"Shada!" teriak seseorang setelah mendorong pintu lantas menatap kondisi Shada terkini.Nampan yang terbalik, mangkok serta beberapa wadah yang terlihat retak karena terbuat dari keramik poles putih murni. Di lantai berceceran potongan buah yang menempel warna merah sampai kekuningan.Terdapat juga air bening yang telah bercampur warna dengan sari buah yang menggenang. Diduga itu adalah air minum yang belum sempat tersentuh Shada sama sekali. Bekas makanan seperti bubur juga ikut menodai ubin rumah sakit kala itu.Tak hanya itu saja, bahkan keadaan brankar Shada pun ikut berantakan. Tak terkecuali paras cantik Shada yang terlihat sembap, semrawut dan kusut."Shada! Ya ampun! Apa yang terjadi padamu?" pekik Ruth. Ia segera berlari menuju Shada setelah menutup pintu.Wajah Shada sedang memerah. Kedua matanya masih menyisakan air mata di pelupuk. Bahkan kini semakin berkaca-kaca ketika melihat Ruth kemari.Tak menjawab apapun dari pertanyaan Ruth, tangis Shada tumpah lagi. Sontak Ruth la
"Apa? Kau mau tinggal di sini?"Ellene bertolak pinggang di tengah posisinya yang masih berdiri menghadap Demian yang tidur di sofa dengan santai. Pria tersebut sedang membaca buku tentang sinergi bisnis yang tebal. Sementara Ellene menatapnya tak percaya.Di sisi sebelah kiri Ellene juga berdiri Mike yang mengunyah giat chicken cone yang berada di tangannya. Terlihat saus yang menempel di sudut bibir Mike.Demian mendengus. Ia menutup bukunya kemudian menengok ke atas, ke arah Ellene tanpa mengubah posisi rebahnya."Kau keberatan, Mom?" tanyanya dengan tatapan dingin.Ellene memutar mata lalu mulai menurunkan pelan kedua tangannya. Setelah itu mendadak ekspresinya berubah menjadi kegirangan. Ellene mendekat lantas menekan kedua pipi Demian menggunakan tangannya."Oh.. tentu tidak, Anakku. Kau bisa sepuasnya tidur di sini. Ini rumahmu!" pekik Ellene dengan tawa yang bersamaan. Wajahnya gemas saat mencubiti Demian.Demian mengerang, sedikit menggelinjang karena memberontak kemudian seg
Ini masih dini hari, tetapi sudah ada ketukan sepasang sepatu berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit yang terang temaram. Beberapa tanda kehidupan masih terdeteksi. Suara samar dari ruang lain juga masih terdengar. Sedang ruangan lain hening, menunjukkan penghuni di dalamnya sudah terlelap berselancar di alam mimpi.Suara sepasang sepatu itu berhenti tepat di depan pintu ruang Shada. Terdiam sejenak karena memastikan penghuni kamar sudah tertidur. Setelah yakin, tangan tersebut meraih knop pintu lantas memutarnya perlahan.Ceklek!Pintu berhasil terbuka. Kedua mata cokelat lantas mengamati Shada yang terlihat tidur dan sama sekali tak bergerak. Ia mengulum senyumnya. Kedua kakinya hendak melangkah ketika seorang wanita paruh baya memergokinya."Maaf, Anda siapa?" Kerutan di dahi wanita tua tersebut semakin jelas.Jennifer gelagapan kemudian segera menoleh ke arah sumber suara. Ia tampak cukup terkejut dengan kehadiran si wanita paruh baya yang menguarkan wibawa seorang ibu. Bukan
"Apa Ibu tahu kalau Max yang membayarkan tagihan rumah sakitnya?" tanya Shada kepada Louis.Louis tampak kebingungan juga. Lantas menggeleng cepat. "Aduh, saya tidak tahu, Nona. Tuan Max tidak bilang apa-apa ke saya."Shada menghela napas. Tentu saja Louis tidak tahu tentang urusan bayar-membayar. Louis hanya ditugaskan Max untuk menjaga serta menemaninya.Shada kemudian memilih untuk tak ambil pusing lantas mengambil beberapa dokumen itu. "Thanks," ucap Shada sembari menggiring kakinya pergi.Shada dan Louis duduk di kursi tunggu bagian depan. Shada sibuk mengotak-atik ponselnya demi memesan taksi langganannya."Biar saya temani sampai di rumah ya, Nona," papar Louis di tengah waktu mereka menunggu.Shada menggeleng pelan. "Tidak perlu, Louis. Tugasmu sudah selesai. Sampaikan ucapan terima kasihku saja kepada Max. Ini sudah aku pesankan dua taksi sekaligus." Shada melemparkan senyumnya lebar. Sementara Louis mendesah dengan berat hati.Tak berapa lama dua taksi yang dipesan datang sec
