Sejak tadi Leon masih tak merespon ketukan Laura sedikit pun.
Merasa sangat khawatir, Laura berpikir untuk membuka pintu secara diam-diam saja, meski ia tau itu bukanlah tindakan yang sopan."Tidak dikunci," ucap Laura.Pintu terbuka sedikit dan Laura pun mengintip.Melihat Leon sedang memegangi perutnya sambil membersihkan sisa-sisa darah, Laura sangat kaget dan langsung masuk ke kamar tersebut tanpa pikir panjang."Leon," panggil Laura pada Leon yang sedang membelakanginya. Mendengar itu, Leon terkejut dan langsung berbalik badan.Bajunya masih berlumuran darah, dan lantai pun juga dipenuhi oleh bercak-bercak cairan berwarna merah tersebut."Kenapa kamu bisa ada di sini?""Seharusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sedang terluka parah dan malah mengurung diri di kamar."Leon membuang pandangan dan menundukkan kepala. Menyadari akan Laura yang malah terus melangkah mendekatinya, Leon langsung memberi perintah untuk berhenti di tempat."Jangan! Jangan dekat-dekat! Nanti pakaianmu bisa kotor," tegas Leon."Lalu aku harus bagaimana? Apa aku harus diam saja dan membiarkanmu kesakitan, sementara kamu tidak membiarkan pakaianku kotor."Takut percakapan mereka terdengar oleh yang lain, Leon menyuruh Laura untuk mengecilkan suara."Sudahlah, lebih baik sekarang kamu siap-siap saja untuk menyambut tamu penting yang akan datang. Berdandanlah yang cantik seperti biasanya. Gunakan pakaian baru yang waktu itu kamu beli. Pasti Nenek akan memperkenalkan kamu pada mereka.""Apa kamu tidak akan ikut turun?""Ya, aku masih ingin sendirian di sini. Apalagi kalau aku turun, mereka akan curiga.""Baiklah, kalau kamu tidak turun, aku juga tidak akan turun. Aku mau bersamamu saja," tekad Laura yang tidak tega membiarkan Leon sendirian.Kemudian pria tampan tersebut bilang pasti Nek Risa akan mendatangi Laura dan membujuknya."Aku tidak peduli dan tetap ingin di sini bersama denganmu."Leon menghela napas pelan, kemudian terpaksa mengiyakan permintaan Laura.Karena masih harus membersihkan semua bercak darah yang mengotori ruangan, Leon menyuruh Laura untuk istirahat saja di ranjang miliknya.Awalnya Laura menolak, tapi Leon terus memaksa dengan nada lembut. Kini Laura memberanikan diri untuk berbaring miring di atas ranjang mewah tersebut.Setelah beberapa menit, ruangan sudah berhasil dibersihkan tanpa sisa sedikitpun.Dengan cepat Leon berjalan menuju pintu lalu menguncinya. Tentu hal ini membuat Laura kaget dan panik."Tenang saja, aku tidak akan macam-macam. Karena jika pintunya tidak dikunci, maka Nenek akan curiga dan tahu bahwa ada orang di sini. Apalagi aku memang selalu mengunci pintu kamar setiap hendak pergi meninggalkan rumah."Tak ingin berlama-lama, Leon bergegas melangkah ke toilet yang ada di dalam kamar dan mengganti pakaian kotornya.Setelah selesai, Leon keluar dan duduk di tepi ranjang. Posisi mereka sekarang saling membelakangi satu sama lain.Leon tau bahwa Laura akan risih jika dia berbaring di sebelahnya. Maka dari itu Leon memilih untuk menempatkan diri di sudut ranjang saja.Detik demi detik terus berlalu. Tapi Laura tetap tidak bisa beristirahat dengan tenang dan langsung bangun dari baringannya.Tak disangka, Laura malah ikut duduk di sebelah Leon sembari menyadarkan kepala di pundaknya, tapi Leon sama sekali tak melarang."Apa aku mengganggu istirahatmu?" tanya Leon, khawatir dugaannya benar.Laura menggeleng dan bilang jika dia tidak bisa istirahat."Benarkah?" ragu Leon yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Laura.Sekarang, mereka hanya bisa duduk berduaan sambil menatapi dunia luar dari balik kaca jendela yang ukurannya cukup besar."Lain kali jangan keluar rumah sendirian lagi, ya! Kalau mau pergi kemana-mana, minta saja supir untuk mengantarkanmu."Mendengar