Kerajaan berduka, bagiannya terisi oleh warna terang. Pakaian putih yang orang-orang itu kenakan menandakan lara yang menetap sementara hati menahan pilu. Semalam, para gadis dan prajurit yang meninggal dikremasi, sementara abunya diserahkan kepada keluarga masing-masing. Mereka menangis. Para orang tua yang melihat kepergian anaknya menjadi perjalanan selamanya, meratap.Hanya Zhura yang tertinggal. Ketidakhadiran Azhara di istana tidak hanya menimbulkan tanda tanya, tapi juga penangguhan kremasi Zhura. Di tengah-tengah halaman luas, ia menjadi sorotan. Setangkai lili putih diletakkan di sisinya. Satu demi satu bunga kesedihan itu diatur sedemikian banyaknya mengelilingi pembaringan anteng sosok peraknya. Setanggi harum dinyalakan di sisi peti Zhura yang dibaringkan dengan tangan bertaut.Asap kecilnya yang terbang, menjadikan pandangan kabur di saat mata juga terbias air. Di tangan Zhura, ada gelang perak yang masih melingkar. Tentu saja, orang yang bisa melepasnya bahkan tidak kem
Selebaran demi selebaran dilepas dari papan-papan di seluruh wilayah. Tidak ada penjelasan yang dikatakan, para prajurit hanya datang mencabutnya dengan raut serius. Entah itu di pelabuhan, pasar, alun-alun kota, serta tempat terpencil sekali pun, berita menghilangnya putera mahkota sudah ditarik. Apa yang sebenarnya terjadi, tidak ada yang tahu. Keterangan ditutup rapat oleh pihak istana.Penduduk di lima dataran mengetahui perihal kembalinya gadis perak dari kematian. Berbagai spekulasi dan kesimpulan tak berakar sontak beredar. Kebanyakan itu disangkutkan dengan menghilangnya Azhara. Yang paling banyak diperbincangkan adalah kaitan sihir hitam dalam upaya pembangkitan kembali kehidupan. Istana yang memilih bungkam menjadikan berita-berita semakin menyebar. Silvermist adalah kerajaan terbesar dan pusat lalu lintas di antara lima dataran. Saat ini, keadaan serba membingungkan karena isu-isu mengundang keraguan. Aktivitas sosial menjadi tertutup, baik dari dalam atau luar. Silvermist
Sebelah lengan naik mengusap peluh yang turun di sela dahi keriputnya. Pria tua bernama Daris itu menghela napas, kelelahan melewati siang yang terik. Bukan pertama kalinya memang, tapi penghujung musim panas selalu terasa membakar. Seolah-olah merebus udara, sinar matahari memancar sempurna. Beruntung, dedaunan belum sepenuhnya luruh dari pepohonan di sepanjang perjalanannya menghalau sengatan panas.Jalanan yang dipenuhi kerikil pun tidak membiarkannya melaju dengan lancar. Terlebih ada muatan yang harus ia angkut di belakang, membuatnya harus sesekali menengok untuk memastikan obat-obatan dan bahan pangannya tetap baik. Seharusnya ia akan sampai dalam satu atau dua jam, tapi karena terbatasnya akses menuju paviliun Han, jarak tempuh yang harus Pak Daris lewati menjadi bertambah.Bangunan bergaya kuno menyambutnya setelah jalanan berubah menjadi--tanah--lebih halus. Di ujung jalan, paviliun Han adalah satu-satunya tujuan, kerena memang hanya bangunan itu yang berdiri di kawasan rind
"Halo, Valea. Ubi Merah Kesayangan, kau pasti masih hidup saat membaca ini. Kami memulai kehidupan baru di desa. Beberapa tempat umum diblokir, situasi sedang buruk dan akhir-akhir ini kami kesulitan mencari bahan pangan di pasar. Tapi jangan khawatir, kami tidak akan mati. Kami dalam kondisi baik-baik saja malahan. Oh, ya, Bim sudah melahirkan. Anaknya lucu dan juga punya satu tanduk kecil di tengah kepalanya. Orang-orang desa ramai datang ke rumah mengira dia adalah unicorn. Kau pasti juga senang melihatnya, kami tidak sabar menunggu kedatanganmu kembali!"Inara menahan sudut bibirnya yang tertarik, lalu membalik surat di tangannya. "Dan juga kami ingin minta maaf, Valea. Kekacauan di desa membuat banyak orang dilanda kekurangan. Beberapa masyarakat yang membutuhkan datang mengetuk pintu untuk meminta bantuan. Karena kami sedang tidak mempunyai makanan, jadi kami sumbangkan saja semua pakaianmu karena kau tidak kunjung kembali. Sekali lagi maaf, tolong jangan marah. Nanti kami buatk
