Share

4. Terpatri Pikirannya Sendiri

"Seperti apa rupanya, Shada?"

Sekarang Ruth benar-benar penasaran dengan sosok yang diceritakan oleh Shada. Bagaimana mungkin keyakinannya bahwa Shada akan bertemu dengan orang yang ada di mimpinya bakal terbukti? Ia menatap lawan bicaranya sekarang dengan tak sabar.

"Ia tinggi dan gagah, dari otot-ototnya terlihat kuat." Shada menjawab rasa penasaran Ruth dengan berusaha keras mengingat kejadian semalam yang tetap rasanya seperti mimpi.

"Lalu? Kau bisa tidak menjawab langsung semuanya sekaligus?!" sergah Ruth kesal, ia benar-benar bisa mati sekarang juga karena penasaran.

"Husss.. pelankan suaramu, Ruth!" Bagaimana pun suara Ruth semakin lama semakin tak terkontrol.

"Ups! Maaf, jadi silahkan melanjutkan sampai selesai. Dan jangan berhenti!" perintah Ruth tegas. Shada melihatnya ngeri. Matanya hampir copot dari rongganya, Ruth mulai serius.

"Ia sangat tidak nyata, Ruth. Sangat tampan, aku sampai terpesona dengannya. Lalu ia juga berkulit putih pucat, seputih kulitmu ini." Shada menjelaskan sambil menunjuk lengan Ruth yang sedang bersedekap, lalu melanjutkan. "Rambutnya hitam pekat. Dan matanya, eh, sekarang seperti matamu!" Shada hampir tercekat menyelesaikan akhir kalimatnya sendiri. Ruth juga tak kalah kaget. Iya benar, Shada baru ingat bahwa mata sahabatnya itu sering terlihat bermata hitam dan kadang juga terang. Seperti perunggu.

"Kau yakin matanya sepertiku?" Ruth mengerjapkan matanya cepat. Berusaha meyakinkan diri dengan pernyataan yang dilontarkan Shada.

"Iya, hmm aku tak yakin. Mungkin mirip. Ya seperti itulah," sanggah Shada pelan. Ia mengamati manik merah kecoklatan milik Ruth. Sedangkan Ruth mulai salah tingkah diperhatikan seperti itu.

"Shada, kita ke kantin yuk. Aku lapar," rengek Ruth diikuti oleh anggukan setuju Shada.

Mereka berdua beriringan berjalan menuju kantin. Setelah sampai, mereka lalu menengok menu-menu yang ready hari itu.

Mereka mengantre dan menyebutkan beberapa makanan untuk mengisi nampan mereka. Shada tak sengaja melihat Ruth yang pandangannya terpaku pada sudut kantin. Matanya lalu mengikuti arah yang sempat menyita perhatian Ruth.

"Eh, itu varian mie baru yang barusan meluncur di pasar ya?" seru Shada terpegun.

"Kita coba juga yuk!" Shada mengajak Ruth untuk mencicipi mie baru yang dilaunchingkan beberapa hari yang lalu oleh perusahaannya tempat ia bekerja. Dengan antusias, Ruth mengikuti langkah Shada, mengekor di belakangnya.

Mereka memilih meja, lalu mendudukkan diri di salah satu bangkunya.

"Oh iya, Shada. Kau tahu, beberapa bulan ke depan perusahaan akan mengadakan rekrutmen karyawan." Ruth memulai berbicara kala mereka sibuk mengisi perut mereka masing-masing.

"Benarkah? Di divisi apa, Ruth?" tanggap pelan Shada yang masih dipenuhi makanan di mulutnya.

"Di divisi kita, Shada. Marketing dan distribusi," tukas Ruth yang mulai serius lalu melanjutkan, "Richard akan memimpin tim HRD dalam perekrutan itu."

"Richard? Kau serius? Aku harap ia tak memilih karyawan yang cantik saja, tapi setidaknya harus berotak," gerutu Shada, menelan pelan makanan yang sedari ia kunyah.

"Aku juga berharap begitu. Semoga saja tidak menambah beban kita," desis Ruth bersamaan dengan ponsel Shada yang berdering.

"Halo, Mom. Ada apa?" Shada memutar bola matanya, malas.

"Iya, ini aku sedang sarapan dengan temanku di kantin."

"Apa? Iya, Mom."

Ruth melirik Shada sekilas yang terlihat manggut-manggut. Lalu kembali berkutik pada makanannya.

"Bagaimana kabar Daddy?" Shada menaikkan wajahnya sejenak. "Ah, kau sudah lama tak berkomunikasi dengannya? Kenapa?!"

"Tentu saja aku tidak menghubunginya! Aku takut mengganggu kesibukan Daddy." Shada hampir teriak, ia sadar sedang berada di tempat umum, lalu menunduk lagi.

"Ya sudah, Mom. Habis ini aku kembali bekerja dulu. Bye." potong cepat Shada. Ia memutus sambungan teleponnya sepihak. Ia kesal, namun ponselnya segera berbunyi kembali.

"Apa la—" decak Shada, diikuti oleh kernyitan di dahinya. Ternyata bukan ibunya yang meneleponnya lagi, tetapi Max. Wajahnya kembali sumringah. Ruth hampir terkekeh karena perubahan mood Shada yang begitu cepat.

