Sontak Max, Morris dan Robert tercengang. Setelahnya ekspresi mereka terlihat masam.Shada lalu membuka tas dan meraih sesuatu di sana, sebuah amplop putih persegi panjang. Shada meletakkan amplop tersebut ke atas meja di depannya, lantas menggesernya ke arah Max.Max menatap Shada dengan penuh tanda tanya. Tangannya segera merenggut amplop putih itu. Begitu membuka isinya, Max terperanjat.Kedua matanya membelalak lebar. Ia kemudian melempar pandangan tak percaya. "Apa kau serius dengan ini?!" tanya Max tampak geram.Shada mengangguk. "Iya. Sepertinya aku harus mencoba bekerja di tempat lain agar tidak merepotkan kalian lagi. Aku minta maaf." Salah. Shada tidak ingin terikat lagi dengan mereka. Ia tidak mau rasa bersalahnya terhadap Morris dan Robert terus mengikuti dirinya selama berada di sini.Morris memutar tubuh Shada menghadap ke arahnya. Kedua tangannya memegang erat tangan Shada. Wajahnya penuh kekhawatiran, ketakutan, sedih, entahlah Shada tak mengerti mana yang lebih domin
Bruk!Shada sedang tidak mempercayai dengan apa yang kedua matanya saksikan. Sebenarnya, ia hafal suara tersebut. Tapi ternyata ia benar-benar belum siap menerima kenyataannya."Jennifer?"Wanita yang dipanggil segera menyibakkan rambutnya ke atas. Sambil melihat ke cermin, ia segera menyeka mulutnya. Setelah menoleh dan mendapati Shada yang berdiri di ambang pintu, ada sedikit ekspresi keterkejutan yang langsung Jennifer sembunyikan."Kenapa kau ada di sini?" Jennifer melotot memandangi Shada dan beberapa barang yang jatuh ke lantai.Shada menghampiri Jennifer pelan dengan menghunjamkan tatapan masih tak percaya. "Kau... apa kau hamil?"Jennifer mengulas senyum lalu berpaling, berusaha menghindar dari kejaran kedua mata Shada."Jawab aku!" Suara Shada mulai bergetar.Mendengarnya, Jennifer mendongak. Posisinya yang semula menekan wastafel dengan kedua tangan, ia ubah. Jennifer menegakkan tubuhnya agar terlihat kuat.Jennifer lalu melipat tangannya, memperhatikan bagaimana Shada berge
Beberapa mobil berhenti. Orang-orang di dalamnya lantas berhambur keluar dan mendekati Ruth yang kini sudah bersimpuh lemah.Asap tebal serta udara yang panas membuat orang-orang itu menarik Ruth menjauh. Wajah Ruth sudah sembap."Tolong! Masih ada satu orang lagi di sana!" jeritnya di tengah tangisnya yang pecah.Salah seorang pria di dekatnya mendongak lalu mencoba meneliti rumah yang terbakar di depannya. Ia lalu menggeleng dengan guratan wajah putus asa."Maaf, sepertinya sudah tidak bisa."Kedua mata Ruth melebar. "Tidak! Tidak mungkin! Tolong lakukan sesuatu!" pekik Ruth lagi. Bahunya terlihat bergetar karena tergugu.Pria tersebut menoleh ke arah orang-orang di sekitarnya, meminta pendapat. Sepasang suami istri usia 40-an di belakangnya langsung sigap berdiri."Aku akan mencoba menelepon pemadam kebakaran," ujar pria tua tersebut. Pria di dekat Ruth langsung setuju.Pria itu lalu mencoba menarik Ruth lagi agar menjauh, matanya sudah terlalu pedih. Namun Ruth tak berkutik dan te
Ruth menyaksikan percakapan keduanya. Ia lalu melengos dan memilih diam-diam angkat kaki dari sana.Malta tersenyum. Ia sedang duduk di tepi brankar, sedang di hadapannya ada seorang pria yang baru saja datang dan menawarkan bantuan mengenai perbaikan rumah Shada mulai dari nol."Terima kasih, Max. Nanti akan aku sampaikan kepada Shada. Bagaimanapun keluarga kita harus tetap bersatu demi pengelolaan perusahaan yang lebih baik lagi."Max mengangguk. "Aku berharap begitu. Tapi Shada lumayan keras kepala," sanggah Max."Tapi… aku tahu sendiri rasanya dikhianati seperti apa. Kau juga harusnya lebih banyak belajar dan menjauhi hal-hal seperti itu. Aku sebagai ibu tidak mau jika anakku kau sakiti seperti kemaren lagi. Aku kecewa." Malta mengucapkannya secara serius.Max terdiam, lantas berusaha meneguk salivanya dengan susah payah. "Maafkan aku, Bu." Ia lalu menunduk merasa bersalah. Dari awal mengenal Malta, Max selalu memanggilnya 'ibu'.Sementara lima meter dari mereka, Shada menghentika
Demian menarik kerah pria tersebut dengan kejam, lantas meminum darah dari lehernya hingga terkulai lemas.Ia kemudian melepas korbannya dan menyeka bibir. Ia merasakan begitu segar, lama sekali dirinya tidak mencicipi kenikmatan ini."Maaf, aku terpaksa. Aku juga harus punya barang bukti darimu," gumam Demian singkat.Tangannya meraih sebuah benda persegi panjang dari dalam mobil, lantas menggiring kakinya cepat menjauh dari sana.____________Sebuah mobil berhenti di sebuah mansion besar nan mewah. Sebelum turun, Shada dan yang lainnya mengerjap tak percaya."Apartemen apanya! Ini kan mansion," celetuk Ruth menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran Shada maupun ibunya.Ruth dan Malta akhirnya turun membawa tas dan koper masing-masing. Keduanya memandangi bangunan besar di depannya dengan takjub. Sedangkan Shada masih tertinggal di dalam mobil."Terima kasih sudah mengantar kami." Shada tersenyum kepada pria yang mengaku sebagai teman Demian. Tangannya sibuk menyiapkan barang-barang
"Mom!" Shada berteriak lalu berlari menghampiri ibunya.Sontak Demian dan Ruth ikut berdiri dan berderap cepat menuju Malta. Kemampuan kecepatan Demian dan Ruth di atas rata-rata sehingga mereka mencapai Malta secara bersamaan.Demian berhasil menangkap tubuh Malta yang terkulai lemas. Sementara Shada dengan panik menggoyangkan tubuh ibunya."Mom, bangun, Mom!""Kita bawa saja ke kamar!" cetus Ruth.Demian segera menggendong Malta kemudian menggiring kakinya melewati belasan anak tangga. Diikuti oleh Shada dan Ruth yang setengah berlari di belakangnya."Bagaimana ini? Apa perlu kita panggilkan dokter?" Demian menyahut setelah membaringkan Malta.Shada menggeleng. Kedua matanya memperhatikan ibunya itu. "Kurasa tidak perlu. Mungkin ibuku hanya terlalu shock mendengar bahwa Max yang berada di balik semua ini."Demian dan Ruth terdiam, seperti berkutat pada pikiran masing-masing. Shada menghela napas panjang."Ya sudah, ayo kita lanjutkan bahasan yang tadi," ajaknya. Shada langsung duduk
"Sudah jelas kan? Dari awal kalian tidak memberitahuku tentang hal penting itu!"Suara Robert di seberang teleponnya terdengar mengumpat.[Sialan! Aku merahasiakannya darimu agar kau tetap fokus kepada Shada tahu! Lagian siapa yang menyuruh kau bermain wanita!]Max mendengus. Tetap saja ia yang salah.[Sudah! Sudah terlambat! Sekarang tugasmu meyakinkan para investor kuat agar mau menanamkan modalnya di perusahaan kita!]Sebelum Max sempat menjawabnya, Robert sudah mematikan teleponnya terlebih dulu. Max menggeram, lantas membanting ponselnya hingga terbentur lantai keras dan terurai menjadi beberapa bagian sekaligus.Sementara itu di mansion, Shada, Demian, Ruth dan Malta tengah termenung dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi Malta terlihat sibuk dengan menelepon ke sana ke mari. Wanita itu berdiri kemudian berbicara dengan nada tinggi, nyaris berteriak saat di telepon. Setelahnya, ia duduk lemas sambil menopang kepalanya.Shada tercenung, tak percaya dengan apa yang didengarkan
Matahari tak terlalu kentara pagi ini. Awan putih pekat serta angin yang berhembus dingin lebih mendominasi. Shada bangun, memicingkan kedua mata tatkala memandangi jendela luas di hadapannya, lantas segera menyibakkan selimut.Ia berlari kecil mendekati jendela persegi panjang yang luas di ruang kamar mansion milik Demian. Kedua matanya melebar takjub. Pipinya bahkan sudah merona memandangi lanskap di luar.Tampak berjuta-juta kepingan salju putih turun dan melayang-layang di udara. Shada terpegun, hampir semua daratan telah tertutupi hamparan salju memutih.Shada berbinar, ini adalah salju pertama di bulan Desember. Hari yang sempurna untuk mengawalinya. Shada menjadi tidak sabar.Ia lalu teringat dengan pesan Demian semalam. Hari ini pria tersebut akan mengajaknya ke suatu tempat. Elli, orang pertama pun yang akan bersama dengannya di salju pertama ini.Hati Shada mendadak terlonjak. Elli dan salju adalah perpaduan yang sempurna.Namun seketika juga, ia mulai tersadar. Elli bukanla