Lima orang pemuda dan enam belas gadis suci duduk memegang tali kendali di atas kuda masing-masing. Mereka dalam tahap akhir pemberangkatan. Para gadis tampak sudah bersiap, sementara para pemuda di depan, masih sibuk mendiskusikan sesuatu. Inara juga di sana. Gadis elf itu membariskan kudanya di dekat para pangeran, mengingat koordinasinya dalam bidang penerawangan sangat dibutuhkan.Mendongak, Zhura menatap langit pagi yang cerah seolah-olah mengantar kepergian mereka dengan riang. Tidak lama setelah itu, keningnya mengernyit saat gadis-gadis itu terus saja menatapnya. Dilihat dari segi penampilannya tak ada yang salah. Namun, mereka terus mencuri pandang seraya sesekali berbisik-bisik. Zhura bertanya-tanya keheranan. Terdengar desahan dari mulut Valea. Gadis merah itu memilih memusatkan perhatian pada lilitan kain pada pergelangan tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan.Para gadis suci itu pasti sedang memikirkan ulang sikap mereka terhadap Zhura. Tentu saja, mere
Tiga jam berlalu semenjak rombongan meninggalkan gerbang istana. Sorak-sorakan penduduk yang berdiri di sepanjang jalan terdengar riuh dan ramai. Mereka menyerukan kata-kata semangat dan harapan. Kini mereka melewati jalur yang lebih tenang. Zhura melirik ke arah kanan. Arlia terlihat mengendarai kudanya dengan punggung membungkuk. Rautnya yang tertutupi tudung, sulit dilihat karena gadis itu menunduk. Kedua tangan gadis itu erat menggenggam tali kekang kuda hingga jari-jarinya memerah.Dia tidak melirik atau pun mengajak berbicara. Bahkan dari cara ia melajukan kudanya, gadis itu seperti menjaga jarak dari Zhura. Aroma manis tercium, Zhura mendongakkan kepala. Kabut berwarna merah muda mengepul di antara pepohonan. Mereka persis seperti permen kapas raksasa yang tergantung di atas hutan. Para gadis lain pun tampak sama terperangahnya. Mereka terpana seraya mengucapkan kata-kata kekagumannya atas benda merah muda itu.Kabut merah muda itu turun semakin ke bawah saat rombongan masuk l
"Zhura!"Sebuah pukulan mendarat di bahunya membuat Zhura terkesiap. Valea berdiri di samping pembaringannya. Dengan wajah panik ia tiba-tiba menarik Zhura berdiri begitu saja."Bodoh, kau tidur seperti orang mati saja! Aku sudah memanggilmu ratusan kali!" seru gadis merah itu marah. Belum juga Zhura mencerna situasi, Valea sudah kembali berseru. Ia melemparkan tas dan pedang Zhura dengan tergesa, "Urus perlengkapanmu! kita dalam terdesak! Ayo, keluar!"Tentu saja rasa kantuk dicabut paksa darinya. Zhura mengedarkan pandangan ke penjuru tendanya yang kosong, sebelum melangkah keluar. Baru satu pijakan ia tempatkan di tanah, sesuatu sudah lebih dulu datang menerjang. Tubuh Zhura yang belum siap sontak terjatuh ke tanah. Bulu kuduknya merinding ketika suara geraman makhluk yang menindihnya keluar.Ini buruk!"Aakh!" Zhura berusaha mengambil pedangnya yang terlempar, tapi dia terlalu jauh untuk menggapainya. Keadaan semakin memburuk ketika ia melihat tangan dingin misterius beraroma busu
"Selain mengacaukan persediaan, para Hel juga melepaskan kuda-kuda kita," gerutu Asyaralia sambil menyalakan api pada sebatang kayu.Aryana membenarkan posisi tasnya, "Tidak apa-apa. Berkat penglihatan Inara, kita bisa meminimalisir risiko korban karena lebih dulu bersiap. Terima kasih, Inara.""Saya hanya melakukan tugas saya, Yang Mulia," jawab Inara tersenyum manis.Pada saat yang sama, mata Zhura justru mendapati drama curi-curi pandang antara gadis merah dan si pembuat obor. Terkadang Valea yang diam-diam memerhatikan setiap gerakan Asyaralia, tapi ketika pemuda itu mengangkat pandangan padanya, gadis merah itu pura-pura memeriksa perlengkapannya."Karena kuda-kuda kita pergi entah ke mana, jadi kita akan berjalan kaki. Pastikan sepatu kalian terpasang dengan nyaman atau kaki kalian akan sakit. Periksa juga barang kalian, jangan sampai ada yang tertinggal. Kita harus keluar dari wilayah ini sebelum pagi datang, jadi kita mungkin akan berjalan cepat."Mendengar penuturan Aryana, Z
