Di taman belakang rumah, Leon membawa neneknya yang berada di kursi roda ke hadapan Laura.
Demi mempercepat waktu agar bisa segera pergi dari sana dan mencari Devano, Laura benar-benar menuruti perintah Leon.Nek Risa menyuruh Leon untuk masuk ke dalam rumah karena ia ingin bicara berdua saja dengan Laura.Tak mau melawan perintah dari orang yang disayangi, Leon hanya diam. Ia pun masuk ke dalam rumah dan mempercayakan Nek Risa kepada Laura.Di kursi taman, mereka duduk bersebelahan sambil menatapi indahnya langit yang membiru."Siapa namamu, Sayang?" tanya Nek Risa. Dengan sedikit gugup, Laura menyebutkan nama panggilannya."Nama yang cantik. Sama seperti orangnya," puji Nek Risa pada Laura yang membuatnya tak dapat merespon lebih dan hanya bisa tersenyum tipis.Dalam hati Laura kembali tumbuh rasa grogi yang hampir tak terkendali.Bagaimana tidak? Dia harus bicara empat mata dengan nenek dari seorang Leon Halton yang baru pertama kali bertemu dengannya."Laura," panggil Nek Risa yang membangunkan Laura dari lamunan."I---iya, Nek?" sahutnya pelan.Nek Risa menjelaskan bahwa Leon adalah cucu kesayangannya. Sejak kecil, Leon sudah menjadi pria yang penurut dan tidak pernah membantah perintah darinya sedikit pun.Leon memang sedikit pendiam dan terlihat seolah-olah tidak pernah tersenyum. Padahal tanpa disadari oleh orang banyak, terdapat hati lembut yang tidak pernah berubah sejak dulu."Kamu pasti tau bahwa umur saya sudah tidak muda lagi, 'kan?"Laura mengangguk, lalu Nek Risa kembali melanjutkan perkataannya."Saat saya masih muda, saya ditinggal pergi oleh keluarga saya satu per satu. Mereka meninggalkan dunia ini dengan caranya masing-masing. Sekarang, saya sudah tidak sekuat dulu lagi. Saya sering sakit-sakitan bahkan bisa dikatakan menjadi beban untuk Leon."Laura masih mendengarkan curahan hati sang nenek dengan tulus dan mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya ingin Nek Risa sampaikan."Tugas saya untuk menjadi Nenek bagi Leon sudah hampir selesai. Kapanpun maut hendak menjemput, maka saya siap menyambutnya dengan senang hati. Tapi ada satu hal yang membuat saya belum siap. Ya, saya tidak siap jika harus meninggalkan Leon. Walaupun saya tahu dia sudah dewasa dan mandiri."Mendengar itu Laura hampir tak kuasa menahan air mata. Tapi ia tetap bersikeras mencoba untuk tidak menangis di depan Nek Risa.Karena penasaran dan tidak ingin diam terus-menerus, Laura hendak bertanya dimana orang tua Leon. Baru saja ia membuka mulut, Nek Risa malah kembali melanjutkan ucapannya.Ia meminta Laura untuk berjanji agar bisa menjadi peran pengganti di kehidupan Leon."Berjanjilah bahwa kamu akan menjadi orang kedua yang selalu ada untuk Leon setelah saya."Seketika, Laura terpaku bisu. Ia tidak mau membuat janji untuk seseorang yang bahkan tidak ia kenal.Dengan sedikit keberanian, Laura menolak permintaan Nek Risa. Kepalanya menunduk, mata pun tak berani menatap.Tidak berhenti begitu saja, nenek dari Leon ini terus membujuk Laura. Ia berkata bahwa Laura adalah satu-satunya harapan bagi dia.Sebagai seorang wanita berhati nurani, tentu Laura merasa kasihan dan tidak enak. Dia tau betul bagaimana perasaan Nek Risa yang masih memikirkan orang kesayangannya disaat-saat seperti ini.Tidak ingin membuat Nek Risa bersedih lagi, Laura pun bersedia mengucapkan janjinya di hadapan sang nenek. Walaupun dia bingung apakah dirinya akan berdosa atau tidak jika mengingkari janji tersebut."Halo, Nenekku Sayang! Selamat pagi menjelang siang," sapa seorang pria muda dari arah belakang yang membuat Laura terkejut.Tanpa ragu sedikit pun, pria bernama Felix itu berpindah tempat dan kini ia berdiri di hadapan mereka berdua.Melihat mata Nek Risa memerah, senyuman lebar Felix langsung hilang dalam