan berhasil mendapat penawar racun daghainnya. Lalu Ramia? Ke mana dia?"Ucapan Paman Ruvaz lekas mengingatkan Zhura tentang pemuda elf itu. Sudah lama semenjak ia bertemu dengannya. Tabib Ma berkata pemuda itu menyusup ke markas Shar. Membayangkan bagaimana keadaannya dan apa saja yang ia lalui membuatnya khawatir.Paman Ruvaz beralih ke pembahasan lain, dia menunjuk bubuk kebiruan yang sebelumnya ditemukan di tempat kejadian meninggalnya raja. "Sudahlah, bagaimana dengan bubuk kebiruan itu? Bubuk itu ditemukan di lantai dekat dengan tubuh Yang Mulia Raja Amarhaz."Paman Ruvaz meraih mangkuk putih dari meja, lalu mendekatkan pada mereka. Tabib Ma tercenung menyadari adanya ketidakberesan pemandangan yang ia tangkap dari mangkuk itu. "Apakah mangkuknya memang basah seperti itu?" tanya elf tua tersebut menatap air yang menetes dari permukaan mangkuk, jatuh ke telapak tangan elf penginterogasi."Tidak, sepertinya tadi kering." Ruvas tampak heran, ia menatap seoran