"Halo, Max." ucapnya antusias.

"Ini aku sedang di kantin, kenapa?"

"Tentu saja aku makan hanya dengan Ruth, siapa lagi?" Shada mengernyit dengan brondongan pertanyaan tunangannya itu. Sejak kapan ia peduli waktu, tempat dan dengan siapa ia makan.

"Cuma itu saja, Max? Kau tidak ingin bergabung dengan kami?"

"Baiklah, selamat bekerja." tandas Shada penuh penekanan, namun masih bisa menahan dirinya. Ia sangat kesal dengan ibunya dan Max saat ini. Moodnya langsung meluncur jatuh bebas tak terkendali.

♡♡♡

Sementara itu, Max tenggelam di tengah kesibukan tumpukan dokumennya. Dari tadi ia hanya membolak-balikan beberapa lembar kertas di dalam map, tak bisa fokus membaca bahkan mempelajarinya. Lantas ia banting keras map tersebut ke meja depannya. Ia lalu menarik napas gusar dan membuangnya kasar.

Sejak kejadian hari itu, tiap malam ia tak bisa tidur memikirkan bagaimana bisa Shada mengkhianatinya. Ia telah mengenal gadis itu sejak berusia 11 tahun, dimana Shada pertama kali menginjakkan dirinya di Toronto ini. Lalu mereka memulai berpacaran waktu kelas 1 sekolah menengah atas, saat mereka akhirnya memiliki kesempatan bersekolah di satu gedung yang sama.

Ia sangat geram dengan sikap Shada yang justru malah menutupinya. Padahal, ia tahu, ia sangat mencintai Shada. Di hidupnya selama ini hanya ada Shada, tidak ada yang lain. Itulah alasan kenapa ia segera memberanikan diri untuk melamar Shada dua bulan yang lalu. Hari-hari dimana aksi bertunangan Shada belum mendapat dukungan sepenuhnya dari kedua orang tuanya, meskipun mereka sangat memberikan support baginya untuk bersama Shada. Hal ini dikarenakan, ayahnya ingin Max fokus pada perusahaannya. Tak bisa dipungkiri jika suatu saat nanti ia akan diangkat menjadi presdir di Holy Food, menggantikan posisi ayahnya. Selain itu, kedua orang tua Shada yang semakin hilang komunikasi dari mereka juga menjadi salah satu alasan kenapa Max dinilai terlalu terburu-buru bertunangan dengan Shada.

Tak bisa seperti ini, ia harus segera bertindak untuk mengawasi Shada. Ia ingin tahu sejauh mana ia telah mempermainkan hubungan ini. Dengan lincah ia mengambil ponselnya. Ia mengetikkan sebuah nama yang akan ia hubungi.

"Halo, aku butuh kau."

♡♡♡

Langit semakin petang. Shada tak sabar untuk menunggu gelapnya malam. Tidak, lebih tepatnya ia tak sabar menunggu sosok itu kembali. Ia lalu segera turun dari bednya, ia menyusuri dinginnya lantai kamar dan sengaja membuka pintu yang berhubungan langsung dengan balkon minimalisnya kembali.

Setelah itu, ia menyibukkan dirinya terpaku pada layar monitor laptopnya. Angin berembus memeluk kulit Shada yang meremang. Berhasil meliukkan korden di kamarnya dengan kencang.

"Shada.. "

Suara berat, dalam dan maskulin ini. Demian. Shada terkesiap lalu menoleh pada sumber suara.

"Kau sedang menungguku?" suara lembut Demian kembali menghanyutkan Shada. Ia tengah berdiri di bibir pintu.

Shada tercekat dengan suaranya sendiri, tenggorokannya kering seketika. Demian semakin melangkah tegas menghampirinya yang diam terpaku di atas bednya.

Sedangkan Max dengan lincah memutar kemudi mobilnya. Petang ini ia berencana untuk pergi ke rumah Shada. Sudah lama ia tak melihat ke dalam rumah Shada. Dan tentu saja, ia akan mencari bukti untuk menguatkan statementnya. Kini tinggal beberapa meter lagi untuk sampai di rumah kekasihnya itu.

Demian semakin mendekat, sekarang jarak wajah mereka hanya 15 cm saja. Bahkan, Shada bisa merasakan sapuan napas hangat Demian. Ia semakin terpesona melihatnya dari jarak yang sedekat ini.

Demian lalu menempelkan bibirnya pada bibir Shada, menatap jauh ke dalam manik mata Shada, ingin melihat bagaimana reaksinya. Namun, Shada bergeming, karena ia memang menginginkan itu.

Demian mengulum bibir tipis Shada, menikmati setiap lumatannya. Sedangkan Shada memejamkan kedua mata, merasakan bagaimana candunya bersatu dengan bibir sosok tidak nyata ini. Ia lalu membalasnya sampai tak dengar ada suara deruman mobil di bawah kediamannya.

Ponsel Shada berdering keras. Demian merasa terganggu, dengan cepat diraihnya ponsel yang kebetulan berada di dekatnya. Ia mengernyit melihat nama Max di layarnya. Dengan kesal menerima panggilan itu.

"Halo, Sayang. Aku sekarang sudah ada di depan rumahmu."

- Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status