pesan itu, Laura mulai curiga kalau sebenarnya orang yang terdengar berantem saat dijalan tadi kemungkinan besar adalah Leon.Apalagi Leon tahu jika Laura pergi sendirian, padahal Laura tidak memberitahukannya kepada siapapun.Dengan nada datar, Laura mencoba bertanya pada Leon tentang alasan mengapa dia bisa terluka separah ini dan siapa yang sudah melukainya.Leon menjawab luka tersebut hanyalah luka biasa. Tapi dia tidak mau memberitahu siapa yang sudah menusukkan pisau tajam ke perutnya."Luka biasa dari mana? Jelas-jelas darahnya sebanyak itu. Perutmu juga pasti dipenuhi oleh kain perban, 'kan?"Lagi-lagi Leon hanya diam dan tak menjawab sepatah katapun.Memanfaatkan keadaan langka seperti ini, Laura yang masih menyandarkan kepalanya di bahu Leon pun bertanya mengapa Leon sering menyendiri dan menjauh dari yang lain."Aku sama sekali tidak menjauh dari siapa pun. Aku hanya sedang mencari ketenangan saja.""Jika memang benar itu alasannya, berarti kita memiliki sedikit persamaan. Aku juga tidak suka berbaur dengan banyak orang karena menganggap mereka hanya akan mengganggu pikiranku. Tapi setidaknya aku masih suka menghabiskan waktu bersama orang-orang yang aku sayangi."20 menit kemudian, para tamu telah tiba.Semua orang yang berkepentingan di rumah itu sudah berkumpul di ruang keluarga.Damian bertanya pada Angel di mana Leon dan tunangannya.Dengan sigap, Angel berkata jika ia akan mengeceknya terlebih dahulu. Pertama-tama Angel mengunjungi kamar Laura, tapi tak ada siapa pun di sana.Setelah itu, dia beranjak ke kamar Leon dan terus memanggilnya tapi tak ada jawaban."Padahal beberapa saat lalu, Nona Laura ada di rumah," Ujar Angel.Nek Risa tak mempermasalahkan hal tersebut dan berkata, "Mungkin saja Laura sedang pergi bersama Leon karena ada urusan penting."Sembari berbincang-bincang membicarakan kerja sama perusahaan mereka yang akan semakin diperpanjang hingga beberapa tahun ke depan, putri dari pemilik CG Group itu membisikkan sesuatu ditelinga sang ayah.Ia bertanya di mana Leon, padahal dirinya meminta ikut ke sana hanya untuk bertemu pria incarannya tersebut.Sejak dulu, wanita bernama Alice ini memang sudah mengincar Leon. Tak jarang juga dia menggodanya setiap kali mereka bertemu di sebuah pertemuan resmi.Tak sengaja mendengarnya, Felix bilang kalau kemungkinan besar dia sedang pergi bersama tunangannya."Apa! Tunangan?"Felix mengangguk sembari menunjukkan senyum ledekan. Ia ingin membuat Alice kesal dan memberi peringatan secara tidak langsung bahwa sebenarnya Leon sudah ada yang punya.Karena kebetulan Felix duduk di sebelah Alice, ia pun mendekati bibirnya ke telinga wanita sombong tersebut."Tunangan Kak Leon itu cantik, baik, tidak suka marah-marah, pokoknya hampir sempurna deh."Mendengar ucapan Felix, hati Alice semakin panas. Spontan dia menghentak meja makan dengan keras, membuat semua orang kaget."Ada apa, Sayang?" tanya Tuan Robert pada putri kesayangannya.Alice tak menjawab dan hanya diam saja."Apa kamu tidak suka dengan makanannya? Atau ada masalah dengan menu-menu di sini?" tanya Felix, kembali meledek secara tidak langsung."Tidak! Tentu tidak ada masalah sama sekali," tegas Alice dengan emosi yang semakin membakar batinnya.Dengan sangat baik Leon mempresentasikan hasil kerjanya di hadapan para klien. Ia menjelaskan apa saja yang akan menjadi target perusahaannya untuk 5 tahun ke depan, strategi apa yang harus digunakan untuk memaksimalkan hasil, dan perkiraan resiko yang akan mereka terima.Kebetulan di meeting kali ini ada Alice yang ikut hadir sebagai perwakilan dari perusahaan ayahnya.Seperti biasa, Alice hanya memandangi wajah Leon. Ia bahkan sering kali memanfaatkan kesempatan yang sama hanya untuk bertemu dengannya. Meski dia tidak mengerti apa yang Leon katakan secara keseluruhan."Baik, sekian dari saya. Semoga pertemuan kali ini bisa menjadi pertimbangan untuk membawa perusahaan-perusahaan kita ke jenjang yang lebih baik lagi," ucap Leon menutup presentasinya.Setelah semua sudah selesai dan tidak ada lagi yang mau dibahas, para klien pun mulai keluar ruangan satu per satu.Kini hanya tersisa Leon dan Alice saja dalam ruangan tersebut. Dengan cuek, Leon fokus membereskan berkas-berkas yang ta
