Max menatap dengan teliti layar monitor yang baru saja diantar oleh orang suruhannya ke dalam ruangan di kantornya. Sesekali ia menonton seraya mengusap rahangnya dengan gelisah.Tangannya lalu terkepal erat saat melihat Shada dan Demian pagi ini. Mereka terlihat begitu dekat saat berbincang di depan balkon minimalis depan kamar Shada.Max memijat pelipisnya dan memejamkan kedua mata bersamaan dengan hembusan napas beratnya. Setelah memberanikan diri membuka mata untuk memandang layar monitor tangkapan CCTV lagi, dahinya mengerut dengan serius."Kau sudah tahu asal-usul pria itu?" lirih Max sambil melirik Tonny, orang suruhannya yang duduk bersama Max."Sampai sekarang kami masih mencari tahu, Tuan. Tapi pria bernama Demian tidak terdaftar dalam data kependudukan wilayah Toronto."Max langsung berpaling, menatap penuh perhatian lawan bicaranya. Mata birunya mengerjap cepat. "Lalu?""Menurut informasi yang kami temukan, Demian dan keluarganya bertempat tinggal di daerah barat daya, jau
Baik Max, Robert dan Morris langsung saling melempar pandang satu sama lain. Mereka bingung terhadap situasi yang tengah mereka hadapi ini.Morris memandang Shada dengan penuh rasa iba. Shada mengunyah makanannya kaku sembari menahan emosi. Wajahnya memerah. Begitu melihat George dan Malta di sini, nafsu makannya raib seketika.Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menyangka bahwa George dan Malta akan hadir juga di pertemuan keluarga hari ini. Mereka cukup terkejut karena George dan Malta datang bersama. Atau lebih tepatnya tidak sengaja tiba di sini di waktu yang sama, tidak ada yang tahu betul hal itu.Beberapa orang tersebut makan dengan canggung, sesekali bunyi denting sendok dan piring mengisi kesunyian di tengah mereka. Tidak ingin hening lebih lama, Robert berdeham."George, maksudku kalian, aku tidak menyangka kalian akan hadir hari ini. Hehehe.." ungkap Robert mengawali pembicaraan.George dan Malta tersenyum kaku tanpa melihat satu sama lain meskipun posisi duduk mereka be
"Stop, stop! Apa maksudmu? Kau di Sierra Madre? Kau siapa sebenarnya?" Shada tak sabar.Kepala Shada berdenyut. Ia lantas memukulinya dengan frustasi. Demian langsung menghentikan gerakan tangan wanita cantik tersebut."Sudah, Shada. Tenanglah! Kita bisa bicara pelan-pelan," sahut lembut Demian.Shada mengamati paras Demian. Kedua mata cokelat miliknya menjelajahi pria itu dari ujung kepala sampai kaki, berusaha mengingat beberapa orang yang ada di memori masa kecilnya dulu."Jelaskan padaku kalau begitu," pinta Shada dengan pasrah. Pasalnya, ia belum menemukan seseorang pun yang mirip dengan Demian yang sekarang ada di hadapannya.Sementara Demian terdiam. Ia terlihat menimbang-nimbang sembari melemparkan tatapan skeptis kepada Shada."Apa yang kau ingat dulu di Sierra Madre?" tanya Demian akhirnya. Ekspresinya terlihat putus asa.Shada mengerutkan dahinya. Ia menggelengkan kepala tak yakin, tapi sambil menyebutkan satu per satu ingatan yang menurutnya berakhir tak begitu menyenangka
Di meja kerjanya, Shada merenung. Bahkan lembar pekerjaannya belum selesai ia isi. Tatapannya lurus jauh ke depan seakan mampu menembus tebalnya monitor di hadapannya. Shada menopang dagu dengan tangan sebelah kanan.Ruth yang berada di samping Shada sesekali mengamati wanita tersebut. Di menit berikutnya, dering telepon di depan mereka langsung membuyarkan lamunan Shada.Sontak Shada langsung mengangkat telepon itu. Ruth hanya menggelengkan kepala seraya mengembuskan napas berat melihat Shada tak seperti biasanya."Halo? Oh iya.. eh? Ini kurang sedikit kok. Sebentar lagi aku kirim ke emailmu," tandas Shada lalu menutup teleponnya. Shada meraup udara sebanyak-banyaknya lantas segera melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai.Ruth mencondongkan tubuhnya ke samping ke arah tempat duduk Shada. "Telepon dari siapa?" tanyanya penasaran.Shada menjawab dengan mata yang masih terfokus pada layar monitor di depannya. Ia menghela napas sambil memutar bola mata malas. "Huft... biasa, Richard.
