Bayangan seorang pria tampan nan gagah berkelebat di lokasi kecelakaan dimana dua mobil saling bertubrukan dengan dahsyat. Sementara, ia juga mendengar suara sirene keras dari mobil polisi juga ambulans yang saling bersahutan memekakkan telinganya.Ia sangat membenci betapa berisiknya suara sirene mobil. Kedua mata perunggu terangnya tertumbuk demi mengamati tingkat kerusakan pada mobil Shada. Ia mendengus, napasnya tercekat. Sangat disayangkan kenapa hal ini harus terjadi kepada Shada. Apalagi semalam ia tak bisa bertemu dengan wanita tersebut.Matanya lantas beralih kepada seorang pria bertopi dengan luka parah disekujur tubuh. Terutama pada kepalanya. Pria itu terpejam dan tangannya terkulai lemah saat petugas kesehatan memindahkannya ke dalam ambulans. Sudah dipastikan bahwa pria tersebut mati di tempat.Demian menghela napas berat. Untung, ia tak terlambat ke mari. Benturan di kepala Shada sudah banyak mengeluarkan darah. Beruntung mobil pria tadi menabrak bagian belakang mobil S
Udara malam yang begitu dingin tergantikan oleh hangatnya cahaya matahari yang menyiram lembut salah satu wilayah administratif di Ontario, Kanada ini.Max mengerjapkan kedua mata lantaran sinar yang menelisik lewat jendela besar di ruangan tersebut. Ia mendongak lalu tampaklah Shada yang tersenyum ke arahnya."Akhirnya.. kau sudah bangun," ujar Shada santai kepada Max. Max membuang napas kasar, lantas menggerutu."Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Aku sangat mengkhawatirkanmu, tahu."Shada semakin tersenyum lebar tatkala melihat Max menekuk wajahnya. Ingin sekali ia mencubit bibir itu. Seperkian detik berikutnya ia sadar, kemudian mengernyitkan dahi."Lo, sudah jam berapa ini sekarang? Kau tidak berangkat kerja?" Shada menatap Max heran. Sementara Max meregangkan tubuhnya seraya menampilkan ekspresi santai."Tenang, hari ini aku akan menjagamu penuh. Jangan protes," sergah Max sebelum Shada sempat menolak dengan keras kepala.Shada mendengus. Ia jadi merasa merepotkan Max ka
"Shada kau kenapa?!" Demian mendongak melihat Shada yang sudah merah padam.Shada terdiam. Ia menggeretakkan giginya. "Kau yang kenapa! Jangan memaksaku melakukan hal tidak aku inginkan, aku sedang tidak nafsu makan buah!" elaknya membuang muka kembali.Demian tertegun. Sepertinya masa depan yang ia lihat beberapa waktu kemaren menjadi kenyataan."Begitu saja kau marah padaku. Apa beneran itu yang membuatmu marah?" Demian mengangkat tangan dan bahunya. Ia tidak ingin ribut di rumah sakit, tetapi situasinya sudah berbeda."Begitu saja?" pekik Shada mendelik setelah menghadap Demian. "Hah! Kau memang tidak pernah merasa bersalah! Kau sempurna!"Shada tertawa dan kesal di waktu yang sama. Tidak menyangka atas respon pria itu. Demian mengusap rambut gelapnya frustasi. Ia menghela napas kasar, berusaha mengendalikan emosinya."Shada, itu tidak masuk akal. Kau tiba-tiba marah padaku seperti ini. Apa yang terjadi?" Demian bingung. Ia mengamati Shada demi mengetahui isi pikirannya. Namun sia-s
"Shada!" teriak seseorang setelah mendorong pintu lantas menatap kondisi Shada terkini.Nampan yang terbalik, mangkok serta beberapa wadah yang terlihat retak karena terbuat dari keramik poles putih murni. Di lantai berceceran potongan buah yang menempel warna merah sampai kekuningan.Terdapat juga air bening yang telah bercampur warna dengan sari buah yang menggenang. Diduga itu adalah air minum yang belum sempat tersentuh Shada sama sekali. Bekas makanan seperti bubur juga ikut menodai ubin rumah sakit kala itu.Tak hanya itu saja, bahkan keadaan brankar Shada pun ikut berantakan. Tak terkecuali paras cantik Shada yang terlihat sembap, semrawut dan kusut."Shada! Ya ampun! Apa yang terjadi padamu?" pekik Ruth. Ia segera berlari menuju Shada setelah menutup pintu.Wajah Shada sedang memerah. Kedua matanya masih menyisakan air mata di pelupuk. Bahkan kini semakin berkaca-kaca ketika melihat Ruth kemari.Tak menjawab apapun dari pertanyaan Ruth, tangis Shada tumpah lagi. Sontak Ruth la
