"Kuharap kau tidak akan membuatku kecewa lagi," tekan Robert dengan tatapan tajam.Max menunduk tak berani memandang ayahnya. Dari tadi napasnya seperti tercekik. Berbalik keadaan, Robert justru dengan leluasa mengunjamkan kedua matanya. Rasa geram, marah dan kecewa menjadi satu. Robert juga masih tak percaya jika Max bisa melakukan hal bodoh bahkan saat pernikahannya tinggal empat hari lagi."Wanita itu harus Shada," sembur Robert lagi. Kali ini membuat Max mendongak. Kedua mata biru terang tersebut bertanya-tanya.Tidak ada yang bisa Max keluarkan kecuali sebuah dengusan di tengah napasnya. Selama ini Robert dan Morris selalu bersikap seenaknya, memperlakukan Max seperti boneka yang kapanpun bisa dimainkan. Dari dulu, mereka selalu menekan Max untuk mendekati Shada—meskipun jika tanpa disuruh pun ia memang sudah menyukainya dari awal.Tetapi sampai sekarang baik Robert atau Morris tidak ada yang pernah memberitahu alasannya. Max sadar, selama ini ia terlalu menjadi anak penurut tanp
"Siapa?" Dahi Ruth terlipat sempurna.Shada belum bisa berkata apapun, ia masih membeku saking terkejutnya. Kedua mata Shada masih memandangi satu lembar foto yang terpasang di dompet. Foto tersebut merupakan dirinya sewaktu usia 7 tahun bersama Elli yang saat itu berumur 9 tahun—tepat sebelum kejadian hilangnya lelaki tersebut.Shada mencoba menghubungkan sebuah logika yang sekarang masih seperti potongan-potongan puzzle. Elli yang dikenalnya dulu adalah seratus persen manusia yang tiba-tiba hilang di usia kurang lebih 9 tahun. Lalu Shada tahu Demian sebelumnya juga manusia yang mendadak diadopsi oleh Ellene hingga harus membunuh sisa keluarganya. Kedua mata Shada langsung melebar. "Ruth, ayo! Aku harus menemui Demian sekarang!"Ruth menelan ludah—kebingungan."Apa? Kenapa?" Ruth mengangkat kedua bahunya, kemudian melihat keluar ke arah derasnya rintikan hujan."Nanti akan kujelaskan. Sekarang ayo temani aku menyusul Demian!" Shada segera menarik tangan Ruth agar mengikutinya."Sebe
"Demian, astaga!" pekik Shada ketika menyadari kedua tangannya telah berlumur darah setelah beberapa kali menggoyang tubuh Demian.Demian membuka matanya dengan berat, tapi tak juga merespon. Kondisi tubuhnya masih lemah."Shada, kita bawa saja ke mobil!" usul Ruth yang langsung disetujui oleh Shada. Keduanya lantas memapah tubuh Demian hingga ke dalam mobil.Mobil Shada segera meluncur dengan cepat. Sesekali kedua mata Shada memantau Demian dari pantulan spion di depan."Kita harus bawa ke rumah sakit," putusnya kemudian."Tidak. Bawa dia ke rumahmu saja," tolak Ruth langsung. Meskipun belum pernah melihat vampir dengan luka parah, tetapi ia khawatir jika Demian sangat mencolok di sana, bisa-bisa identitasnya terbongkar."Tapi, Ruth. Lihat kondisinya sangat—""Aku tahu. Percayalah padaku, vampir tidak boleh sampai tercium oleh tenaga medis. Kami terlalu mencolok."Shada menghela napas. Ia lalu mengubah arah kemudi menuju rumahnya.___________"Apa?! Gagal lagi?"Air muka Max menjadi
Max segera masuk ke dalam mobilnya. Kali ini ia melajukan mobilnya sangat cepat karena tidak sabar dengan rekaman CCTV yang akan ia lihat. Setelah tiba di apartemen, Max menggiring kakinya.Menekan beberapa kombinasi angka yang merupakan password, pintu akhirnya bisa segera ia buka. Max mengendurkan dasi seraya meletakkan tasnya di atas meja. Ia langsung menuju sebuah ruangan yang mana ada satu monitor besar untuk CCTV rumah Shada.Dengan wajah tak sabar, Max berdiri di depan monitor sambil menekan meja menggunakan kedua tangan. Netra birunya was-was melihat satu petak gambar CCTV yang berada di depan rumah Shada.Tak berapa lama, kedua mata Max terbelalak. Iya benar, wanita itu adalah Ruth dan dia... terbang? Max bahkan tak mempercayai apa yang sedang ia saksikan."Aneh! Mana bisa dia melompat setinggi itu!"Gerakannya pun terlalu cepat jika dilihat dengan mata telanjang. Max menggelengkan kepala. Heran kenapa Ruth bisa melakukan hal yang di luar nalar tersebut."Tunggu dulu..." Max
