Share

5. Hasrat yang Menyatu

Shada mendelik melihat ponselnya sudah berada di tangan Demian. Meskipun tak membacanya dengan cermat, tapi sekilas ia sudah mampu menangkap siapa yang telah meneleponnya itu.

"Halo, Sayang. Aku sekarang sudah ada di depan rumahmu."

Shada terpegun, lalu dengan cepat meraih ponselnya kembali, sebelum Demian menjawab teleponnya.

"Ha-halo, Max." jawab Shada dengan suara bergetar. Tidak bisa seperti ini, ia harus segera menyembunyikan kegugupan yang tengah ia rasakan. Ia pasti bisa.

"Sayang, kau mendengarku? Aku sudah berada di depan rumahmu. Bolehkah aku langsung masuk? Atau kau yang akan membukakan pintu untukku?" desak Max semakin membuat Shada buncah.

Bagaimana ini? Pikirnya cepat. Sedangkan di dalam sini, di kamarnya, masih ada seorang pria yang tidak dikenalnya. Meskipun bukan manusia, pasti Max yang adalah pria normal, marah besar kepada Shada. Yang lebih beratnya lagi, hal ini tidak boleh sampai menggagalkan rencana pernikahan mereka. Ia lalu menatap Demian yang sudah merah padam.

"Tunggu sebentar, Max. Aku akan keluar," balas cepat Shada bingung apa yang akan ia lakukan dulu. Apakah ia harus mengusir Demian? Atau hanya menyembunyikannya sementara? Yang jelas kedua pilihan tersebut tetap membuat amarah Demian meledak. Bahkan, Shada belum tahu siapa sebenarnya sosok yang di hadapinya sekarang ini. Jangan-jangan ia dan Max langsung dibunuh oleh makhluk ini. Ia sangat khawatir.

"Kenapa? Kau sedang apa Shada malam-malam begini? Jangan lama-lama, di luar dingin." Max terkekeh di seberang teleponnya. Max sempat melirik ke arah balkon kamar Shada yang berada di samping rumahnya, terlihat jelas bahwa pintunya malam ini sedang dibuka.

Shada bingung alasan apalagi yang akan dilontarkan pada Max, agar ia mempercayainya. Ia kesal dengan Max, yang ia pikir sengaja mengulur waktunya. Padahal Shada ingin segera menutup teleponnya, takut jika nanti Demian tak sengaja bersuara.

"Aku sedang akan berpakaian, Max. Aku baru saja selesai mandi," dustanya, ingin segera mengakhiri teleponnya.

Max kembali terkekeh dibuatnya, "Justru dengan senang hati aku bisa masuk langsung ke rumah, Sayang," goda Max memunculkan semburat merah di pipi Shada.

"Ti-tidak, tunggu 5 menit. Ok? Aku akan mempercepatnya. Bye, Max." Shada lalu segera menutup teleponnya.

Ia kemudian menatap Demian. Dilihatnya sekarang Demian melihat ke arahnya juga. Shada tak sengaja melihat kilatan amarah di mata hitam tajamnya. Ia lalu segera mengalihkan pandangannya, tak sanggup bertatapan mata dengan milik Demian lebih dalam.

"Demian, maafkan aku, bisakah kau pergi dari sini?" pinta Shada, sekarang ia sangat ketakutan. Ia belum siap mati ditikam oleh pria di depannya ini.

"Kau mengusirku?" suara berat Demian mengusik Shada.

Shada bingung harus mengatakan apa. Sebisa mungkin, ia harus membereskan ini kurang dari 5 menit, karena Max telah menunggunya.

"Tidak. Bukan begitu, Demian. Kau tahu kan kalau kau tetap di sini-"

"Menurutmu aku semudah itu?" Demian memotong cepat uraian Shada dengan menyeringai.

Kali ini Shada menatap wajah Demian lagi, menjelajahi guratan rasa kecewa di paras Demian. Shada merasa bersalah, namun ini sangat genting.

"Please, nanti malam kau bisa datang lagi. Ini sangat mendesak." Shada memohon, menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan Demian. Ia sangat takut dibunuh tiba-tiba. Jadi, bersujud di kakinya pun akan ia tempuh demi keamanan nyawanya.

"Lalu, kau pikir aku mau?" Demian terkekeh, ia tersenyum miring kembali.

Melihat Demian yang seperti ini membuatnya bergidik ngeri. Ia terlihat tampan namun mengerikan. Sayang sekali, sekarang pun bukan waktu yang tepat untuk menanyai siapa sebenarnya Demian itu.