"Apa? Kau mau tinggal di sini?"Ellene bertolak pinggang di tengah posisinya yang masih berdiri menghadap Demian yang tidur di sofa dengan santai. Pria tersebut sedang membaca buku tentang sinergi bisnis yang tebal. Sementara Ellene menatapnya tak percaya.Di sisi sebelah kiri Ellene juga berdiri Mike yang mengunyah giat chicken cone yang berada di tangannya. Terlihat saus yang menempel di sudut bibir Mike.Demian mendengus. Ia menutup bukunya kemudian menengok ke atas, ke arah Ellene tanpa mengubah posisi rebahnya."Kau keberatan, Mom?" tanyanya dengan tatapan dingin.Ellene memutar mata lalu mulai menurunkan pelan kedua tangannya. Setelah itu mendadak ekspresinya berubah menjadi kegirangan. Ellene mendekat lantas menekan kedua pipi Demian menggunakan tangannya."Oh.. tentu tidak, Anakku. Kau bisa sepuasnya tidur di sini. Ini rumahmu!" pekik Ellene dengan tawa yang bersamaan. Wajahnya gemas saat mencubiti Demian.Demian mengerang, sedikit menggelinjang karena memberontak kemudian seg
Ini masih dini hari, tetapi sudah ada ketukan sepasang sepatu berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit yang terang temaram. Beberapa tanda kehidupan masih terdeteksi. Suara samar dari ruang lain juga masih terdengar. Sedang ruangan lain hening, menunjukkan penghuni di dalamnya sudah terlelap berselancar di alam mimpi.Suara sepasang sepatu itu berhenti tepat di depan pintu ruang Shada. Terdiam sejenak karena memastikan penghuni kamar sudah tertidur. Setelah yakin, tangan tersebut meraih knop pintu lantas memutarnya perlahan.Ceklek!Pintu berhasil terbuka. Kedua mata cokelat lantas mengamati Shada yang terlihat tidur dan sama sekali tak bergerak. Ia mengulum senyumnya. Kedua kakinya hendak melangkah ketika seorang wanita paruh baya memergokinya."Maaf, Anda siapa?" Kerutan di dahi wanita tua tersebut semakin jelas.Jennifer gelagapan kemudian segera menoleh ke arah sumber suara. Ia tampak cukup terkejut dengan kehadiran si wanita paruh baya yang menguarkan wibawa seorang ibu. Bukan
"Apa Ibu tahu kalau Max yang membayarkan tagihan rumah sakitnya?" tanya Shada kepada Louis.Louis tampak kebingungan juga. Lantas menggeleng cepat. "Aduh, saya tidak tahu, Nona. Tuan Max tidak bilang apa-apa ke saya."Shada menghela napas. Tentu saja Louis tidak tahu tentang urusan bayar-membayar. Louis hanya ditugaskan Max untuk menjaga serta menemaninya.Shada kemudian memilih untuk tak ambil pusing lantas mengambil beberapa dokumen itu. "Thanks," ucap Shada sembari menggiring kakinya pergi.Shada dan Louis duduk di kursi tunggu bagian depan. Shada sibuk mengotak-atik ponselnya demi memesan taksi langganannya."Biar saya temani sampai di rumah ya, Nona," papar Louis di tengah waktu mereka menunggu.Shada menggeleng pelan. "Tidak perlu, Louis. Tugasmu sudah selesai. Sampaikan ucapan terima kasihku saja kepada Max. Ini sudah aku pesankan dua taksi sekaligus." Shada melemparkan senyumnya lebar. Sementara Louis mendesah dengan berat hati.Tak berapa lama dua taksi yang dipesan datang sec
Ruth beberapa kali menggoyangkan tubuh Shada dengan keras."Shada! Shada! Bangun!" Wajah Ruth memucat, sangat panik.Shada akhirnya mengerjap cepat lalu melihat Ruth dengan wajah khawatir di sampingnya. Shada mengernyit kemudian meregangkan tubuhnya."Kau kenapa?" tanya Shada tak berdosa. Ruth mengembuskan napas lega, sekaligus kesal."Kenapa kau bilang?! Seharusnya aku yang tanya, kenapa tidurmu seperti babi?" ejek Ruth dengan nada ketus.Shada mendengus. "Harusnya kau kasihan padaku. Ranjang rumah sakit sama sekali tidak nyaman," keluh Shada. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu, lantas berjingkat dari posisinya."Eh, Ruth! Aku lupa. Mobilku!" Kepanikan tergurat jelas di wajahnya. Ia menepuk dahinya yang masih diperban.Ruth bersedekap sambil menggelengkan kepala. "Cih, ternyata setelah sakit kau semakin parah," ujarnya santai.Shada hendak berdiri dan melangkahkan kaki, membuat Ruth segera mencegahnya. "Kau mau kemana? Mobilmu sudah diparkir di bawah sana. Pihak bengkel mengantarnya sebe