Zhura berhasil kabur dari Ranzak. Kini bulan telah memerah, sedikit demi sedikit menjadi purnama yang melegenda. Suasana menjadi semakin tak terkendali. Suara lengkingan menyeruak dari paruh foniks perak di atas. Azhara sudah berhasil mencungkil satu sisik hitam dari tubuh Sacia. Kini ia terbang di atas ketinggian, urung untuk hinggap. Para gadis suci pun mulai menampilkan raut cerah saat satu sisik di bagian belakang berhasil mereka hancurkan.Angin berderu lincah, malam kini disebut larut. Cahaya api dari obor meredup. Aroma kering dan panas tiba-tiba datang di antara kepingan salju. Hidung Zhura merasa sakit menciumnya. Ada sekelebat bayangan buruk terlintas, instingnya berkata bahwa yang terburuk akan datang. Dengan cepat ia berusaha mengambil langkah saat kakinya tidak lagi bersedia bekerja sama.Di tempatnya Valea dan gadis-gadis lain sedang menuju ke sisik terakhir. Tinggal satu sisik yang harus disingkirkan. Seharusnya semuanya akan segera berakhir, tapi sesuatu terjadi. Naga
Tarikan gravitasi membuat salju jatuh menggenangi dataran mati. Mereka tidak lagi dingin. Sekujur tubuh seakan puas akan sakit dan melahirkan mati rasa. Hanya paru-paru dan jantung yang masih bersedia menemani kedipan mata. Bahkan arah menjadi hal yang samar. Keramaian lenyap, banyak hal menjadi tidak jelas. Inara, Valea, Arlia, dan banyak orang seperti terlalu letih hingga terbaring begitu lelap.Zhura menggenggam erat serabut lembut di telapak tangannya. Udara menjadi batu saat mereka terbang melewatinya, berat. Suara lengkingan foniks mengalihkannya dari suasana di bawah. Gerakan Azhara entah bagaimana menegang, Zhura merasakan kepakan sayapnya tidak tenang. Gerakan lain menyusul, meliuk ke kanan lalu turun tajam, sebelum naik lagi dan meliuk ke kiri."Hei, ada apa?!"Tidak ada balasan atau respon. Dari tempatnya, tampak mata foniks itu mengerucut tajam. Tersadar akan sesuatu, Zhura menatap ke atas. Dua pertiga bagian bulan memerah. Sedikit waktu lagi sampai itu menjadi bulan purna
Kelopak-kelopak putih melayang. Terbang serempak menuju kanvas keunguan. Air setinggi mata kaki kini menguarkan aroma nestapa. Seperti kepedihan sangat lama tergenang di sana. Zhura menghela napas saat wanita bermata violet itu terus saja tersenyum di depannya."Mereka semua sudah berangkat." Wanita itu membuka suara seraya mengulurkan lengan, seolah-olah berusaha menggapai kelopak-kelopak putih di udara.Zhura melangkah menyibak air ke sisinya. Panggilnya, "Macia."Macia abai, "Setelah ini siang akan berhenti merajuk karena angin yang datang kembali sejuk.""Macia!" ulang Zhura dengan nada berapi. Saat itu juga Ia menyadari iris violet sosok itu diderai air mata."Kita menang, Rahien. Cinta kita bukan kutukan. Semua hal di dunia akan kembali berwarna. Perasaan hangat akan mekar menyatukan seluruh masa, kedamaian itu datang.""Macia, tolong dengarkan." Zhura memaksa sosok itu untuk memberi perhatian.Macia mengusap dadanya yang kembang kempis, "Dipisahkan oleh ruang dan waktu, sepasan
Kegelapan menjadi hal yang tidak asing lagi di matanya. Tepat setelah ia gagal meraih tubuh gadis itu, jantungnya yang selalu tenang mulai berdentum bak tambur. Ia merasakan apa yang orang-orang katakan sebagai rasa takut. Semua hal yang ada di sekitarnya berada dalam kekacauan, tapi apa yang membuatnya gusar adalah ketidakjelasan eksistensi gadis itu."Zhura!" Dipaksakan suara keringnya untuk berteriak. "Di mana kau?!"Azhara terus merapalkan nama gadis itu seraya bergerak. Lima langkah berhasil ia habiskan, sebelum ledakan besar terjadi hanya beberapa meter di depannya. Dahsyatnya ledakan itu membuatnya limbung. Naga Sacia berulah. Dia kembali mengepakkan sayap dan mendarat di dekat Azhara. Seolah merayakan kemenangannya, dia mendongak tinggi setara langit. Sisa asap tampak menguar dari mulutnya yang terbuka lebar.Azhara terlalu lemah bahkan untuk berpikir. Daripada bertarung, usaha pengendalian roh jahat lebih melelahkan. Seluruh kekuatannya pun sudah terkuras habis. Pada pembarin
