"Shada! Ya ampun!" pekik Ruth dari kejauhan.Ruth segera berlari menghampiri Shada. Ia lekas membantu Shada berdiri, kemudian membawanya ke toilet. Sebelum beranjak, mata tajam Ruth menghunjam ke arah Jennifer. Jennifer bungkam. Setelah mata Ruth berpaling, ia menyunggingkan senyum tipisnya.Rasakan itu, Shada! Itu baru pemulaan. Batinnya penuh dengan kemenangan.Ruth berjalan cepat membimbing Shada ke toilet. Shada hanya diam dan wajahnya pucat pasi. Ia trauma melihat kulitnya meruam merah serta rasa perih yang berdenyut membakar sebagian besar tangannya.Ruth segera menyalakan kran air di wastafel. Dengan cekatan, ia meraih pelan kedua tangan Shada lalu memasukkan ke dalam aliran air dingin wastafel tersebut. Ia cukup gugup."Sabar ya. Setelah ini aku berjanji, kau akan baik-baik saja," Ruth berusaha menenangkan Shada. Tangannya dengan lembut mengusap bahu wanita itu."Terima kasih, Ruth. Untung ada kau. Aku tidak bisa membayangkan kalau sendirian tadi. Aku malu." Shada meringis. Ia
"Hmm? Kau mau bertanya apa?" Kini kerutan di dahi Shada semakin jelas.Demian bangkit dari posisi rebahnya. Ia menatap Shada dengan ekspresi serius. Tapi Shada tak bisa menebak apa yang akan ditanyakan pria tersebut."Siapa temanmu yang menginap di sini semalam?" Kedua mata indah Demian beralih untuk menjelajahi isi kamar Shada. Sontak Shada mengikuti arah pandang Demian sambil berkacak pinggang."Ruth. Kenapa?" Shada berpaling lagi kepada Demian. Ia tampak bingung. Beberapa kali Shada terlihat mengerjapkan matanya cepat.Tiba-tiba Demian menghela napasnya berat. Sudah ia duga. Demian hanya tahu bahwa teman yang paling berbeda di kehidupan Shada adalah wanita itu.Demian lalu menganggukkan kepalanya sembari menggigit bibir bawahnya rapat. Tampak khawatir. Apa tujuannya Ruth berada di sini? Apakah hanya ketidaksengajaan yang mempertemukan mereka?Shada semakin dibuat heran oleh sikap pria yang ada di depannya sekarang. "Kenapa? Apa ada masalah?"Kedua mata Shada mengejar wajah Demian y
Pria itu menarik rambutnya frustasi. Kedua kakinya sudah berjalan ke sana ke mari, namun tetap saja tidak menemukan ketenangan. Sementara degup jantungnya berdetak cepat. Ia juga sempat memijat pelipisnya, pening dengan apa yang baru saja ia lihat.Max menatap layar monitor yang sudah terbelah sembari mengingat apa yang tadi sudah ditangkap oleh kedua indera penglihatannya. Max melihat seorang pria yang ia yakini Demian masuk ke kamar Shada lewat balkon minimalis di sana.Setelah itu, tak berapa lama kemudian, Shada terlihat mendatangi Demian. Meskipun Demian tidak terlalu kentara, Max bisa menilai bahwa mereka sedang berbincang, hingga akhirnya Demian bangkit.Max bahkan sudah tidak kuat menatap monitor saat Demian menarik tangan Shada mendekat ke tubuh pria tersebut. Setelahnya, Demian menggendong Shada dengan cepat.Bahkan kecepatan Demian tak terlalu bisa ditangkap oleh rekaman CCTV yang menyala. Max geram lalu segera melempar sebuah botol wine ke monitor sehingga layar itu langsu
"Apa maksudmu, Shada?" Ruth tidak percaya dengan indera pendengarannya sendiri. Apalagi ketika wanita di depannya menuduh Ruth adalah vampir. Ia memandangi Shada dengan gugup, mencari-cari pembenaran di pikirannya."Oh, ayolah. Kau pasti tahu maksudku. Apa kau benar-benar vampir?" ulang Shada dengan setengah berbisik. Shada menyelidiki secara penuh raut muka Ruth.Ruth menggelengkan kepalanya tegas. "Dari mana kau tahu tentang vampir? Aku bukan vampir," sangkal Ruth cepat. Demian pasti memberitahunya. Batin Ruth langsung menebak."Aku bertemu salah satunya. Jangan bohong padaku. Aku tidak suka ketidakjujuran." Kedua mata Shada tajam. Menunjukkan betapa serius dirinya.Ruth menghela napas. Ia memejamkan kedua matanya rapat, sampai-sampai di dahi pucatnya terlihat garis kerutan yang amat jelas."Yah, okay. Itu benar, kau tidak salah," akunya kemudian seraya mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Ruth lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Shada sungguh-sungguh."Rahas
