Share

Chapter 7

Dengan sangat baik Leon mempresentasikan hasil kerjanya di hadapan para klien.

Ia menjelaskan apa saja yang akan menjadi target perusahaannya untuk 5 tahun ke depan, strategi apa yang harus digunakan untuk memaksimalkan hasil, dan perkiraan resiko yang akan mereka terima.

Kebetulan di meeting kali ini ada Alice yang ikut hadir sebagai perwakilan dari perusahaan ayahnya.

Seperti biasa, Alice hanya memandangi wajah Leon. Ia bahkan sering kali memanfaatkan kesempatan yang sama hanya untuk bertemu dengannya. Meski dia tidak mengerti apa yang Leon katakan secara keseluruhan.

"Baik, sekian dari saya. Semoga pertemuan kali ini bisa menjadi pertimbangan untuk membawa perusahaan-perusahaan kita ke jenjang yang lebih baik lagi," ucap Leon menutup presentasinya.

Setelah semua sudah selesai dan tidak ada lagi yang mau dibahas, para klien pun mulai keluar ruangan satu per satu.

Kini hanya tersisa Leon dan Alice saja dalam ruangan tersebut. Dengan cuek, Leon fokus membereskan berkas-berkas yang tadi ia gunakan.

Tanpa rasa malu sedikit pun, Alice mendekati Leon dan malah memegang tangannya.

"Bagaimana kondisimu hari ini? Kenapa kamu terlihat pucat sekali?"

Tak ada niat untuk merespon, Leon tetap diam dan tidak mau melihat ke arah Alice.

Dengan tergesa-gesa, Leon melangkah cepat keluar ruangan menuju lift. Kesal karena diacuhkan, Alice berlari menghampirinya dan memeluk Leon dari belakang.

"Bisakah kamu menjaga sikap ditempat umum seperti ini?" tanya Leon dengan dingin.

"Tapi di sini tidak ada siapa-siapa, 'kan?" bantah Alice tanpa rasa bersalah.

"Kamu adalah seorang wanita. Baik itu di tempat sepi ataupun tempat ramai, seorang wanita harus bisa menjaga rasa malunya. Jika rasa malu tersebut hilang sedikit saja, maka itu hanya akan mengurangi derajatnya di mataku," cetus Leon menahan emosi.

"Ya ampun, Leon. Kamu terlalu berlebihan."

Sudah mulai kesal, Leon terus menguras pikirannya untuk menemukan cara agar bisa menyingkirkan Alice.

"Ngomong-ngomong ... bagaimana tunangan barumu itu? Pasti dia sangat menyebalkan dan tidak berguna. Iya, 'kan?"

Disaat yang bersamaan, ada seseorang dari balik dinding yang memotret mereka berdua dengan posisi Alice masih memeluk Leon.

Mendengar Laura dijelek-jelekkan oleh Alice, Leon langsung berbalik badan dan berusaha melepaskan tangan Alice dari tubuhnya.

"Tutup mulutmu atau aku akan ---"

"Kamu akan apa? Hah! Aku tau kamu tidak akan menyakiti seorang wanita. Pasti kamu juga tidak akan berani melakukan hal-hal kasar padaku. Jadi, apa yang harus aku takutkan?"

Leon menghela napas kasar.

"Alice, aku ingin kamu mengetahui akan suatu hal."

"Apa itu, Sayang? Katakan saja."

"Di dalam kehidupanku, ada satu wanita yang memang tidak berguna sama sekali. Aku bahkan sangat ingin menyingkirkan dia dari kehidupan ini."

"Cih, sudah aku tebak. Seharusnya kamu mengatakan ini sejak awal supaya aku bisa membantumu menyingkirkan tunangan barumu itu agar tidak lagi menjadi pengganggu," balas Alice penuh percaya diri.

"Tapi sayangnya bukan Laura yang aku maksud."

"Lalu?" Alice mengernyitkan dahi.

"Wanita yang aku maksud adalah kamu. Ya, kamu sama sekali tidak ada gunanya untukku. Sedangkan Laura adalah segala-galanya bagiku. Bahkan lebih dari itu, lebih dari nyawaku sekalipun," jelas Leon yang mencoba menyusun kata-kata sebaik mungkin agar tidak terlalu berlebihan dalam menghina lawannya.

"Oke! Kalau begitu, mulai sekarang jadikan aku wanitamu yang kedua. Dengan begitu, aku akan lebih berguna bagimu. Percayalah! Hanya aku yang bisa membuat kamu merasakan apa itu kemurnian cinta. Karena aku yakin tunanganmu yang lama ataupun yang baru tidak akan bisa menyentuh hatimu sedikit pun."

Tak ingin membuang-buang waktu, Leon bergegas kembali melanjutkan langkahnya menuju lift dan meninggalkan Alice sendirian.

Tapi kali ini Alice tak lagi mengejar. Ia malah tertawa dan meyakinkan diri bahwa suatu hari nanti Leon akan menyesal.

Di dalam lift, Leon kembali memegangi perutnya. Jelas rasa sakit itu masih ada, apalagi saat Alice menyentuh seenaknya. Hanya saja Leon harus tetap bersikap biasa agar tidak ada yang curiga.

***

"Huh, jam berapa ini?" ucap Laura yang baru bangun dari tidurnya.

Ia sangat terkejut saat tau dirinya masih ada di kamar Leon. Bahkan tubuhnya pun juga dibaluti oleh selimut milik pria tampan tersebut.

Dengan cepat Laura langsung beranjak dari kasur. Tiba-tiba ia melihat ada secarik kertas terlipat yang ditaruh di atas meja.

"Pintu kamar sengaja aku kunci supaya tidak ada yang mengganggu tidurmu. Kalau kamu mau keluar, ambil saja satu-satunya kunci cadangan yang sengaja aku taruh di bawah bantal. Tapi tolong diingat! Hanya kamu yang boleh menyimpan kunci cadangan ini," tulis Leon pada surat tersebut, karena tadi pagi ia tidak tega jika harus membangunkan Laura.

Seketika tulisan tangan itu membuat Laura tersenyum kecil seraya berkata, "zaman sekarang masih ada saja orang yang menyampaikan pesan melalui surat. Tapi ini benar-benar lucu. Jarang-jarang aku mendapatkan surat berupa kertas seperti ini."

Menyadari jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, