Share

7. Bukan Manusia

Kedua mata Ruth mengerjap tak percaya setelah mendengar apa yang baru saja Shada katakan. Ia tergagap dan terlihat kelimpungan.

"Apa maksudmu, Shada?" tanya Ruth meminta penjelasan kepada Shada. Kedua mata bronze terang Ruth semakin lama terlihat semakin gelap.

"Maksudku, aku sadar bahwa selama ini aku belum pernah mendengar tentang keluarga maupun kisah cintamu, Ruth," runtut Shada serius. Ia mengamati bagaimana reaksi sahabatnya itu. Juga kedua matanya.

Sadar tengah diamati oleh Shada, Ruth segera menunduk membenamkan kedua wajahnya. Ia terlihat sedang mengendalikan dirinya saat ini. Beberapa detik kemudian, ia kembali menghadap Shada.

"Tentu, aku akan menceritakan kepadamu, Shada. Maafkan aku," ungkap Ruth seraya meraih kedua tangan Shada, dan menggenggamnya erat ke dalam jemarinya.

Shada hanya mematung melihat sikap Ruth. Ia tetap menatap jauh ke dalam manik mata wanita itu yang kini berubah menjadi terang kembali.

"Sumpah, aku memang berencana untuk menceritakan semuanya kepadamu kalau waktunya tepat. Untuk sekarang hidupku masih terlalu sensitif untuk diceritakan. Please, mengertilah.." Ruth memandang Shada dengan tatapan memohon, berharap kecurigaan wanita tersebut segera berakhir.

"Kau bisa memercayaiku, Ruth. Aku menunggu," sambung Shada melepas kedua genggaman Ruth lalu berderap ke mobil yang telah lama terparkir.

"Ayo, kita pulang. Hari sudah semakin sore," imbuhnya mengajak Ruth. Ruth segera berderap mengekor di belakangnya.

Mobil mereka kembali menyusuri jalanan besar dengan suguhan semburat merah orange dan kuning keemasan yang membentang indah di horison.

Shada sengaja memelankan laju mobil yang ia kendarai untuk menikmati kilauan senja yang selalu memukaunya. Tidak dengan Ruth, yang tidak peduli apapun di luar sana, jika ia sedang berada di dalam mobil, yang dibutuhkannya hanyalah tidur.

Setelah memasuki kota, tujuan utama mereka adalah kembali ke kantornya terlebih dulu. Itu karena mereka harus mengembalikan mobil perusahaan serta melakukan check lock absensi kepulangan mereka. Sedangkan untuk dokumen yang sudah mereka kerjakan bisa disimpannya dahulu di tas, lalu akan mereka laporkan besok pagi.

Situasi perusahaan sekarang sudah hampir lengang, sebagian besar karyawan sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Shada dan Ruth menuntun kakinya menuju ke kantor untuk melakukan absensi kepulangan mereka.

Tadi Shada tak perlu repot membangunkan Ruth, karena temannya itu sudah bangun beberapa menit sebelum mencapai lokasi tujuan.

Setelah selesai absen, tibalah mereka berpisah satu dengan yang lain.

"Bye, Shada.. sampai jumpa besok!" Ruth berjalan menghampiri mobilnya sambil melambaikan tangannya kepada Shada.

"Bye! Hati-hati di jalan, Ruth!" balas Shada sambil mengangkat kedua tangannya melambai tinggi agar terlihat jelas oleh Ruth yang berada cukup jauh dari posisi Shada. Lalu ia masuk ke dalam mobil, membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada Max bahwa ia telah tiba di kantor dan akan pulang secepat mungkin.

Mobil Shada berderum meninggalkan kantor sore itu. Hanya butuh 20 menit saja untuk mencapai tempat tinggalnya. Setelah tiba di rumah, ia segera berhambur untuk membersihkan diri.

Shada mengusap rambutnya yang masih basah ketika ponselnya berbunyi. Sontak ia melihat nama si penelepon sebentar, lantas mengangkatnya.

"Halo, Max," ucapnya setelah berhasil menempelkan ponselnya di telinga sebelah kanan.

"Sayang, kau sudah sampai rumah?" sahut Max di seberang teleponnya. Ia tampak mengkhawatirkan Shada, membuat senyuman Shada merekah seketika.

"Iya, Max. Aku barusan sampai. Kau ada dimana? Di jalan ya?" Shada mengerutkan dahi, sepertinya ia sedang mendengar kesibukan lalu lintas di sana.

"Aku memang sedang di jalan, Sayang. Ada pertemuan penting dengan kolega yang harus kuurus kerja samanya. Doakan berhasil ya," kata Max lalu melanjutkan, "Oh iya, lain kali aku akan mampir ke rumahmu lagi."