sekejap."Apa! Nenek menangis? Kenapa?" tanya Felix dengan kedua tangan memegangi pipi sang nenek.Dalam sekejap Felix langsung menancapkan tatapan sinis ke arah Laura dan membuatnya kebingungan."Oh ... jangan-jangan kamu yang sudah bikin Nenek menangis. Wah, wah, wah! Pasti kamu anak dari tetangga yang rumahnya di pojok sebelah sana, 'kan? Pokoknya orang yang paling nyebelin di komplek ini. Iya, 'kan?"Laura masih tak membantah, merasa pria ini memang agak aneh dan sedikit menakutkan."Felix, jangan asal bicara! Dia itu adalah tunangan barunya Leon," tegas sang nenek.Seketika, ucapan Nek Risa membuat Laura dan Felix tercengang."Hah! Tunangan? Apa-apaan ini. Kenapa dia mengatakan bahwa aku merupakan tunangan Leon?" tanya batin Laura, jantungnya kembali tak tenang.Di saat itu juga Felix langsung membungkukkan tubuh berulang kali dan meminta maaf pada Laura karena dia sudah melontarkan tuduhan yang tidak-tidak."Ternyata Kakak pintar juga dalam hal memilih pasangan," canda Felix, tertawa kecil."Syuttt ... jaga bicaramu!" cetus Nek Risa.Laura sudah merasa tidak kuat dan ingin cepat-cepat mendapat jawaban dari semuanya.Baru saja hendak mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak mengenal mereka dan juga tidak mengerti apapun yang dibicarakan, secara mendadak Nek Risa malah batuk-batuk. Kebetulan Angel datang dan segera membawa Nek Risa untuk diberi obat.Ingin memantau keadaan sang nenek, Felix berniat untuk mengikutinya dan meninggalkan Laura sendirian.Dengan spontan, Laura menarik tangan Felix hingga membuatnya terkejut."Astaga, apa-apaan aku ini! Kenapa aku malah memegang tangan dia," seru hati Laura.Felix berbalik badan dan langsung menjauhkan tangannya."Duh, Kak! Tolong jangan macam-macam! Aku ini cowok baik-baik," tutur Felix, main asal bicara."Ih, apaan sih! Orang aku enggak sengaja."Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Laura langsung memulai ke intinya.Pertama-tama, ia memancing Felix terlebih dahulu agar mau mengatakan apa hubungannya dengan Leon Halton.Tanpa pikir panjang, Felix langsung menjawab bahwa dia adalah adiknya."Oh ... jadi Leon punya adik" ujar Laura dengan suara kecil tapi masih dapat didengar oleh Felix."Astaga! Tunangan macam apa yang tidak tahu tentang pasangannya. Jangan bilang kalau Kakak juga tidak tahu bahwa Kak Leon itu enam bersaudara!" cetus Felix."Hah! Enam?""Tuh 'kan, hal sepele begitu saja Kakak tidak tahu. Oh, ya! Aku juga mau pamer sedikit. Di antara kita semua, aku adalah adik terakhir dari Kak Leon sekaligus orang kepercayaannya. Kak Leon tidak pernah mau bercerita ke siapa pun selain aku."Mendengar itu, Laura merasa bahwa kesempatan sudah ada di depan mata. Kalau memang Felix adalah orang kepercayaan Leon, pasti dia tau semua tentangnya.Dengan begitu Laura bisa mendapat petunjuk mengapa dirinya dibawa ke sana secara tiba-tiba. Walaupun setelah ini ia tetap akan pergi untuk mencari Devano, sang kekasih yang selama ini sangat ia cintai.Dengan nada membujuk dan ekspresi imut Laura, membuat Felix tak tega dan bersedia menjawab semua pertanyaan yang akan Laura tanyakan selagi dia bisa.Tapi sebelum itu, Laura juga memohon agar Felix tak memberitahu siapa pun."Ya, ya, ya," respon Felix, memutarkan bola mata.Setelah selesai makan siang, Leon beranjak dari meja makan dan mengajak Laura agar segera pergi.Tau bahwa Leon mau membawanya untuk mencari Devano, Laura malah mengurungkan niat dan berkata kalau ia berubah pikiran dan tidak ingin mencari Devano.Leon menganggap kalau Laura berubah pikiran dan lebih memilih untuk tidak jadi pergi karena takut kebohongannya terbongkar. Ya, Leon masih mengira kalau hilangnya kekasih Laura hanyalah sebuah alasan yang dibuat-buat untuk melarikan diri darinya."Aku sadar kalau sekarang aku adalah tunanganmu. Ma---maksudku tunangan palsu," seru Laura tak berani menatap mata Leon.Waktu pun berjalan begitu cepat. Saat malam tiba, Laura tak keluar kamar sama sekali dan hanya terpaku diam di sudut ruangan barunya tersebut.Perlahan ia mengambil ponsel miliknya di atas meja kemudian memberanikan diri untuk menghubungi kedua orang tuanya.Sudah lebih dari 10 panggilan keluar, tapi tak ada satu pun yang di jawab. Di saat yang bersamaan, ada notifikasi pesan mas
2 hari kemudian, Leon dan Laura sedang berada di restoran yang baru saja Leon sewa."Kenapa sepi sekali?" tanya Laura dengan polos."Bukannya malah bagus? Jadi hanya ada kita berdua saja," jawab Leon.Laura tersenyum kecil, kemudian menempati salah satu meja yang sudah dihiasi oleh beberapa vas bunga dan lilin penghias.Bingung? Tentu saja, iya. Laura tidak mengerti alasan Leon membawanya ke sini. Padahal mereka sama sekali tidak membuat janji untuk makan bersama.Setelah makanan yang mereka pesan sudah datang, Leon segera mengambil garpu dan pisau untuk menikmati hidangan. "Leon," seru Laura, membuat Leon menghentikan tangannya sejenak. Laura bertanya apa alasan Leon membawa dirinya ke tempat itu. Karena ia mulai sadar bahwa sepertinya Leon memang menyewa tempat tersebut, khusus untuk mereka berdua."Alasannya jelas, karena ini adalah hari ulang tahunmu," ungkap Leon. Nada bicaranya masih tak berubah, sangat lembut.Seketika Laura sangat kaget. Dari mana Leon dapat mengetahui tangg
Tanpa dipungkiri ternyata Leon membawa Laura ke pusat perbelanjaan terbesar di kota Jakarta.Ia memerintahkan Laura untuk membeli banyak pakaian, tas, sepatu, maupun kebutuhan lainnya. Apalagi sekarang Laura harus tinggal di rumahnya, sedangkan pakaian yang Leon belikan waktu itu dirasa kurang.Leon memberikan kartu ATM miliknya pada Laura dan menyuruhnya berbelanja. Minimal harus habis 100 juta, tidak boleh kurang."Leon, tapi itu terlalu banyak. Aku tidak akan bisa menghabiskannya sendirian. Bagaimana kalau uang sebanyak itu kita gunakan saja untuk membantu orang-orang yang membutuhkan? Sedangkan aku akan berbelanja dengan uang yang tersisa," kata Laura yang memang dikenal hemat."Untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, aku akan menyiapkan biaya yang lebih banyak dari ini. Karena aku juga tau bahwa berbagi itu jauh lebih penting. Jadi sekarang kamu berbelanjalah dengan tenang tanpa memikirkan apapun."Tak bisa lagi membantah, Laura pun menuruti perintah Leon. Kini mereka mulai
Sejak tadi Leon masih tak merespon ketukan Laura sedikit pun. Merasa sangat khawatir, Laura berpikir untuk membuka pintu secara diam-diam saja, meski ia tau itu bukanlah tindakan yang sopan."Tidak dikunci," ucap Laura.Pintu terbuka sedikit dan Laura pun mengintip. Melihat Leon sedang memegangi perutnya sambil membersihkan sisa-sisa darah, Laura sangat kaget dan langsung masuk ke kamar tersebut tanpa pikir panjang."Leon," panggil Laura pada Leon yang sedang membelakanginya. Mendengar itu, Leon terkejut dan langsung berbalik badan. Bajunya masih berlumuran darah, dan lantai pun juga dipenuhi oleh bercak-bercak cairan berwarna merah tersebut."Kenapa kamu bisa ada di sini?""Seharusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sedang terluka parah dan malah mengurung diri di kamar."Leon membuang pandangan dan menundukkan kepala. Menyadari akan Laura yang malah terus melangkah mendekatinya, Leon langsung memberi perintah untuk berhenti di tempat."Jangan! Jangan
