Ruth menyaksikan percakapan keduanya. Ia lalu melengos dan memilih diam-diam angkat kaki dari sana.Malta tersenyum. Ia sedang duduk di tepi brankar, sedang di hadapannya ada seorang pria yang baru saja datang dan menawarkan bantuan mengenai perbaikan rumah Shada mulai dari nol."Terima kasih, Max. Nanti akan aku sampaikan kepada Shada. Bagaimanapun keluarga kita harus tetap bersatu demi pengelolaan perusahaan yang lebih baik lagi."Max mengangguk. "Aku berharap begitu. Tapi Shada lumayan keras kepala," sanggah Max."Tapi… aku tahu sendiri rasanya dikhianati seperti apa. Kau juga harusnya lebih banyak belajar dan menjauhi hal-hal seperti itu. Aku sebagai ibu tidak mau jika anakku kau sakiti seperti kemaren lagi. Aku kecewa." Malta mengucapkannya secara serius.Max terdiam, lantas berusaha meneguk salivanya dengan susah payah. "Maafkan aku, Bu." Ia lalu menunduk merasa bersalah. Dari awal mengenal Malta, Max selalu memanggilnya 'ibu'.Sementara lima meter dari mereka, Shada menghentika
Demian menarik kerah pria tersebut dengan kejam, lantas meminum darah dari lehernya hingga terkulai lemas.Ia kemudian melepas korbannya dan menyeka bibir. Ia merasakan begitu segar, lama sekali dirinya tidak mencicipi kenikmatan ini."Maaf, aku terpaksa. Aku juga harus punya barang bukti darimu," gumam Demian singkat.Tangannya meraih sebuah benda persegi panjang dari dalam mobil, lantas menggiring kakinya cepat menjauh dari sana.____________Sebuah mobil berhenti di sebuah mansion besar nan mewah. Sebelum turun, Shada dan yang lainnya mengerjap tak percaya."Apartemen apanya! Ini kan mansion," celetuk Ruth menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran Shada maupun ibunya.Ruth dan Malta akhirnya turun membawa tas dan koper masing-masing. Keduanya memandangi bangunan besar di depannya dengan takjub. Sedangkan Shada masih tertinggal di dalam mobil."Terima kasih sudah mengantar kami." Shada tersenyum kepada pria yang mengaku sebagai teman Demian. Tangannya sibuk menyiapkan barang-barang
"Mom!" Shada berteriak lalu berlari menghampiri ibunya.Sontak Demian dan Ruth ikut berdiri dan berderap cepat menuju Malta. Kemampuan kecepatan Demian dan Ruth di atas rata-rata sehingga mereka mencapai Malta secara bersamaan.Demian berhasil menangkap tubuh Malta yang terkulai lemas. Sementara Shada dengan panik menggoyangkan tubuh ibunya."Mom, bangun, Mom!""Kita bawa saja ke kamar!" cetus Ruth.Demian segera menggendong Malta kemudian menggiring kakinya melewati belasan anak tangga. Diikuti oleh Shada dan Ruth yang setengah berlari di belakangnya."Bagaimana ini? Apa perlu kita panggilkan dokter?" Demian menyahut setelah membaringkan Malta.Shada menggeleng. Kedua matanya memperhatikan ibunya itu. "Kurasa tidak perlu. Mungkin ibuku hanya terlalu shock mendengar bahwa Max yang berada di balik semua ini."Demian dan Ruth terdiam, seperti berkutat pada pikiran masing-masing. Shada menghela napas panjang."Ya sudah, ayo kita lanjutkan bahasan yang tadi," ajaknya. Shada langsung duduk
"Sudah jelas kan? Dari awal kalian tidak memberitahuku tentang hal penting itu!"Suara Robert di seberang teleponnya terdengar mengumpat.[Sialan! Aku merahasiakannya darimu agar kau tetap fokus kepada Shada tahu! Lagian siapa yang menyuruh kau bermain wanita!]Max mendengus. Tetap saja ia yang salah.[Sudah! Sudah terlambat! Sekarang tugasmu meyakinkan para investor kuat agar mau menanamkan modalnya di perusahaan kita!]Sebelum Max sempat menjawabnya, Robert sudah mematikan teleponnya terlebih dulu. Max menggeram, lantas membanting ponselnya hingga terbentur lantai keras dan terurai menjadi beberapa bagian sekaligus.Sementara itu di mansion, Shada, Demian, Ruth dan Malta tengah termenung dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi Malta terlihat sibuk dengan menelepon ke sana ke mari. Wanita itu berdiri kemudian berbicara dengan nada tinggi, nyaris berteriak saat di telepon. Setelahnya, ia duduk lemas sambil menopang kepalanya.Shada tercenung, tak percaya dengan apa yang didengarkan
