Share

Chapter 6

Sejak tadi Leon masih tak merespon ketukan Laura sedikit pun.

Merasa sangat khawatir, Laura berpikir untuk membuka pintu secara diam-diam saja, meski ia tau itu bukanlah tindakan yang sopan.

"Tidak dikunci," ucap Laura.

Pintu terbuka sedikit dan Laura pun mengintip.

Melihat Leon sedang memegangi perutnya sambil membersihkan sisa-sisa darah, Laura sangat kaget dan langsung masuk ke kamar tersebut tanpa pikir panjang.

"Leon," panggil Laura pada Leon yang sedang membelakanginya. Mendengar itu, Leon terkejut dan langsung berbalik badan.

Bajunya masih berlumuran darah, dan lantai pun juga dipenuhi oleh bercak-bercak cairan berwarna merah tersebut.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Seharusnya aku yang bertanya padamu, kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sedang terluka parah dan malah mengurung diri di kamar."

Leon membuang pandangan dan menundukkan kepala. Menyadari akan Laura yang malah terus melangkah mendekatinya, Leon langsung memberi perintah untuk berhenti di tempat.

"Jangan! Jangan dekat-dekat! Nanti pakaianmu bisa kotor," tegas Leon.

"Lalu aku harus bagaimana? Apa aku harus diam saja dan membiarkanmu kesakitan, sementara kamu tidak membiarkan pakaianku kotor."

Takut percakapan mereka terdengar oleh yang lain, Leon menyuruh Laura untuk mengecilkan suara.

"Sudahlah, lebih baik sekarang kamu siap-siap saja untuk menyambut tamu penting yang akan datang. Berdandanlah yang cantik seperti biasanya. Gunakan pakaian baru yang waktu itu kamu beli. Pasti Nenek akan memperkenalkan kamu pada mereka."

"Apa kamu tidak akan ikut turun?"

"Ya, aku masih ingin sendirian di sini. Apalagi kalau aku turun, mereka akan curiga."

"Baiklah, kalau kamu tidak turun, aku juga tidak akan turun. Aku mau bersamamu saja," tekad Laura yang tidak tega membiarkan Leon sendirian.

Kemudian pria tampan tersebut bilang pasti Nek Risa akan mendatangi Laura dan membujuknya.

"Aku tidak peduli dan tetap ingin di sini bersama denganmu."

Leon menghela napas pelan, kemudian terpaksa mengiyakan permintaan Laura.

Karena masih harus membersihkan semua bercak darah yang mengotori ruangan, Leon menyuruh Laura untuk istirahat saja di ranjang miliknya.

Awalnya Laura menolak, tapi Leon terus memaksa dengan nada lembut. Kini Laura memberanikan diri untuk berbaring miring di atas ranjang mewah tersebut.

Setelah beberapa menit, ruangan sudah berhasil dibersihkan tanpa sisa sedikitpun.

Dengan cepat Leon berjalan menuju pintu lalu menguncinya. Tentu hal ini membuat Laura kaget dan panik.

"Tenang saja, aku tidak akan macam-macam. Karena jika pintunya tidak dikunci, maka Nenek akan curiga dan tahu bahwa ada orang di sini. Apalagi aku memang selalu mengunci pintu kamar setiap hendak pergi meninggalkan rumah."

Tak ingin berlama-lama, Leon bergegas melangkah ke toilet yang ada di dalam kamar dan mengganti pakaian kotornya.

Setelah selesai, Leon keluar dan duduk di tepi ranjang. Posisi mereka sekarang saling membelakangi satu sama lain.

Leon tau bahwa Laura akan risih jika dia berbaring di sebelahnya. Maka dari itu Leon memilih untuk menempatkan diri di sudut ranjang saja.

Detik demi detik terus berlalu. Tapi Laura tetap tidak bisa beristirahat dengan tenang dan langsung bangun dari baringannya.

Tak disangka, Laura malah ikut duduk di sebelah Leon sembari menyadarkan kepala di pundaknya, tapi Leon sama sekali tak melarang.

"Apa aku mengganggu istirahatmu?" tanya Leon, khawatir dugaannya benar.

Laura menggeleng dan bilang jika dia tidak bisa istirahat.

"Benarkah?" ragu Leon yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Laura.

