Ruth beberapa kali menggoyangkan tubuh Shada dengan keras."Shada! Shada! Bangun!" Wajah Ruth memucat, sangat panik.Shada akhirnya mengerjap cepat lalu melihat Ruth dengan wajah khawatir di sampingnya. Shada mengernyit kemudian meregangkan tubuhnya."Kau kenapa?" tanya Shada tak berdosa. Ruth mengembuskan napas lega, sekaligus kesal."Kenapa kau bilang?! Seharusnya aku yang tanya, kenapa tidurmu seperti babi?" ejek Ruth dengan nada ketus.Shada mendengus. "Harusnya kau kasihan padaku. Ranjang rumah sakit sama sekali tidak nyaman," keluh Shada. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu, lantas berjingkat dari posisinya."Eh, Ruth! Aku lupa. Mobilku!" Kepanikan tergurat jelas di wajahnya. Ia menepuk dahinya yang masih diperban.Ruth bersedekap sambil menggelengkan kepala. "Cih, ternyata setelah sakit kau semakin parah," ujarnya santai.Shada hendak berdiri dan melangkahkan kaki, membuat Ruth segera mencegahnya. "Kau mau kemana? Mobilmu sudah diparkir di bawah sana. Pihak bengkel mengantarnya sebe
"Okay. Aku akan menginap di rumahmu untuk beberapa hari. Tapi..""Tapi?" Shada mengernyit, menunggu kelanjutan Ruth agar menyelesaikan kalimatnya."Tapi besok pagi, temani aku ke suatu tempat. Aku ingin bertemu teman lama."Shada terpaku. Kenapa Ruth tidak terus terang saja mengatakan dimana dan untuk menemui siapa. Ah, Shada tahu. Ruth pasti terlalu malu mengakuinya di awal.Shada kemudian memasang wajah menggodanya. "Oh.. aku mengerti apa yang kau maksud. Siapa orang spesial itu, huh?"Kedua alis Shada naik-turun cepat secara bersamaan. Ruth menekuk wajahnya kesal."Apa maksudmu?" sosor Ruth curiga.Shada mencondongkan tubuh, mendekat lantas berbisik tepat di telinga Ruth. "Apa ada pria spesial selain Leo?"Shada beringsut ke tempat semula sembari tertawa pelan. Ruth langsung membulatkan matanya lebar-lebar. "Hei, dasar! Kurang aja-"Ruth hendak protes. Namun bertepatan dengan itu, ponsel Shada berbunyi nyaring. Shada memutar tubuhnya, mencari-cari sumber suara yang berasal dari ben
"Shada? Kau mendengarku?" Max menjauhkan tubuhnya ketika melihat Shada terpaku.Tangan Max melambai cepat di depan muka Shada hingga membuat wanita itu terperanjat."Kau kenapa? Tidak apa-apa kan?" Max mengelus puncak rambut Shada.Shada menggeleng cepat. Matanya masih melirik beberapa kali di tempat yang sama. Ingin membuktikan bahwa mungkin ia salah lihat. Shada seperti tahu ada noda merah di sana. Tapi semakin dilihat, semakin tak jelas karena terhalangi oleh bayangan dari kerah. Apalagi kemudian Max menutupnya secara spontan.Max mengangkat lengannya demi melihat jam tangan. "Lebih baik kita segera pergi sekarang. Aku takut kalau kita tidak punya waktu yang cukup."Shada setuju. Ia menganggukkan kepala lantas mengikuti Max menuju mobil. Shada berjalan dengan pikiran yang penuh keraguan. Tetap menerka apa yang sempat ia lihat tadi.Sementara itu, Max menggiring kakinya cepat. Air mukanya terlihat panik. Tangannya lincah membenarkan kancing kemejanya. Sial! Kenapa Jennifer memberi t
"Shada, apa yang terjadi?!" tanya Max khawatir setelah pria itu mendekat."Kau tidak apa-apa?" tambahnya sambil memeriksa keadaan Shada.Shada meringis kesakitan. Barusan kepalanya seperti dihantam sebuah beban. Kini tinggal denyutan yang nyata tengah ia rasakan. Mungkin kalau ia duduk barang lima sampai sepuluh menit, keadaannya bisa pulih kembali. Tapi ia menolak.Shada menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Kita lanjut saja."Max tak mempercayai ini. Ia membuka mulutnya hendak protes ketika salah satu pelayan lebih dulu menyerobotnya."Anda yakin, Nyonya? Kami memiliki ruang istirahat juga jika Anda mau," tawar salah satu pelayan.Shada mengangguk. Ia mengerti, tapi tetap saja akan menolaknya. Shada percaya ia akan baik-baik saja seperti biasa."I'm fine. Ayo, kita lanjut saja." Shada langsung menggiring kakinya, menjadi yang paling depan di antara dua pelayan tersebut.Max bergerak frustasi. Shada terlalu keras kepala. Ia lalu memutuskan untuk duduk, meraih ponsel dari saku celana lantas
