Share

2. Membuktikan Sendiri

"Tentu saja, nyamuk yang berukuran normal, Max. Hanya saja gigitan itu membuatku alergi hingga menjadi selebar ini," tunjuk Shada pada lehernya. Matanya memohon agar Max segera mempercayainya.

Max memalingkan wajahnya. Menyibukkan diri pada beberapa lembar kertas di depannya. "Sejak kapan kau punya alergi terhadap gigitan nyamuk?" kejar Max, semakin membuat Shada gugup.

"Aku memang tidak punya alergi, Max. Hanya saja. Kali ini," Shada semakin tidak menemukan jawaban ketika mata biru Max beralih menghunjam mata coklat terang Shada, mencari-cari kepastian di sana.

"Aku percaya." sergah Max, lalu berpaling lagi pada dokumennya. Kini tangannya dengan lincah membubuhkan tanda tangan di kertas-kertasnya.

"A-apa?" Shada melotot tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Benarkah semudah itu?

"Beberapa jenis nyamuk tertentu memang menyebabkan reaksi alergi pada orang-orang yang tak memiliki alergi sekali pun," tukas Max singkat diikuti oleh anggukan Shada.

Shada mengembuskan napas lega. Namun ia juga makin buncah dengan apa yang terjadi semalam. Ia harus segera melupakannya, apalagi di hadapan tunangannya sekarang. Ia lalu mendudukan dirinya di depan Max.

Max melirik Shada sekilas. Kemudian mengendurkan kerahnya yang tampak gerah dan mencekiknya di beberapa menit yang lalu. Ia harus segera menguasai situasi ini.

"Jadi, Max—" Shada sengaja menggantung kalimatnya, ingin mendapat perhatian Max lebih dulu, "—kira-kira kapan tanggal pernikahan kita?"

Max menatap Shada lalu bergeming. Ia terlihat berpikir sejenak.

"Beberapa minggu lagi kita akan melakukan pertemuan keluarga, jadi kau bersiaplah."

♡♡♡

Setelah Shada mengunjungi Max, ia berjalan-jalan mengelilingi kantor menghilangkan rasa penatnya. Rasanya, lebih baik jika sekarang ia sedang bekerja. Menyibukkan diri dengan maraknya tugas dan beberapa tumpukan dokumen yang tinggi. Pikirannya sungguh kacau hari ini.

"Shada!" suara seorang wanita membuatnya mengalihkan lamunannya sekarang. Ia menoleh mendapati sumber suara tersebut.

"Hai, Ruth!" Shada melambai senang ketika tahu itu adalah Ruth, senior yang sering membantunya. Ruth setengah berlari menghampiri Shada.

"Kau barusan bertemu dengan Max? Di hari liburmu?" Ruth mengernyit tak percaya. Mungkin baginya ini lucu, dan momen yang lumayan langka.

Pasalnya, setiap hari Shada bisa bertemu dengan Max. Dan ketika libur pun, ia pasti menggunakan waktunya untuk seharian tiduran di rumah. Memeluk kesepiannya sendiri.

"Hmm, yeah. Tidurku agak bermasalah akhir-akhir ini. Mungkin, jika aku bertemu dengan Max bisa mengobati mimpi burukku," racau Shada memelas diikuti oleh tepukan empati Ruth di pundak wanita cantik itu.

Sangat menyedihkan mengingat hidupnya sekarang. Selalu kesepian sampai ia merasa sedang berhalusinasi dengan mimpi yang saat ini membuat rusuh pikirannya. Tidak, itu nyata. Tapi hal itu dirasa tak mungkin juga. Ia merasa sangat bersalah pada Max tadi.

"Oh iya, Ruth. Kau pernah merasakan mimpi yang... hmm nyata sekali?" tanyanya hati-hati. Tiba-tiba ia bergidik mengingat perihal mimpinya semalam. Namun juga senang.

"Mimpi yang nyata sekali?" ulang pelan Ruth tidak mengerti. Terlihat sekali sedang berpikir dengan keras.

"Hmm, jadi... kau tahu kan mimpi yang benar-benar real, yang misal kau menyentuh gelas maka kau merasakan dinginnya sungguhan." Shada berusaha menjelaskan kepada Ruth, meski ia sendiri tidak begitu yakin dengan dirinya.

"Kau yakin itu mimpi? Bukan mengigau?" timpal Ruth, hampir terkekeh karena menurutnya itu lumayan menggelitik.

"Aku serius, Ruth. Please." Kali ini Shada menyatukan kedua telapak tangannya, tanda memohon sambil menatap nanar temannya itu. Ia sangat bersungguh-sungguh meminta bantuan Ruth yang sudah ia anggap sebagai sahabat sekaligus saudara perempuannya.