Sekarang, mereka hanya bisa duduk berduaan sambil menatapi dunia luar dari balik kaca jendela yang ukurannya cukup besar.

"Lain kali jangan keluar rumah sendirian lagi, ya! Kalau mau pergi kemana-mana, minta saja supir untuk mengantarkanmu."

Mendengar pesan itu, Laura mulai curiga kalau sebenarnya orang yang terdengar berantem saat dijalan tadi kemungkinan besar adalah Leon.

Apalagi Leon tahu jika Laura pergi sendirian, padahal Laura tidak memberitahukannya kepada siapapun.

Dengan nada datar, Laura mencoba bertanya pada Leon tentang alasan mengapa dia bisa terluka separah ini dan siapa yang sudah melukainya.

Leon menjawab luka tersebut hanyalah luka biasa. Tapi dia tidak mau memberitahu siapa yang sudah menusukkan pisau tajam ke perutnya.

"Luka biasa dari mana? Jelas-jelas darahnya sebanyak itu. Perutmu juga pasti dipenuhi oleh kain perban, 'kan?"

Lagi-lagi Leon hanya diam dan tak menjawab sepatah katapun.

Memanfaatkan keadaan langka seperti ini, Laura yang masih menyandarkan kepalanya di bahu Leon pun bertanya mengapa Leon sering menyendiri dan menjauh dari yang lain.

"Aku sama sekali tidak menjauh dari siapa pun. Aku hanya sedang mencari ketenangan saja."

"Jika memang benar itu alasannya, berarti kita memiliki sedikit persamaan. Aku juga tidak suka berbaur dengan banyak orang karena menganggap mereka hanya akan mengganggu pikiranku. Tapi setidaknya aku masih suka menghabiskan waktu bersama orang-orang yang aku sayangi."

20 menit kemudian, para tamu telah tiba.

Semua orang yang berkepentingan di rumah itu sudah berkumpul di ruang keluarga.

Damian bertanya pada Angel di mana Leon dan tunangannya.

Dengan sigap, Angel berkata jika ia akan mengeceknya terlebih dahulu. Pertama-tama Angel mengunjungi kamar Laura, tapi tak ada siapa pun di sana.

Setelah itu, dia beranjak ke kamar Leon dan terus memanggilnya tapi tak ada jawaban.

"Padahal beberapa saat lalu, Nona Laura ada di rumah," Ujar Angel.

Nek Risa tak mempermasalahkan hal tersebut dan berkata, "Mungkin saja Laura sedang pergi bersama Leon karena ada urusan penting."

Sembari berbincang-bincang membicarakan kerja sama perusahaan mereka yang akan semakin diperpanjang hingga beberapa tahun ke depan, putri dari pemilik CG Group itu membisikkan sesuatu ditelinga sang ayah.

Ia bertanya di mana Leon, padahal dirinya meminta ikut ke sana hanya untuk bertemu pria incarannya tersebut.

Sejak dulu, wanita bernama Alice ini memang sudah mengincar Leon. Tak jarang juga dia menggodanya setiap kali mereka bertemu di sebuah pertemuan resmi.

Tak sengaja mendengarnya, Felix bilang kalau kemungkinan besar dia sedang pergi bersama tunangannya.

"Apa! Tunangan?"

Felix mengangguk sembari menunjukkan senyum ledekan. Ia ingin membuat Alice kesal dan memberi peringatan secara tidak langsung bahwa sebenarnya Leon sudah ada yang punya.

Karena kebetulan Felix duduk di sebelah Alice, ia pun mendekati bibirnya ke telinga wanita sombong tersebut.

"Tunangan Kak Leon itu cantik, baik, tidak suka marah-marah, pokoknya hampir sempurna deh."

Mendengar ucapan Felix, hati Alice semakin panas. Spontan dia menghentak meja makan dengan keras, membuat semua orang kaget.

"Ada apa, Sayang?" tanya Tuan Robert pada putri kesayangannya.

Alice tak menjawab dan hanya diam saja.

"Apa kamu tidak suka dengan makanannya? Atau ada masalah dengan menu-menu di sini?" tanya Felix, kembali meledek secara tidak langsung.

"Tidak! Tentu tidak ada masalah sama sekali," tegas Alice dengan emosi yang semakin membakar batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status