Share

Chapter 5

Tanpa dipungkiri ternyata Leon membawa Laura ke pusat perbelanjaan terbesar di kota Jakarta.

Ia memerintahkan Laura untuk membeli banyak pakaian, tas, sepatu, maupun kebutuhan lainnya.

Apalagi sekarang Laura harus tinggal di rumahnya, sedangkan pakaian yang Leon belikan waktu itu dirasa kurang.

Leon memberikan kartu ATM miliknya pada Laura dan menyuruhnya berbelanja. Minimal harus habis 100 juta, tidak boleh kurang.

"Leon, tapi itu terlalu banyak. Aku tidak akan bisa menghabiskannya sendirian. Bagaimana kalau uang sebanyak itu kita gunakan saja untuk membantu orang-orang yang membutuhkan? Sedangkan aku akan berbelanja dengan uang yang tersisa," kata Laura yang memang dikenal hemat.

"Untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, aku akan menyiapkan biaya yang lebih banyak dari ini. Karena aku juga tau bahwa berbagi itu jauh lebih penting. Jadi sekarang kamu berbelanjalah dengan tenang tanpa memikirkan apapun."

Tak bisa lagi membantah, Laura pun menuruti perintah Leon. Kini mereka mulai menyusuri berbagai toko satu per satu.

Setelah semua keperluan sudah terpenuhi, Leon mengajak Laura untuk menuju ke toko perhiasan sebentar.

"Kamu mau beli apa? Ma---maksudku untuk siapa?" heran Laura.

"Tentu saja untuk kamu."

Laura kaget dan langsung menolak. Ia bilang barang bawaan mereka sudah terlalu banyak dan lebih memilih untuk segera pulang saja.

"Aku sudah memanggil salah satu supir pribadi untuk membawa semua barang-barang ini, jadi kamu tidak usah khawatir!" seru Leon yang terpaksa tegas dihadapan Laura agar tak melawan perintahnya lagi.

Sekarang Laura bingung harus berkata apa. Di satu sisi, dia sudah memakai cincin yang Devano berikan untuknya. Cincin itulah satu-satunya perhiasan yang harus terus Laura gunakan.

Kembali mencoba membujuk, Laura menunjukkan jari manisnya pada Leon dan berkata bahwa ia sudah punya cincin.

"Tidak, bukan itu cincin yang Nenek maksud."

"Lalu cincin seperti apa? Bukankah kita hanya tunangan palsu dan tidak butuh cincin?" tanya Laura yang tak ingin menduakan Devano.

"Di keluarga kita, siapapun yang menjalin hubungan dengan seorang wanita maka si wanita tersebut harus memakai cincin berlian asli dan tidak boleh sembarangan. Apalagi kemarin Nenek sempat bertanya padaku mengapa kamu tidak memakai cincin berlian yang dia maksud."

Seketika, mata Laura tertuju pada jari manisnya itu. Ia merasa bahwa cincinnya sudah terlihat seperti cincin berlian, walaupun itu palsu dan harganya juga di bawah lima ratus ribu rupiah.

"Leon, lihatlah! Di cincin ini ada benda kecil yang berkelap-kelip. Itu 'kan yang kamu maksud berlian? Bagaimana kalau kita bilang saja bahwa ini adalah cincin pemberianmu?"

Leon hanya diam dan tak merespon. Justru karena Nek Risa tau bahwa Laura memakai cincin biasa, makanya ia menyuruh Leon untuk segera membelinya.

"Masa sepasang tunangan tidak punya cincin, aneh sekali!" cetus Nek Risa yang kalimatnya masih teringat jelas di benak Leon.

Beberapa menit berlalu. Kini Leon sudah selesai memilih perhiasan mana yang akan ia beli.

"Terima kasih," tutur Leon pada si penjual.

Saat mereka berdua hendak keluar toko, mereka malah berpas-pasan dengan seorang wanita yang tengah memakai masker hitam dengan rambut terikat rapi.

Awalnya memang tidak ada yang aneh. Tapi saat wanita itu menyentuh tangan Laura tanpa melihat ke arahnya sama sekali, membuat Laura sedikit kaget dan langsung menoleh.

Setelah berhasil menyentuhnya dengan lembut, wanita tersebut langsung tersenyum di balik penutup wajahnya.

Laura bingung siapa dia dan apa maksudnya. Karena terasa sangat jelas bahwa sentuhan itu memang disengaja.

***

Beberapa hari kemudian.

Laura tiba di rumah lamanya dengan bermodalkan taxi yang ia gunakan untuk menuju kesana.

Berulang kali Laura mengetuk pintu, tapi tak ada satupun jawaban.

Tidak lama kemudian, tetangga Laura yang sangat dekat dengan keluarga mereka pun datang. Ia bertanya siapa yang sedang Laura cari.

"Maaf, maksud Tante apa, ya? Tentu saja aku mencari orang tuaku."

"Loh, memangnya selama ini kamu ke mana saja? Apakah kamu tidak tahu kalau mereka sudah pindah?"

"Apa!! Pindah ke mana?"