"Baiklah, aku pergi. Oh iya, pacarmu atau temanmu itu, atau apalah. Iya datang kesini hanya untuk memeriksamu," decit Demian dengan tatapan yang kembali menghunjam. Ia lalu berjalan sangat cepat, lebih dari kata cepat, seperti kekuatan super. Ia sampai di bibir pintu, lalu melompat lenyap bersama gelapnya malam.

Shada mengerjapkan matanya. Iya tercengang dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata, Demian sama sekali tak berniat membunuhnya. Meskipun ia sangat ketakutan. Setelahnya, ia segera meraih outer rajut untuk menghangatkan tubuhnya, karena saat ini ia hanya memakai kaos ketat dan celana pendek.

Ia berlari menuruni beberapa anak tangga, berderap ke depan dan membuka pintu bagi Max.

"Hai, Max," sapa Shada begitu melihat punggung kekar Max.

Max menoleh lalu tersenyum menatap Shada. Ia mengenakan kaos polo navy, yang cocok dan menempel pada tubuh sixpacknya. Mata birunya menatap Shada.

"Hai, Sayang. Maaf, aku kesini karena sangat merindukanmu," ujar Max lalu meraih pinggang langsing Shada, memeluknya.

Shada membalas pelukan Max yang pria lingkarkan itu. Ia tersenyum sambil menepuk pelan punggung Max.

"I miss you too, Babe," Shada sadar, betapa ia merindukan sosok Max selama ini. Meskipun mereka setiap hari bertemu, nyatanya Max selalu disibukkan oleh pekerjaannya. Sampai-sampai tak ada waktu khusus untuk Shada seperti ini. Shada sontak mengingat kata Demian tadi. Max ke sini untuk memeriksanya? Apa maksudnya itu? Muncul kerutan halus di dahinya, ia lalu melepas pelukannya.

"Max, kita bisa melanjutkan di dalam saja. Di luar udaranya dingin," Shada bergidik oleh angin yang menyapu lembut dirinya, ia memeluk dirinya sendiri agar dinginnya malam tak sampai masuk menembus rajutan outernya.

Shada dan Max akhirnya masuk ke dalam ruang tamu yang membuat hangat kembali tubuh mereka. Max lalu mendudukkan dirinya di sofa, matanya dengan lamat menjelajahi tiap sudut ruangan Shada. Tetap seperti dulu, kesepian selalu menaungi tempat ini, tempat tinggal Shada. Batinnya.

Max tersentak dan sadar, seharusnya ia memiliki waktu lebih untuk Shada. Ia tak mau wanitanya itu terlalu bergaul dengan sepi. Ia merasa sangat bersalah.

"Kau mau minum apa, Max?" tawar Shada, melepaskan outernya, lalu berdiri.

Ia pun menuju ke dapur hendak melewati Max. Namun ketika berjalan dan tidak hati-hati, kaki Shada menyangkut pada salah satu sudut kaki meja.

Shada terhuyun ke depan. Sedetik kemudian tangan tangkas Max menarik Shada ke pelukannya. Kejadian itu begitu cepat, hingga memacu detak jantung keduanya.

Kini posisi Shada berada di atas Max, napasnya memburu seirama degup di dalam dadanya. Begitu juga Max, ia terlihat sedang berusaha mengatur napasnya.

"Temani saja, aku di sini. Jangan kemana-mana," pinta Max menatap wajah kekasihnya itu.

Mata mereka saling berpendar satu dengan yang lain. Tubuh Shada bertumpu pada tubuh Max, ia menggelenyar aneh. Max mendekap lembut wajah Shada dan mencium bibir merah mudanya. Mereka saling berbalas dalam satu gairah yang sama.

Ciuman mereka semakin dalam, napas keduanya terlihat bertambah memburu. Kedua tangan Max lalu dengan lembut menelusuri tubuh Shada.

Ia menggerayangi mulai dari bokong Shada, lalu dengan pasti semakin membelai ke atas. Tangannya masuk ke dalam kaos ketat Shada, mengelus perlahan punggung polosnya.

Tak berhenti di situ, tangannya kemudian dengan aktif berusaha menyentuh kedua dada Shada. Tiba-tiba Max ingin lebih. Maka, ia segera menggendong Shada menuju kamarnya.

Hasrat dan gairah mereka menyatu hingga tak sadar sepasang mata tengah mengawasi mereka, mengepalkan tangannya kuat di sisi tubuhnya.

- Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status