Embusan angin yang terlalu tenang menjadikan semuanya jelas. Tubuh mungil terbalut seragam biru itu kini mendekat menghancurkan kewarasan Azhara. Pemuda itu menggeleng, mati-matian menyangkal gagasan yang mulai datang di kepala. Ia getir meraup secercah harapan pada keberadaan seseorang, berharap kalau sosok yang berdiri di depannya hanya kepalsuan.Langkahnya berakhir lembam dengan salju yang menumpuk di ujung sepatu. Gadis bermata hijau menghabiskan ruang yang memisahkannya dengan Azhara. Zhura berdiri kuyu. Pias terpatri pada gadis itu, menandakan betapa kacau meresap di hatinya. "Sejak kapan kau menatapku dengan mata itu, Azhara? Ah, itu pasti karena kau sudah melihatnya, 'kan? Naga itu ... sekarang juga, kita berdua akan mengakhiri semua ini. Mimpi buruk akan selesai."Tangan terhias gelang perak itu terulur pada Azhara, "Kau bisa membunuhku sekarang. Ambil darah ini, semuanya. Jadilah manusia bebas seperti yang kau inginkan.""Jangan membuat lelucon," jawab Azhara menatap kuku-k
Kebersamaan dan perpisahan manusia menjadi makanan sehari-harinya di alam surgawi. Matahari dan awan terlalu ramah memberikan kehangatan, atmosfer syahdu tercurah indah. Kerlip bintang terlihat bahkan di siang hari, tentu saja karna ia ada di istana langit. Menjadi dewa membuatnya memikul segunung tanggung jawab besar. Lelah dan sedikit kepayahan ia simpan atas nama pengabdian.Suatu ketika di alam surgawi, pertempuran antar klan langit pecah. Beberapa klan menginginkan pemberontakan yang ditentang oleh klan lain. Sacia dan Macia ditugaskan memadamkan pergolakan. Dengan perjuangan keras, mereka berhasil menaklukkan pemberontakan klan tersebut. Dari peperangan itu juga menyelamatkan banyak sandera yang sebelumnya tertahan oleh pihak pemberontak.Para tawanan yang berhasil diselamatkan dibawa ke istana langit untuk menerima perawatan khusus. Tak lama setelahnya di hadapan penghuni alam langit, Sacia dan Macia diangkat menjadi Dewa Agung atas prestasinya meredakan perang dan menyatukan s
Beberapa waktu berlalu, Rahien dan Macia menjadi akrab. Meskipun tidak mengenal identitas aslinya, tapi Rahien tetap merawat gadis dengan baik. Dengan menyamar sebagai Lian, Macia membuat Rahien mengenalnya sebagai sesama penghuni langit bawah. Entah bagaimana ia tidak mengatakan identitas aslinya, kemungkinan besar agar Rahien tidak lagi mengingat-ingat kejadian masa lalu. Suatu hari, Rahien membuat banyak sekali layangan bambu lalu menerbangkannya."Kau sedang apa?" Macia yang terheran-heran lantas menanyakan untuk apa benda itu."Hari ini, adalah tepat seribu tahun sejak aku diturunkan ke langit bawah. Aku dulu pernah tinggal di langit atas. Kau tahu? Aku bahkan tinggal di istana bersama para dewa. Tapi, suatu hari aku tiba-tiba dipaksa kembali ke sini. Meski di sini adalah tempat asalku, di mana aku bisa menemukan seluruh keluargaku, tetap saja semua yang aku lewati di langit atas sangat tak terlupakan."Macia terenyuh. "Kau sedang merindukan istana langit?"Rahien menggelengkan k
Ciuman itu membakar jiwa, menimbulkan sensasi gemuruh pada hati. Pada saat kuluman mereka semakin kuat, ia tidak bisa mencegah darah tersebut masuk ke tenggorokannya. Waktu tidak membuatkannya pilihan, semua berakhir jauh seperti yang Azhara inginkan. Bibir hangat itu kini terlepas dari bibirnya. Perlahan, wajah gadis itu menjadi jelas. Zhura mengusap pelan bibir bawah Azhara yang basah akibat darah dan saliva."Sekarang kau adalah manusia bebas."Azhara mematung. Rasa pahit manis tertinggal di lidah saat pemuda itu menerima kesadarannya. Ia terlonjak melihat tubuh Zhura yang rapuh jatuh menyatu dengan salju. Azhara lantas berlutut, pandangannya menatap darah yang keluar bak sungai dari tangan itu. Dengan kalut Azhara merobek jubahnya menjadi secarik kain panjang. Pemuda itu kemudian menahan lengan Zhura dengan hati-hati.Gadis itu menangkis lilitan kain perbannya, "Maaf, karena tidak sopan. Aku tahu kau terkejut. Tapi semuanya sudah selesai.""Kau akan baik-baik saja." Azhara mengaba