"Apa yang kalian lakukan di sana?!" tanya Max disertai kobaran api amarah.Max sangat kesal karena dua karyawannya telah berbuat mesum di perusahaan yang tengah ia perjuangkan demi kedua orang tuanya.Tadi Max berada di lantai 20 karena baru saja menemui Robert, ayahnya. Mereka membicarakan tentang Ell Food yang penjualannya semakin merajalela. Sampai Robert dan Max berdiskusi hendak mencontoh taktik perusahaan yang telah lama menjadi rivalnya dari dulu.Robert bahkan ingin Max melakukan kerja sama dengan pemiliknya, namun Max segera menolak demi harga diri. Selain itu, kabarnya pemilik asli Ell Food masih enggan untuk menunjukkan dirinya ke publik.Max berderap keluar dari ruangan ayahnya hendak kembali menuju ruangannya sendiri ketika ia mendengar keributan di ruang rapat di sisi kanannya.Karena pintu kayu ruang rapat di perusahaannya terdapat kaca persegi panjang kecil membujur vertikal, Max mencoba mengintipnya lewat situ. Betapa kaget Max saat dirinya melihat dua orang sedang me
Bel rumah berbunyi bersamaan dengan Shada yang berlari girang menuruni tiap anak tangga. Shada mempercepat langkahnya lalu segera membuka pintu.Begitu Shada bertatap muka dengan sosok pria di depannya, ia kembali terpukau. Paras tampan nyaris sempurna, pakaian rapi menggunakan setelan jas hitam formal. Bahkan tatanan rambut hitam legam yang tampak dipomade ke atas membuat Shada berbinar."Demian, ini beneran kau?" Shada terkejut. Ia kagum dan menikmati setiap detail penampilan Demian yang berbeda dari biasanya.Demian berdeham pelan lantas menunjukkan seringaiannya. "Jangan menatapku terlalu lama. Nanti jatuh cinta."Kini kedua pipi Shada muncul semburat kemerahan seperti cherry. Memandang pria tampan di depannya membuat dirinya lama-lama menjadi tersipu. Rasanya ingin sekali ia menampar pipinya sendiri karena dirinya harus ingat jika sudah memiliki tunangan.Lalu perhatian Shada teralihkan kepada mobil mewah hitam yang terparkir di depan rumahnya. Shada mengerjapkan kedua matanya ta
Ayah? Tadi itu beneran Ayah? Shada bertanya-tanya di dalam hati."Hah.. mana mungkin," lirihnya lagi. Sebenarnya ia tak tahu ayah dan ibunya masih di Toronto atau tidak setelah mengurus resmi perceraian mereka. Demian yang mengemudi dengan sangat cepat lantas membuat penglihatannya menjadi buruk.Pasti Shada salah melihatnya. Beberapa orang juga berdiri di dekat Jennifer hendak menyeberang. Orang tadi itu pasti hanya mirip dengan ayahnya. Batin Shada memutuskan.Di tengah mengemudi kilatnya, Demian sempat menoleh ke arah Shada yang tampak dibebani banyak pikiran. Demian berdeham keras demi memecah suasana lengang yang menggantung sejenak.Shada langsung tergegau kemudian memukul bahu Demian keras. "Huh, bikin kaget saja!" ucapnya sembari mengerucutkan bibirnya.Demian tertawa lebar. "Makanya jangan melamun di dalam mobil. Apalagi satu mobil dengan vampir," ejek Demian.Shada kesal. Ia melipat tangan di depan dada lantas memasang wajah jutek. Tak berapa lama, ia segera mengecek ponseln
Demian terpaku. Ia merasakan aliran hangat darahnya mengalir deras selaras dengan tawa beberapa pria di depannya. Semua tertawa melihat kekalahan Demian yang begitu mudah mereka kerjakan.Beberapa dari mereka juga membangkitkan temannya yang telah rebah. Menyaksikan bersama bagaimana rasa sakit yang hebat menyerang Demian. Demian terlihat begitu tersiksa.Namun, itu tak bertahan lama. Senyuman di bibir mereka pudar tatkala kedua mata Demian semakin menggelap dan tajam menusuk. Sambil memandang murka satu per satu pria yang ada di hadapannya, Demian mencabut sebilah pisau dari perutnya.Semua orang yang ada di sana melebarkan kedua mata dengan mulut menganga. Ada sesuatu yang berbeda juga bahaya yang tengah mereka hadapi malam ini karena Demian sekarang justru menyeringai bangga.Beberapa pria tersebut otomatis memundurkan tubuhnya ke belakang seraya memasang mimik waspada."Siapa yang menyuruh kalian? Cepat jawab!" teriak Demian kepada orang-orang itu.Hening. Mereka semua bungkam ta