Setelah kondisi semakin membaik, Laura bersama Damian dan Felix akhirnya diizinkan untuk masuk ke ruang rawat.Tak memperdulikan keadaan sama sekali, Laura masih terus menangis di sisi Devano. "Kak ...," panggil Felix, nadanya terdengar seperti orang yang sedang ketakutan."Hmm," seru Laura, masih merenung."Apa Kakak menyadari sesuatu?"Mendengar pertanyaan Felix, tentu Laura kebingungan."Kamu ngomong apaan sih? Cepat katakan saja langsung ke intinya!" cetus Laura dengan tangisannya hingga tak ingin menancapkan pandangan sama sekali kepada Felix."Tapi tolong jangan marah-marah padaku, ya! Ini semua salah Kak Damian."Laura kembali tak mengerti tentang apa yang sebenarnya ingin Felix katakan."Cepat katakan," pinta Laura sembari mengangkat kepala dan menatap wajah Felix.Felix diam, kemudian matanya melirik ke wajah pria yang tengah terbaring di ranjang pasien tersebut.Merasa heran, Laura ikut meliriknya. Dia sangat terkejut saat tau ternyata itu bukanlah Devano yang selama ini di
Seperti biasa, Leon tidak suka diperiksa lama-lama. Ia meminta sang dokter untuk mempercepat pemeriksaan.Dokter yang sudah kenal cukup lama dengan CEO Halton Group ini pun menyayangkan keadaan.Ia bilang harusnya Leon datang ke sana lebih awal, tepatnya setelah luka itu baru saja didapatkan. Dengan begitu, kemungkinan besar luka Leon tak separah ini."Syukurlah luka Anda masih bisa diobati," tutur si dokter dengan ramah."Oh iya, satu lagi! Jika rasa sakitnya tak kunjung hilang, silakan segera datang kembali ke sini secepat mungkin untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut," seru dokter seraya menggoreskan tinta pulpennya pada secarik kertas resep obat.Setelah tak ada lagi yang perlu dibicarakan, dengan senang hati Leon menerima resep obat tersebut."Terima kasih," ujar Leon yang kemudian beranjak untuk pergi.Keesokan hari.Leon tengah memakai dasi di depan cermin dengan Angel yang berada di sebelahnya. Sepertinya biasa, Angel selalu melayani Leon dengan sangat baik setiap kali he
Dengan fokus tingkat tinggi, Leon masih meladeni si hacker dengan penuh semangat yang membara."Hebat juga dia. Bisa-bisanya dia melawan diriku, seorang hacker yang tak mudah dikalahkan oleh orang lain," ujar seseorang yang menjadi pihak bayaran dari perusahaan pesaing.Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Yang namanya seorang ahli, pasti akan menguasai hal di bidangnya. Sama seperti hacker yang sedang meretas perusahaan Leon. Tentu kemampuan dan keahliannya membuat dia berhasil mendapatkan data-data penting dari Halton Group."HAHAHA!" tawa hacker dengan keras, walau tak bisa di dengar oleh siapapun, apalagi Leon.Melihat kehebatan lawan, Leon mulai menghentikan jarinya dan tersenyum kecil. Ya, senyuman yang belum pernah dia tunjukkan pada siapa pun, kecuali saat dirinya sedang sendirian saja.Leon sangat paham bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya sia-sia. Begitu pun dengan usaha dia kali ini. Kekalahan Leon bukanlah masalah baginya. Justru dengan begini, Leon dapat mengeta