Di malam yang pekat ini, Demian tengah menyetir mobil saat ponselnya bergetar beberapa kali. Demian hanya melirik sekilas—membaca sebuah nama yang akhir-akhir ini mengirim banyak pesan, namun ia abaikan.Tanpa menyentuh ponselnya sama sekali, Demian memilih untuk tetap fokus pada panjangnya jalan di hadapannya. Sesekali ia menyalip kendaraan yang lebih lambat di depan. Sementara itu, playlistnya sedang memutar lagu berjudul Those Eyes.[I close my eyes and all I see is you..]Lagu tersebut mengalun merdu, membelai indera pendengaran Demian—juga menyentuh hatinya. Mendadak ia merasa sedih dan goyah.Demian mulai frustasi. Dengan menggigit bibir bawah, ia terpaksa menepikan mobilnya. Suara beberapa klakson seakan berlomba untuk meneriaki Demian. Tetapi Demian tidak peduli. Keinginannya lebih kuat kali ini.Demian langsung memutar setirnya dengan tangkas. Mobilnya berbalik haluan, kemudian melaju deras melawan arus di jalan.♡♡♡Satu gerakan tangan lincah menyingkap sebuah gorden warna i
Demian termangu. Melihat Shada duduk di bangku depan, ia lantas segera membuang muka. Sebenarnya Demian tak ingin melakukan itu. Tetapi otaknya selalu bereaksi lebih cepat. Demian sedang bingung harus menyapa wanita tersebut atau berpura-pura tidak mengenalinya saja.Demian tidak berekspektasi bakal bertemu Shada di sini. Pasalnya, Demian hanya ada janji dengan Ruth. Bahkan Ruth sendiri yang bilang bahwa ia tak mengajak teman, apalagi Shada. Ternyata wanita itu menjebaknya."Demian!" Shada berteriak memanggilnya. Ia menoleh lagi, menatap Shada yang menepuk kursi di sampingnya. "Kemarilah!"Begitu juga dengan Shada. Ia sangat terlewat kaget. Wilayah Toronto yang luasnya 630,2 kilometer persegi, kenapa pula ia harus bertemu Demian di sini? Ada banyak tempat yang seharusnya membuat mereka tidak bisa bertemu.Tadi saat pertama kali melihat pria tersebut, ada rasa terkejut juga bahagia dapat bertemu dengan Demian. Lalu, akhirnya Shada memutuskan untuk menyapanya.Demian menurut. Ia berjala
Ruth berhenti. Rasanya waktu berlalu begitu cepat saat itu. Ia mengingat bagaimana dirinya tersiksa dan penuh kepura-puraan. Ruth sangat menyukai kebebasan. Kebebasan adalah jati dirinya."Lama-kelamaan hidupku terasa membosankan. Banyak aturan ketat yang dibuat oleh Darwin demi keamanan rumahnya. Darwin tidak ingin keluarganya diganggu oleh siapapun, termasuk manusia."Ruth menekuk wajah, lantas melanjutkan. "Selain itu, aku juga sadar. Darwin dan Ellene mengambilku sebagai anaknya cuma karena kasihan. Berbeda saat mereka mengadopsi Demian yang waktu itu memang menginginkan anak.""Beberapa tahun kemudian, lahirlah anak kandung Darwin dan Ellene. Namanya Mike. Nah selang lima tahun sejak kelahiran anak itu, aku pergi dari rumah sampai sekarang," tutur Ruth akhirnya. Ia menghela napas."Kau tahu, Shada. Setiap pilihan yang kita ambil akan selalu mengorbankan sesuatu juga." Ruth mendesah halus.Beberapa detik kemudian, baik Demian maupun Ruth sama-sama menerawang—sibuk dengan pikiran d
Max menghunjamkan tatapan seriusnya kepada Tonny. Menilik bagaimana jawaban Tonny juga harus dapat dipertanggungjawabkan.Max lantas fokus terhadap data-data di dokumennya lagi. Ia membacanya ulang, kali ini lebih teliti. Sesekali Max mengusap dagunya.Pria brengsek itu jelas bukan manusia. Tapi.. vampir? Max bergumam di dalam hati.Benar. Mungkin data ini seratus persen valid mengingat pria tersebut berkelakuan seperti monster. Vampir adalah monster. Max masih berpikir dengan logikanya.Setelah itu, ia menyunggingkan senyum tipisnya. Tak pelak lagi, Shada hanya memiliki masa depan dengan dirinya. Nantinya Shada tidak mungkin bersama vampir, bukan? Wajah Max memerah—penuh kegirangan.Sepertinya mulai hari ini Max bisa tidur nyenyak. Pria bernama Demian itu tak akan bisa merecoki hubungannya dengan Shada. Kalau Shada pintar, wanita tersebut akan lebih memilihnya. Kini senyuman Max berubah pongah.Tapi itu pun belum cukup. Kenyataan bahwa dirinya harus membasmi pria tersebut adalah suat