Dengan sangat baik Leon mempresentasikan hasil kerjanya di hadapan para klien. Ia menjelaskan apa saja yang akan menjadi target perusahaannya untuk 5 tahun ke depan, strategi apa yang harus digunakan untuk memaksimalkan hasil, dan perkiraan resiko yang akan mereka terima.Kebetulan di meeting kali ini ada Alice yang ikut hadir sebagai perwakilan dari perusahaan ayahnya.Seperti biasa, Alice hanya memandangi wajah Leon. Ia bahkan sering kali memanfaatkan kesempatan yang sama hanya untuk bertemu dengannya. Meski dia tidak mengerti apa yang Leon katakan secara keseluruhan."Baik, sekian dari saya. Semoga pertemuan kali ini bisa menjadi pertimbangan untuk membawa perusahaan-perusahaan kita ke jenjang yang lebih baik lagi," ucap Leon menutup presentasinya.Setelah semua sudah selesai dan tidak ada lagi yang mau dibahas, para klien pun mulai keluar ruangan satu per satu.Kini hanya tersisa Leon dan Alice saja dalam ruangan tersebut. Dengan cuek, Leon fokus membereskan berkas-berkas yang ta
Setelah kondisi semakin membaik, Laura bersama Damian dan Felix akhirnya diizinkan untuk masuk ke ruang rawat.Tak memperdulikan keadaan sama sekali, Laura masih terus menangis di sisi Devano. "Kak ...," panggil Felix, nadanya terdengar seperti orang yang sedang ketakutan."Hmm," seru Laura, masih merenung."Apa Kakak menyadari sesuatu?"Mendengar pertanyaan Felix, tentu Laura kebingungan."Kamu ngomong apaan sih? Cepat katakan saja langsung ke intinya!" cetus Laura dengan tangisannya hingga tak ingin menancapkan pandangan sama sekali kepada Felix."Tapi tolong jangan marah-marah padaku, ya! Ini semua salah Kak Damian."Laura kembali tak mengerti tentang apa yang sebenarnya ingin Felix katakan."Cepat katakan," pinta Laura sembari mengangkat kepala dan menatap wajah Felix.Felix diam, kemudian matanya melirik ke wajah pria yang tengah terbaring di ranjang pasien tersebut.Merasa heran, Laura ikut meliriknya. Dia sangat terkejut saat tau ternyata itu bukanlah Devano yang selama ini di
Seperti biasa, Leon tidak suka diperiksa lama-lama. Ia meminta sang dokter untuk mempercepat pemeriksaan.Dokter yang sudah kenal cukup lama dengan CEO Halton Group ini pun menyayangkan keadaan.Ia bilang harusnya Leon datang ke sana lebih awal, tepatnya setelah luka itu baru saja didapatkan. Dengan begitu, kemungkinan besar luka Leon tak separah ini."Syukurlah luka Anda masih bisa diobati," tutur si dokter dengan ramah."Oh iya, satu lagi! Jika rasa sakitnya tak kunjung hilang, silakan segera datang kembali ke sini secepat mungkin untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut," seru dokter seraya menggoreskan tinta pulpennya pada secarik kertas resep obat.Setelah tak ada lagi yang perlu dibicarakan, dengan senang hati Leon menerima resep obat tersebut."Terima kasih," ujar Leon yang kemudian beranjak untuk pergi.Keesokan hari.Leon tengah memakai dasi di depan cermin dengan Angel yang berada di sebelahnya. Sepertinya biasa, Angel selalu melayani Leon dengan sangat baik setiap kali he
Dengan fokus tingkat tinggi, Leon masih meladeni si hacker dengan penuh semangat yang membara."Hebat juga dia. Bisa-bisanya dia melawan diriku, seorang hacker yang tak mudah dikalahkan oleh orang lain," ujar seseorang yang menjadi pihak bayaran dari perusahaan pesaing.Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Yang namanya seorang ahli, pasti akan menguasai hal di bidangnya. Sama seperti hacker yang sedang meretas perusahaan Leon. Tentu kemampuan dan keahliannya membuat dia berhasil mendapatkan data-data penting dari Halton Group."HAHAHA!" tawa hacker dengan keras, walau tak bisa di dengar oleh siapapun, apalagi Leon.Melihat kehebatan lawan, Leon mulai menghentikan jarinya dan tersenyum kecil. Ya, senyuman yang belum pernah dia tunjukkan pada siapa pun, kecuali saat dirinya sedang sendirian saja.Leon sangat paham bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya sia-sia. Begitu pun dengan usaha dia kali ini. Kekalahan Leon bukanlah masalah baginya. Justru dengan begini, Leon dapat mengeta