Senyum Shada kembali terkembang tatkala mengingat Max semalam yang sampai menginap di rumahnya. Kedua pipinya sontak terasa panas dan merona.

"Tentu, Max. Aku selalu menunggu- Aaaaakh!" Shada kaget karena tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar. Hembusan angin langsung menyeruak bebas memenuhi kamarnya. Demian sudah berdiri anggun di bibir pintu tersebut.

"Suara apa itu?! Sayang, kau mendengarku?"

"Eh, kucing! Iya ada kucing. Teleponnya aku tutup dulu ya, Max. Aku ingin memastikan pintu kacaku. Bye," gumam Shada tergagap seraya menutup teleponnya dengan cepat.

"Shada.." suara berat Demian kembali mengalun lembut di pendengaran Shada.

"Aku sudah menunggumu. Masuklah," pinta Shada kepada Demian. Ia menatap Demian. Tampak Demian mengenakan kaos coklat yang melekat pas pada tubuh berototnya. Ia juga memakai celana jeans panjang, terlihat sangat kasual dan maskulin di mata Shada.

Shada sempat melihat Demian menyeringai singkat, lalu dengan gerakan cepat mendekati Shada dan duduk di sampingnya. Bulu kuduk Shada kembali meremang, namun wajah dan tampilan Demian yang sangat tampan bisa mengalahkan ketakutannya.

Ia mengamati wajah Demian. Ternyata semakin dekat, parasnya elok dan bersinar. Benar-benar ketampanan yang tidak nyata. Ia kembali terpesona. Ia juga melihat kedua matanya yang terang.

"Siapa sebenarnya kau?" tembak Shada langsung, namun seketika heran karena Demian hanya tertawa.

"Aku sudah menduganya. Kau tidak bisa ya basa-basi lebih dulu?" kekeh Demian memperhatikan Shada dengan kedua matanya yang tajam dan begitu kelam.

"Aku tidak bisa. Toh, kau juga bukan manusia. Apa tebakanku salah?" ungkap Shada berusaha membidik Demian. Ia was-was dan tetap mengawasinya.

Demian semakin tergelak, lalu dengan lembut membelai wajah Shada dengan sebelah tangannya. Shada tercekat, kemudian menepisnya.

"Uh, kau galak sekali, Shada. Apa yang sedang kau inginkan? Tidur denganku lagi, hmm?" Kali ini seringaian Demian sangat menyebalkan bagi Shada.

"Cukup! Aku hanya ingin kau menceritakan tentang siapa dirimu." Shada berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang. Semua ini demi jawaban atas belasan pertanyaan yang selama ini selalu berputar di kepalanya.

"Tentu, aku akan menceritakannya. Motifmu sangat jelas dari tadi. Lain kali cobalah tidak mengumbar isi pikiranmu itu," sengit Demian sengaja menggoda Shada.

"Kau bisa membaca pikiranku?" Shada tersentak, namun juga merasa kagum. Hal itu semakin menguatkan dugaan Shada bahwa Demian adalah monster.

"Bisa," jawab Demian enteng.

"Lalu.. apa yang sekarang ada di pikiranku?" tanya Shada mengerjapkan kedua matanya cepat.

Demian kembali terkekeh, "Mesum."

Rasanya Demian ingin sekali bermain-main lebih lama lagi dengan wanita yang ada di dekatnya ini.

"Heh, aku serius! Mau kupukul?! Kau memang pantas babak belur di tanganku!" Shada nyaris berteriak. Baginya Demian ini, meskipun tampan sekaligus misterius, sangat menyebalkan. Tapi hal tersebut membuat penilaian Demian sebagai monster berkurang.

"Lalu, mau kucium?" goda Demian lagi. Di detik berikutnya, Shada sudah mendaratkan pukulannya tepat mengenai lengan kekar Demian.

Setelah pukulannya mengenai lengan Demian, Shada tercengang. Ia lalu mencoba menyentuh pelan lengan kekar itu. Shada lalu mencubitnya, sementara Demian hanya tertawa geli melihat sikap Shada.

"Tekstur tubuhmu seperti manusia, bahkan tanganku tidak bisa menembus lenganmu. Siapa kau sebenarnya?" Shada heran. Ia menatap Demian dengan perasaan tak percaya.

Kini rasa takut Shada semakin berkurang. Salah satu bukti yang menguatkan Shada adalah dirinya masih hidup dan bisa bernapas sampai sekarang. Pria tersebut tak melukainya sama sekali. Hal itu membuktikan setidaknya Demian bukanlah monster pembunuh.

Shada memandang waspada ke arah Demian yang berada tepat di sampingnya. Begitu juga Demian yang hanya diam dan menatap lekat wanita itu. Ia lalu menjawab pertanyaan Shada dengan penuh penekanan.

"Vampir.. "

- Bersambung..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status