Ruth beberapa kali menggoyangkan tubuh Shada dengan keras."Shada! Shada! Bangun!" Wajah Ruth memucat, sangat panik.Shada akhirnya mengerjap cepat lalu melihat Ruth dengan wajah khawatir di sampingnya. Shada mengernyit kemudian meregangkan tubuhnya."Kau kenapa?" tanya Shada tak berdosa. Ruth mengembuskan napas lega, sekaligus kesal."Kenapa kau bilang?! Seharusnya aku yang tanya, kenapa tidurmu seperti babi?" ejek Ruth dengan nada ketus.Shada mendengus. "Harusnya kau kasihan padaku. Ranjang rumah sakit sama sekali tidak nyaman," keluh Shada. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu, lantas berjingkat dari posisinya."Eh, Ruth! Aku lupa. Mobilku!" Kepanikan tergurat jelas di wajahnya. Ia menepuk dahinya yang masih diperban.Ruth bersedekap sambil menggelengkan kepala. "Cih, ternyata setelah sakit kau semakin parah," ujarnya santai.Shada hendak berdiri dan melangkahkan kaki, membuat Ruth segera mencegahnya. "Kau mau kemana? Mobilmu sudah diparkir di bawah sana. Pihak bengkel mengantarnya sebe
"Okay. Aku akan menginap di rumahmu untuk beberapa hari. Tapi..""Tapi?" Shada mengernyit, menunggu kelanjutan Ruth agar menyelesaikan kalimatnya."Tapi besok pagi, temani aku ke suatu tempat. Aku ingin bertemu teman lama."Shada terpaku. Kenapa Ruth tidak terus terang saja mengatakan dimana dan untuk menemui siapa. Ah, Shada tahu. Ruth pasti terlalu malu mengakuinya di awal.Shada kemudian memasang wajah menggodanya. "Oh.. aku mengerti apa yang kau maksud. Siapa orang spesial itu, huh?"Kedua alis Shada naik-turun cepat secara bersamaan. Ruth menekuk wajahnya kesal."Apa maksudmu?" sosor Ruth curiga.Shada mencondongkan tubuh, mendekat lantas berbisik tepat di telinga Ruth. "Apa ada pria spesial selain Leo?"Shada beringsut ke tempat semula sembari tertawa pelan. Ruth langsung membulatkan matanya lebar-lebar. "Hei, dasar! Kurang aja-"Ruth hendak protes. Namun bertepatan dengan itu, ponsel Shada berbunyi nyaring. Shada memutar tubuhnya, mencari-cari sumber suara yang berasal dari ben
"Shada? Kau mendengarku?" Max menjauhkan tubuhnya ketika melihat Shada terpaku.Tangan Max melambai cepat di depan muka Shada hingga membuat wanita itu terperanjat."Kau kenapa? Tidak apa-apa kan?" Max mengelus puncak rambut Shada.Shada menggeleng cepat. Matanya masih melirik beberapa kali di tempat yang sama. Ingin membuktikan bahwa mungkin ia salah lihat. Shada seperti tahu ada noda merah di sana. Tapi semakin dilihat, semakin tak jelas karena terhalangi oleh bayangan dari kerah. Apalagi kemudian Max menutupnya secara spontan.Max mengangkat lengannya demi melihat jam tangan. "Lebih baik kita segera pergi sekarang. Aku takut kalau kita tidak punya waktu yang cukup."Shada setuju. Ia menganggukkan kepala lantas mengikuti Max menuju mobil. Shada berjalan dengan pikiran yang penuh keraguan. Tetap menerka apa yang sempat ia lihat tadi.Sementara itu, Max menggiring kakinya cepat. Air mukanya terlihat panik. Tangannya lincah membenarkan kancing kemejanya. Sial! Kenapa Jennifer memberi t
"Shada, apa yang terjadi?!" tanya Max khawatir setelah pria itu mendekat."Kau tidak apa-apa?" tambahnya sambil memeriksa keadaan Shada.Shada meringis kesakitan. Barusan kepalanya seperti dihantam sebuah beban. Kini tinggal denyutan yang nyata tengah ia rasakan. Mungkin kalau ia duduk barang lima sampai sepuluh menit, keadaannya bisa pulih kembali. Tapi ia menolak.Shada menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Kita lanjut saja."Max tak mempercayai ini. Ia membuka mulutnya hendak protes ketika salah satu pelayan lebih dulu menyerobotnya."Anda yakin, Nyonya? Kami memiliki ruang istirahat juga jika Anda mau," tawar salah satu pelayan.Shada mengangguk. Ia mengerti, tapi tetap saja akan menolaknya. Shada percaya ia akan baik-baik saja seperti biasa."I'm fine. Ayo, kita lanjut saja." Shada langsung menggiring kakinya, menjadi yang paling depan di antara dua pelayan tersebut.Max bergerak frustasi. Shada terlalu keras kepala. Ia lalu memutuskan untuk duduk, meraih ponsel dari saku celana lantas