Max semakin tidak bisa menahan semua rasa sakit yang merayap hingga ke saraf-saraf tubuhnya. Ia mulai menggeliat aneh. Max sempat melirik ke arah Richard yang mulai mabuk dan tak sadarkan diri. Saat ini, hanya Max yang bisa menolong dirinya sendiri.Max memutuskan untuk segera keluar ruangan ketika rasa gelisah mulai mencekik dan mendominasi tubuhnya. Ia berlari dengan keringat yang mulai bercucuran membasahi dahi putihnya. Napasnya tercekat, tapi melegakan bisa lekas menemukan sebuah papan bertuliskan toilet di sana. Meskipun tidak dengan kesadaran penuh.Namun saat Max akan memasuki toilet tersebut, ia justru menabrak seorang wanita."So-sorry," ujarnya berusaha memegang kendali tubuhnya. Kedua tangannya terangkat di depan dada tanda meminta maaf.Max tak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas. Ia hendak melewatinya saja, tetapi tangan wanita tersebut berhasil mencegahnya."Pak, jangan masuk ke sana. Itu toilet wanita," bisik sosok perempuan yang kini mendekatinya, membuat gele
"Kau yakin akan menemuinya sekarang?" tanya Shada ragu. Ia juga agak kesal jika Demian meninggalkan tehnya begitu saja tanpa dihabiskan. Itu berarti Demian tidak menghargainya.Berkebalikan dari Shada, Demian justru semakin yakin. Mudah sekali melacak keberadaan Ruth di kota ini. Tetapi masalahnya, wanita itu juga bisa menghindarinya kapanpun tanpa kesulitan yang berarti."Aku yakin sekali," ucap Demian tegas. Mata kelamnya lurus menatap ke depan.Kemudian Demian menoleh ke arah Shada. "Kau mau ikut? Katamu ingin menguping pembicaraan kami," ledek Demian langsung disusul oleh tekukan wajah Shada."Tidak usah, tidak jadi. Aku sedang tidak mood." Shada membuang muka dan melipat tangan di depan dada. Demian yang mendengar dengusan halus dari sistem pernapasan wanita di sampingnya tersebut kini tertawa.Demian mengubah posisi tubuhnya menghadap Shada agar bisa memandangnya lebih teliti. Semakin dilihat, sikap Shada semakin lucu. Demian menyeringai, ingin menggodanya lebih. Ia lantas mengu
Napas Ruth tersendat di tenggorokannya. Dadanya mulai sesak. Kekuatan Demian berkumpul di tangan yang sedang mencekik lehernya sangat menyiksa bagi Ruth. Beberapa kali Ruth melenguh kesakitan."Le-lepaskan aku gila! Kau i-ngin membunuhku, hah?!" pekiknya di tengah napasnya yang nyaris terhenti.Demian menyeringai puas lalu segera melepaskan cengkraman tangannya. Ruth terlihat terbatuk-batuk, wajahnya merah seperti tomat."Lama tidak bertemu, Ruth. Apa kabar? Apa kau bahagia di kota barumu ini?" Demian mengulas senyumnya. Kedua alis tebalnya ia naik-turunkan, seperti sengaja mempermainkan Ruth."Iya, lama tidak bertemu, tapi kau tambah gila!" protes Ruth yang masih berupaya mengembalikan kondisi tubuhnya yang masih sakit karena dicekik Demian."Hahaha.." Demian tertawa membuat Ruth semakin kesal."Bagaimana kau menemukanku?" sungut Ruth. Kedua mata hitamnya memelototi Demian. Rasanya ingin sekali wanita tersebut menghujani Demian dengan tatapan geram agar Demian merasa bersalah. Tapi bu
Max menatap dengan teliti layar monitor yang baru saja diantar oleh orang suruhannya ke dalam ruangan di kantornya. Sesekali ia menonton seraya mengusap rahangnya dengan gelisah.Tangannya lalu terkepal erat saat melihat Shada dan Demian pagi ini. Mereka terlihat begitu dekat saat berbincang di depan balkon minimalis depan kamar Shada.Max memijat pelipisnya dan memejamkan kedua mata bersamaan dengan hembusan napas beratnya. Setelah memberanikan diri membuka mata untuk memandang layar monitor tangkapan CCTV lagi, dahinya mengerut dengan serius."Kau sudah tahu asal-usul pria itu?" lirih Max sambil melirik Tonny, orang suruhannya yang duduk bersama Max."Sampai sekarang kami masih mencari tahu, Tuan. Tapi pria bernama Demian tidak terdaftar dalam data kependudukan wilayah Toronto."Max langsung berpaling, menatap penuh perhatian lawan bicaranya. Mata birunya mengerjap cepat. "Lalu?""Menurut informasi yang kami temukan, Demian dan keluarganya bertempat tinggal di daerah barat daya, jau