Tak sempat bertanya dan juga tidak suka ikut campur dengan urusan tetangga lainnya, ibu ini hanya menggelengkan kepala. Menunjukkan bahwa dia tidak tahu akan hal itu.

Kini Laura hanya bisa terpaku diam. Semuanya benar-benar aneh. Apa saja yang telah terjadi selama dia berada di rumah Leon pun tak ada yang mengetahuinya.

Berhubung langit sudah mulai gelap, Laura memutuskan untuk pulang saja.

Tapi sayangnya, di daerah situ sangat sulit untuk menemukan taxi. Kebetulan taxi yang tadi Laura tumpangi pun juga sudah lama pergi.

Dengan terpaksa dirinya memilih untuk berjalan kaki terlebih dahulu. Berharap nanti akan ada tumpangan yang datang.

Di tengah jalan, Laura merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang.

"Sepertinya mereka lebih dari dua orang," tebak batin Laura yang mulai ketakutan.

Apalagi lingkungan tempat tinggalnya itu memang dikenal sebagai pusat kejahatan.

Tak jarang jika banyak para gadis yang dilarang keluar rumah mulai dari menjelang malam hingga waktu tertentu.

Tidak lama kemudian, suara langkah kaki yang mengikutinya berubah menjadi lebih menakutkan. Terdengar suara orang yang sedang berantem dan sedikit teriakan yang agak-agak samar.

"Kalau di daerah sini kamu merasa ada orang yang hendak berbuat jahat padamu, maka kamu harus berpura-pura sedang menelpon seseorang dan bersikap seolah-olah orang itu sudah ada di dekatmu. Dengan begitu, orang yang berniat jahat tersebut akan merasa bahwa kamu tidak sedang sendirian. Hal yang paling utama adalah jangan pernah menoleh sedikitpun."

Pesan itu masih Laura ingat hingga hari ini. Ibunya yang pernah mengatakan hal tersebut sewaktu dia masih kecil, dan sekarang dia pun mengikuti saran sang ibu.

Secepat mungkin Laura mencari tempat ramai dan menunggu taxi di sana. Setelah kurang lebih 2 jam berlalu, kini dirinya tiba di rumah Leon.

Laura melihat semua pelayan tengah sibuk mondar-mandir kesana dan kemari. Tepat saat itu juga, Angel lewat di hadapannya.

"Angel," panggil Laura yang kemudian bertanya mengapa semua orang terlihat sangat sibuk sekali.

Angel bilang bahwa akan ada makan malam untuk menyambut tamu yang hendak datang.

Ya, tamu itu merupakan rekan kerja dari perusahaan CG Group yang telah lama menjalin hubungan bisnis dengan keluarga Halton.

Karena yang akan menemui tamu itu adalah Damian, jadi Damian bilang semuanya harus dipersiapkan sebaik mungkin.

"Siapa Damian?"

Angel menjelaskan kalau Damian adalah salah satu adik dari tuannya. Meskipun umur mereka sama, yaitu 26 tahun, tapi Damian tetap lebih muda 4 bulan dari Leon.

Anak ketiga ini baru saja pulang dari Perancis beberapa minggu yang lalu.

Tapi karena kepentingan suatu hal, Damian memilih untuk tinggal di apartemennya terlebih dahulu dan belum sempat pulang ke rumah.

"Oleh karena itu, Nyonya Risa ingin acara ini diadakan sekaligus untuk menyambut kedatangan Tuan Damian."

Merasa tidak punya kegiatan apapun, Laura bilang bahwa ia ingin ikut membantu.

Angel mengatakan kalau sebenarnya semua sudah siap. Hanya saja masih ada beberapa ruangan yang lantainya belum dibersihkan, terutama area di dekat pintu masuk.

"Baiklah, biar aku saja yang membersihkannya," ujar Laura menawarkan diri.

"Tidak usah, Nona. Lebih baik sekarang Anda istirahat dan bersantai saja. Biar saya yang menyelesaikannya."

"Loh, kenapa?" heran Laura, mengernyitkan dahi.

"Pekerjaan seperti ini tidak pantas untuk Anda," balas Angel.

"Apanya yang tidak pantas? Kita semua sama-sama manusia. Di mata Tuhan, kita tidak ada bedanya. Kebetulan aku juga sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini di rumah. Jadi percayakanlah saja padaku."

"Ba---baiklah kalau itu mau Nona," respon Angel dengan perasaan sedikit tidak enak.

Saat Laura sedang mengeringkan kain pel, tak sengaja ia melihat percikan darah yang lumayan banyak.

Ragu apakah dugaannya benar atau salah, Laura mencoba untuk mengeceknya. Ternyata itu memanglah darah sungguhan.

Dengan penuh rasa penasaran, Laura mengikuti jejak dari tetesan darah tersebut.

Begitu terkejut dirinya saat tau bahwa jejak itu berhenti di depan pintu kamar Leon.

Dengan segera Laura mengetuk pelan pintu tersebut, tapi tak ada respon sama sekali.

Sementara di dalam kamar, Leon sedang menahan rasa sakit yang luar biasa. Ia terus berusaha untuk menghentikan pendarahan yang ada di perut sebelah kirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status