Shada terpaksa memandang Demian, mencoba menilik keseriusannya. Tangis Shada pecah lagi saat ia mengetahui Demian benar-benar jujur."Itulah yang membuatku menderita, Shada. Menjadi vampir lalu berpisah denganmu. Jika waktu dapat diputar kembali, aku akan berusaha melawan mereka waktu itu." Demian meneruskan. Ia lalu menghela napas dengan berat."Aku tahu aku bodoh. Saat itu aku hanya seorang bocah yang diiming-imingi sebuah keluarga dengan kebahagiaan, juga berbagai keinginan yang akan terwujud. Tapi setelah tahu aku digigit dan menjadi vampir, aku menyesal seumur hidup. Ternyata keinginanku satu-satunya adalah selalu berada di dekatmu." Ia mendesah panjang."Bahkan aku baru tahu kalau ternyata aku diincar sejak dua tahun sebelumnya. Elli itu adalah pemberian nama dari mereka. Darwin dan Ellene ingin aku menjadi keluarga Elliot. Aku menyukai nama itu, aku juga menginginkan sebuah keluarga yang bahagia. Maaf, ternyata aku hanyalah bocah naif." Demian menunduk, aliran air mata semakin
Ruth kembali ke kantor dengan menggenggam satu cup cappucino di tangan kanannya. Sedari tadi ia berjalan hanya fokus memikirkan Leo.Pria itu memang misterius dan mengejutkan. Pikirnya seraya menyunggingkan sebuah senyuman.Setelah mencapai ambang pintu ruangannya, Ruth terpaku mendapati Leo yang sepertinya sedang memberikan tugas kepada Shada. Ia menegang lantas memilih untuk berhenti di tengah pintu.Tiba-tiba dari luar muncul Max. Pria itu menggiring kakinya cepat menuju Shada. Ruth terperangah, apalagi yang akan dilakukan oleh pria tersebut. Ia lalu segera menyusul ke tempat Shada."Shada, aku mau bicara denganmu."Shada menoleh lantas mendengus samar. "Sebentar, aku masih ada perlu dengan Pak Leo," jawabnya dingin."Kau boleh bicara dulu dengan Pak Max. Setelah itu baru ke ruanganku, akan kujelaskan lagi." Leo memutuskan untuk berderap menuju ruangannya sendiri.Sebelum pergi, netra Leo sempat menangkap sosok Ruth beserta satu cup cappucino di tangannya. Ia melirik sekilas gelas
Shada menggeleng, air mata sudah membasahi kedua pipinya. Dadanya sesak seperti tertusuk lembing. Bahkan Shada tak mampu lagi mencerna apa yang terjadi.Shada membekap mulutnya sendiri. Melihat Jennifer di depannya yang sudah menangis, juga perasaan kecewanya terhadap ayahnya membuat Shada membeku. Namun aliran hangat tetap saja meluncur jatuh bersama ketidakberdayaan.Perasaan Shada campur aduk. Ia tidak percaya George sebrengsek itu mengkhianati dua keluarga sekaligus. Ia semakin membenci ayahnya di tengah perasaannya yang mulai iba terhadap Jennifer. Jennifer adalah saudaranya dengan beda ibu. Kata-kata itu terus saja menggerayanginya. Kedua mata Shada yang sembap mengerjap cepat."Ba-bagaimana bisa?" ucapnya terbata-bata.Jennifer menatap Shada tajam. "Kenapa?! Sekarang kau merasa bersalah? Atau kau merasa kasihan padaku? Aku tidak butuh belas kasihanmu! Aku hanya butuh kau hancur seperti diriku!""Ceritakan padaku! George—" Shada menggeleng, tak dapat meneruskan kalimatnya. Ia t
Sontak Max, Morris dan Robert tercengang. Setelahnya ekspresi mereka terlihat masam.Shada lalu membuka tas dan meraih sesuatu di sana, sebuah amplop putih persegi panjang. Shada meletakkan amplop tersebut ke atas meja di depannya, lantas menggesernya ke arah Max.Max menatap Shada dengan penuh tanda tanya. Tangannya segera merenggut amplop putih itu. Begitu membuka isinya, Max terperanjat.Kedua matanya membelalak lebar. Ia kemudian melempar pandangan tak percaya. "Apa kau serius dengan ini?!" tanya Max tampak geram.Shada mengangguk. "Iya. Sepertinya aku harus mencoba bekerja di tempat lain agar tidak merepotkan kalian lagi. Aku minta maaf." Salah. Shada tidak ingin terikat lagi dengan mereka. Ia tidak mau rasa bersalahnya terhadap Morris dan Robert terus mengikuti dirinya selama berada di sini.Morris memutar tubuh Shada menghadap ke arahnya. Kedua tangannya memegang erat tangan Shada. Wajahnya penuh kekhawatiran, ketakutan, sedih, entahlah Shada tak mengerti mana yang lebih domin