Sesampainya di lokasi, Laura dan Leon hendak memasuki gedung besar yang ada di depan mereka.Melihat semua tamu datang bergandengan tangan dengan pasangan masing-masing, membuat Laura teringat akan Devano. Ia kembali memikirkan di mana keberadaan kekasihnya itu."Bolehkah aku menggandeng tanganmu juga?" izin Leon dengan sangat lembut.Laura yang tidak keberatan pun mengangguk senyum. Tanpa berlama-lama lagi mereka bergegas masuk ke dalam gedung pernikahan tersebut.Dengan segera Leon mengajak Laura untuk bersalaman dengan pengantinnya terlebih dahulu. Lagi-lagi Laura hanya nurut saja dan tidak membantah perintah dari pria yang ada di sampingnya.Mereka menuju kedua mempelai, kemudian bersalaman dan berbincang-bincang kecil. Leon memperkenalkan pada Laura bahwa mempelai pria ini adalah rekan kerjanya. Mereka sudah saling kenal cukup lama.Setelah selesai menyapa, dengan ramahnya si pengantin wanita menyuruh Laura dan Leon untuk segera menduduki kursi tamu dan menyantap hidangan yang s
Alice melihat Laura sudah tak menunjukkan respon lagi. Tak mau perbuatannya di ketahui oleh orang lain, dia memanggil supir yang sejak tadi ada di dekatnya.Alice berjanji akan membayar gaji sang supir sebanyak tiga kali lipat bulan ini asalkan dia mau membantunya untuk mengeluarkan Laura dari kolam dan segera membawanya ke mobil.Sebelum itu Alice sempat bertanya terlebih dahulu apakah di luar penjaganya masih banyak seperti saat dia baru datang atau sudah tidak ada. Si supir menjawab bahwa memang masih ada penjaga, tapi tidak banyak dan hanya sekitar 1 atau 2 orang saja.Alice bilang itu adalah hal yang mudah. Ia tinggal menyogok saja dan masalah langsung selesai.Sambil mengikuti si supir yang sedang membawa Laura, Alice mengeluarkan ponsel milik Laura dari dalam tas yang tadi dia rebut. "Syukurlah tidak di kasih password," kata Alice.Dengan terburu-buru, dia mencari kontak Leon di ponsel tersebut dan berniat mengirimkan pesan palsu padanya."Leon, maaf jika aku membuatmu menung
Saat Alice sudah meninggalkan tempat, Laura segera berlari menuju pintu dan berusaha membukanya. Tapi karena pintu tersebut telah dikunci dari luar, maka tidak akan ada yang bisa membukanya kecuali kunci itu sendiri. Laura sudah kelelahan dan mulai pasrah.Dengan wajah imut, Vani menatapi Laura. Ia duduk di sebelah Laura dengan sangat manis, membuat Laura merasa gemas dan ingin mencubit pipinya.Perlahan, Laura mendekati Vani dan ingin mencoba mengakrabkan diri. Tapi sayangnya anak itu malah menjauh dari Laura karena takut."Apakah aku terlalu menyeramkan?" tanya Laura pada diri sendiri.Masih tak mau menyerah, Laura terus mencoba untuk membuat Vani mengerti bahwa dia bukanlah orang jahat."Maaf jika pertanyaanku ini sedikit tidak sopan. Tapi, apakah benar kamu pembantunya Alice?"Vani hanya diam, ia tak merespon pertanyaan Laura sedikit pun. Laura berpikir sejenak, mencoba menebak-nebak lagi."Atau keponakannya?" lanjut Laura, tapi tebakannya masih tak di jawab oleh Vani."Baiklah.
Vani memohon pada Laura agar mau membuatkan kue untuknya. Dia ingin mencicipi rasa yang sama untuk kedua kali, tapi dengan gaya yang berbeda."Maksud kamu?" heran Laura.Vani ingin kue yang kali ini dibuatkan untuknya adalah kue bolu, bukan kue kering. Sudah lama sekali Vani menginginkan kue tersebut. Sejak dulu dia memang senang sekali dengan makanan manis. Tapi semenjak tinggal bersama Alice, dia jarang sekali diberi makan. Bahkan di setiap hari ulang tahunnya, Vani tak lelah untuk menunggu hadiah kue impian yang akan Alice belikan untuknya.Dia tak berharap banyak, hanya sekedar kue murah pun juga sudah membuatnya sangat senang.Namun, Alice tak pernah menghiraukan keinginan adik kecilnya itu. Vani sudah terbiasa menunggu pemberian sang Kakak yang tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun.Merasa kasihan, Laura mengiyakan permintaan Vani. Meski dia sedikit ragu karena takut rasanya berbeda dari buatan Launa.Tanpa menunggu lama, mereka mulai membuat adonan bersama menggunakan b