"Aku hanya menyebrangkan orang enam belas tahun sekali. Sebelumnya tidak pernah ada pemuda yang ikut dalam perjalanan gadis suci." Centaurus bertopi bulat besar yang sejak tadi mendayung di belakang Arlia tiba-tiba bersuara. Aryana menoleh, "Kami dalam keadaan mendesak.""Jaga pikiran kalian, jangan biarkan itu kotor jika kalian tidak mau tertimpa kesialan," timpal juru kemudi itu. Semua penumpang di perahu sontak menatapnya dengan kening membentuk kerutan sempurna."Paman, apa maksud Anda dengan pikiran yang kotor?" tanya Luther yang duduk di samping Aryana."Bersikap fleksibel dalam kehidupan. Seseorang yang kurang pengetahuan, akan terkurung dalam kesengsaraan dinding ketidaktahuan. Pada akhirnya pribadi mengeras seperti batu di dasar danau, kuat tapi terlupakan. Kepandaian bukan terletak pada jawaban, tapi pada pertanyaan. Oleh sebab itu kita tidak boleh berhenti bertanya dan tetap waspada," jelasnya.Zhura menelan ludah, tersenyum kikuk saat matanya bertemu pandang dengan sosok
Byur!Tubuh Zhura mengejang tidak lama setelah ia melompat. Dari bawah air, perahu terlihat seperti bayangan besar yang tidak stabil. Terombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Air danau dengan cepat menyerap ke dalam, membawa suhu dingin untuk menusuk tulangnya. Ia tidak begitu pandai berenang, tapi sistem pergerakannya masih bekerja, jadi ia bisa mengusahakan tubuhnya tidak tenggelam.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Enam gadis lain terlihat sedang beradaptasi dengan air. Tak lama setelahnya Valea menunjuk dasar danau. Mereka semua mengerti, lantas mulai berenang ke dasar. Di dasar danau tersebut terlihat ada eksistensi sebuah objek. Benda berkilauan, yang dikira adalah barang yang sengaja dibuang ke danau ternyata adalah cermin besar. Seorang gadis mengulurkan jemarinya mengusap permukaan cermin itu. Tak disangka tangannya menembus. Mereka semua sontak saling bertemu pandang, kemudian memberikan kode satu sama lain. Diawali Valea, satu per satu gadis suci masuk ke dalam cerm
"Kau yakin ini tidak apa-apa?""Tidak ada pilihan lain. Jangan khawatir, mereka akan segera sadar," sahut Valea yang kini sibuk menyandarkan tubuh seorang gadis di balik batu besar. Satu gadis lain yang juga tak sadarkan diri, sudah lebih dulu disandarkan di sana. Alih-alih membuat rencana yang aman, Valea justru membuat rencana yang bisa dibilang nyeleneh."Aku hanya membuat mereka pingsan, kenapa kalian menatapku seperti melihat seorang kriminal?""Kau baru saja merampok mereka!" sahut Zhura disambut anggukan dari para gadis."Terserah!" Setelah kegiatan "menyembunyikan tubuh dua orang asing di balik batu" selesai, Valea meraih bingkisan besar yang tergeletak di sampingnya. Sebuah gaun hijau terlihat menyembul, saat gadis merah itu menyingkap kain yang membungkus bingkisan. Tidak menunggu lama, ia segera menutup kembali bingkisan itu dengan senyum yang terlihat sama merepotkan."Waktu kita tinggal sedikit, sekarang apa?" tanya seorang gadis bernama Maris."Tiga orang gadis tetap di
Aryana menelan ludahnya gugup. Dirinya semakin dilanda keresahan. Ia ingin pergi menyelamatkan adiknya dan gadis-gadis suci itu, tapi di sisi lain danau itu tidak menerima eksistensinya sebagai setengah manusia dan setengah elf. "Maaf, bolehkah saya menanyakan sesuatu?" tanyanya duduk di dekat centaurus tua si juru kemudi."Tentu," jawab juru kemudi itu."Anda tahu jika saya dan adik saya bukanlah manusia murni, tapi bagaimana bisa Scabious itu membawa adik saya ke dunia mereka? Bukankah mereka hanya menerima manusia?""Pada dasarnya semua ras dari semua makhluk adalah musuh Scabious. Tapi, dibanding kebencian terhadap ras lain, kepada manusialah yang masih bisa diterima dengan jantung mengecil," jelas centaurus tua itu.Aryana melirik Luther dan Vilois yang juga diam-diam mendengarkan percakapan mereka. "Jantung mengecil?" tanya pemuda itu."Maksudnya berat hati." Juru kemudi itu melepas topi bundarnya, menatap lurus Aryana. "Tidak ada kriteria khusus untuk para Scabious menjadikan m