Pak Daris mengedarkan pandangan, mengacungkan telinga lancipnya memeriksa keadaan sekitar. Setelah yakin keadaan sepi, Pak Daris membuka kain hijau yang menutupi kereta barangnya. Batang hidung seseorang yang bersembunyi di dalamnya lekas terlihat. Gadis itu mengangkat tangannya ke atas kepala, menghalau terik matahari. Kedua retinanya menyipit belum terbiasa, ini adalah pertama kalinya ia di tempat terbuka sejak beberapa hari terakhir."Maaf, saya hanya bisa mengantar Anda sampai di sini. Saya tidak berani mengambil risiko, Nyonya," ujar Pak Daris seraya menyatukan kedua tangannya.Zhura yang tengah menikmati lingkungan sekitar sontak kembali menghadap pada Pak Daris. Ia sedikit tidak nyaman saat pria tua di depannya memanggilnya dengan sebutan Nyonya. "Paman, panggil saya Zhura. Saya baru dua puluh tahun, kau tidak perlu seformal itu. Bagaimana pun juga saya yang harus minta maaf. Saya sudah bersikap buruk dan tidak bermoral dengan mengancammu, tolong maafkan saya.""Tidak, Anda ada
"Pergi kau dari sini! Dasar, Setan!" Teriakan seseorang mengalihkan perhatiannya. Gadis perak itu bergegas ke arah suara. Di balik belokan, ia melihat anak kecil tergeletak di tanah setelah dilempar oleh seorang wanita. Ada banyak luka di tubuhnya, seolah-olah ia baru saja mengalami penganiayaan. Keadaannya benar-benar menyedihkan."Bibi, tolonglah, saya kelaparan." Anak kecil itu bersujud, menahan tangis."Persetan kalian, kubilang pergi!" seru wanita tetap mengusirnya, ia tampak mengambil sewadah air untuk disiramkan pada anak kecil itu.Zhura yang melihatnya berlari ke arah mereka. "Tolong hentikan!" serunya meraih tubuh anak laki-laki itu, mengamankannya dari wanita jahat yang terus berteriak di depannya."Siapa kau?! Datang-datang mengganggu! Pergi! Pergi sana!" teriak wanita bertubuh subur itu mengibas-ibaskan tangan."Saya minta maaf, tapi tolong berhentilah menyakitinya! Kau tidak lihat? Dia terluka!" Zhura menunduk, dia merasakan aura ketakutan pada anak kecil dalam pelukann
"Berhenti!"Zhura mengangkat ujung jubahnya, memberi sedikit ruang bagi kakinya untuk berlari. Di belakang, tiga orang besar berpakaian prajurit masih saja mengejarnya. Sejak berpisah dengan Erland, Zhura merasakan keanehan. Instingnya berkata dia sedang diikuti. Benar saja, orang-orang itu memasang wajah datar dan mata elang untuk mengekorinya. Ini menandakan bahwa pelariannya sudah tercium dan orang-orang itu pasti ditugaskan memburunya.Zhura menunduk, bersembunyi di bawah meja yang terlihat seperti rongsokan di pinggir jalan. Orang-orang berpakaian hitam itu melewatinya. Mereka berlari lurus.. Jalanan sore desa yang berdebu membuat keadaan terlihat kabur. Angin salah satu pemantiknya. Zhura menekan laju jantung yang hampir meledakkan dada. Sudah sangat lama sejak ia berlari sekencang tadi, otot-otot kakinya kini terasa berkedut."Syukurlah, mereka pergi."Gadis itu mengintip dari bawah meja sekali lagi, lalu keluar. Ditatapnya sekeliling dengan heran di wajahnya. Ia mungkin pelari
Pintu kamarnya kembali tertutup. Beberapa saat terlewat hingga Zhura membuka mata. Dari balik selimut tipisnya, ia memeriksa apakah orang-orang itu sungguh keluar. Beberapa jam berlalu sejak dirinya dibawa oleh petugas keamanan kota Zhepyr, kini ia ada di penginapan bernuansa kayu-kayuan, tempat peristirahatan yang juga mengurungnya dari luar.Ditatapnya sebelah kakinya yang berdenyut, perban yang melilit sudah terlepas karena kakinya bengkak. Tidak terlalu sakit, tapi cukup membuatnya kesulitan berjalan. Setelah seharian berjalan ditambah berlari, keadaan kaki kanannya yang memburuk memang wajar. Bahkan jika ia terbangun esok hari dengan mati rasa di kaki, itu hal yang masuk akal.Suara ribut mengalihkan pemikirannya dari palung khayalan. Di luar pintu, sesuatu yang kacau terjadi. Ia memberanikan diri mendekat, mengintip bawah pintu yang kini menampilkan sosok-sosok yang sedang berkelahi. Matanya menyipit, tapi penglihatannya kabur karena sudut pandang terbatas. Belum sempat ia mema