"Ok. Aku juga akan serius kalau begitu." Ia menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan, "Pertama-tama, yang kutahu tidak ada mimpi yang sungguh-sungguh kau rasakan. Dan yang kedua, aku jarang sekali mengalami mimpi tiap malam."

Shada mengamati Ruth lamat. Sedikit berpikir, lalu memutuskan untuk menceritakannya lebih spesifik.

"Jadi, Ruth. Aku mengalami mimpi. Rasanya benar-benar nyata. Dan kau tahu. Ada bekas noda merah ini sungguhan," ungkapnya sambil menunjukkan leher sisi kanannya.

Ruth langsung memekik kaget. "Bagaimana bisa, Shada? Mana mungkin!"

Yang terjadi sedetik kemudian dan seterusnya, Shada mulai menjelaskan kronologinya. Ia menjelaskan sambil merasakan kekalutan dan nyaris menangis. Sedangkan, Ruth terlihat mengerti dan beberapa kali ia manggut-manggut paham.

"Kalau begitu, coba kau tidak tidur malam ini, Shada." ucap Ruth mendadak. Mata hitam mengkilatnya meyakinkan Shada.

Shada sejenak memaku memandang Ruth. Paras yang elok dengan kulit putih bersih pucat, apalagi dengan matanya yang hitam kelam. Semuanya itu dipangkas apik dengan rambutnya yang pendek berwarna merah burgundy gelap. Sama sekali terlihat kontras. Ruth sangat terkesan chic, trendy dan unik. Ia juga terlihat easy going. Seperti sebuah buku yang terbuka, namun memiliki beberapa chapter yang tidak diduga.

Sore itu Shada memutuskan untuk kembali ke rumah. Seperjalanan pulang hingga sampai di tempat tinggalnya, ia tetap terngiang-ngiang dengan nasehat Ruth.

[Jangan tidur malam ini. Dan coba kau buka jendela serta pintu kaca yang tepat menyambung ke balkon itu. Dengan begitu kau mempermudah akses siapapun yang ada di dalam mimpimu semalam.]

Ia kembali mengulang kalimat Ruth di dalam pikirannya.

Shada mencapai kamar. Ia duduk sejenak dan meraih ponselnya. Mengetikkan pesan di sana lalu mengirimnya pada Max. Ia memberitahu tunangan yang ia cintai itu bahwa ia sudah sampai di rumah dengan selamat.

Shada menunggu beberapa menit, tapi ponselnya tak bergeming sama sekali. Ia menekuk wajahnya kesal, Max seperti biasa tidak segera membalas chat darinya. Apalagi setelah kejadian tadi. Rasanya mau menangis saja.

Setelahnya, Shada menyibukkan diri dengan mandi, membuat sereal dan pop corn lalu dilanjutkan menonton film di kasurnya. Sampai-sampai tak terasa malam semakin cepat menghampirinya.

Udara dingin menyergap tubuhnya. Ia pandangi pintu yang terbuka itu. Pemandangan di depannya langsung menampilkan balkon minimalis juga pepohonan besar yang menjulang tinggi. Tubuhnya meremang lagi. Tak lama lagi, pikirnya.

Malam semakin larut, namun sama sekali tak ada tanda apapun di sana.

"Ckk.. mungkin aku sudah gila." Ia bergumam merutuki diri sendiri sambil bangkit hendak menutup pintu.

Sebelum menutupnya, ia terpikat oleh bentang alam yang ada di hadapannya sekarang. Maka, ia mulai menyusuri balkon minimalisnya pelan. Kedua tangannya ia tumpukan pada pembatas dinding balkon.

Udara yang mengalir malam itu menyapu lembut wajahnya. Sejauh mata memandang, ia disuguhkan dengan suasana hutan kecil temaram yang ada di samping rumahnya. Ia juga bisa melihat setapak jalan raya, yang kalau diamati dari balkonnya terasa lebih kecil daripada ukuran aslinya.

Shada menyadari sebentar lagi mungkin sudah pagi, jadi ia berencana segera masuk kamar dan mengunci pintunya. Ketika hendak menggiring kakinya menuju ke dalam, sesuatu mengusiknya.

Ada suara gesekan ranting atau bahkan daun di seberang sana. Suara tersebut berasal dari pohon besar yang menjulang tinggi, melebihi tinggi balkonnya sendiri. Ia kembali meremang.

Dengan keberanian yang masih tersisa, Shada menoleh. Ia tercekat sampai terhuyun ke belakang. Wajahnya langsung memucat. Tiba-tiba kerongkongan dan tenggorokannya kering, apalagi kini suaranya menjadi parau.

"S-siapa kau?"

- Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status