Matahari tak terlalu kentara pagi ini. Awan putih pekat serta angin yang berhembus dingin lebih mendominasi. Shada bangun, memicingkan kedua mata tatkala memandangi jendela luas di hadapannya, lantas segera menyibakkan selimut.Ia berlari kecil mendekati jendela persegi panjang yang luas di ruang kamar mansion milik Demian. Kedua matanya melebar takjub. Pipinya bahkan sudah merona memandangi lanskap di luar.Tampak berjuta-juta kepingan salju putih turun dan melayang-layang di udara. Shada terpegun, hampir semua daratan telah tertutupi hamparan salju memutih.Shada berbinar, ini adalah salju pertama di bulan Desember. Hari yang sempurna untuk mengawalinya. Shada menjadi tidak sabar.Ia lalu teringat dengan pesan Demian semalam. Hari ini pria tersebut akan mengajaknya ke suatu tempat. Elli, orang pertama pun yang akan bersama dengannya di salju pertama ini.Hati Shada mendadak terlonjak. Elli dan salju adalah perpaduan yang sempurna.Namun seketika juga, ia mulai tersadar. Elli bukanla
Lengkap dengan jaket tebalnya, Shada mengembuskan napas hangat. Diam-diam ia mencuri pandang ke arah Demian yang menyetir di sebelah kirinya.Shada mengamati detail paras yang nyaris sempurna dari pria tersebut. Mata tajam bagai elang, hidung mancung, rahang tegas, juga bibir yang terbilang tipis dan ranum. Bahkan Shada baru sadar jika bulu mata Demian cukup lentik."Apa kau akan memandangiku seperti itu terus?" Demian menoleh ke arah Shada sekilas seraya mengembangkan senyum di bibirnya.Astaga! Shada tercekat lantas segera berpaling dari Demian. Kini kedua pipi Shada memerah akibat menahan malu. Ternyata Demian menyadarinya."Aku tidak melihatmu. Pemandangan di sebelahmu yang tadi aku perhatikan," elak Shada pelan.Demian setengah mati menahan agar tawanya tidak meledak. Sikap Shada terlalu imut baginya."Sabar, Tuan Putri. Sebentar lagi kita akan sampai di bandara."Shada mengernyit, lalu protes. "Sabar bagaimana?""Sambil menunggu pesawat nanti, kau bisa memandangi wajahku sepuasm
Darwin mengernyit. Tapi ia bisa menebak apa yang sedang terjadi. Dari tadi ia memang sudah mendengarkan pergerakan di belakang punggungnya.Di saat yang bersamaan dengan pelatuk yang mulai ditarik ke belakang, Darwin memutar serta memiringkan tubuh secara cepat.Peluru yang dilepaskan akhirnya meleset melewati bahu sisi kanan Darwin. Peluru itu justru melesat dan menembus dinding tebal di belakang Max.Sontak Max tercekat. Kurang sedikit lagi, peluru tersebut bisa saja merobek lengannya.Dengan tangkas Darwin menangkis tangan Tonny yang semula memegang pistol hingga senjata api itu jatuh ke lantai lagi.Darwin langsung melompat dan menghantamkan tendangan kakinya menyasar ke dada Tonny. Tonny terhuyung ke belakang serta membentur dinding dengan keras.Setelah menendang Tonny yang menjadi tumpuannya, Darwin pun melompat ke arah Max. Ia melesatkan tinjunya ke wajah Max hingga tubuh pria itu terpelanting ke kiri.Tak punya banyak waktu, Darwin segera menendang kuat pintu keluar hingga te
Shada mengerjap, lalu berkeliling menikmati alam di sekitar rumah neneknya yang dulu. Sambil merapatkan jaketnya, ia berjalan dan mengedarkan pandang ke arah pepohonan tinggi nan lebat di belakang rumah sederhana yang bergaya rustic tersebut.Cuaca di Sierra Madre memang sedang dingin saat ini. Tapi tak sampai bersalju, lebih tepatnya memang tak pernah tersentuh salju di sini. Walaupun suhu bisa mencapai titik terendah 0 derajat celcius, kenyataannya matahari cerah sepanjang tahun di wilayah yang termasuk negara bagian Amerika Serikat sebelah barat ini.Rumah itu, juga lingkungannya, tetaplah sama. Tidak ada yang berubah. Bahkan meskipun sudah ditinggal selama kurang lebih dua belas tahun yang lalu oleh penghuninya.Tampak bangunan rumah nenek Shada yang didominasi oleh kayu terlihat masih kokoh dan asri. Shada menghela napas dalam-dalam. Ia begitu merindukan suasana hangat di dalam rumah tersebut.Demian yang berada di belakang Shada mengamatinya. Ia kemudian maju dan memposisikan di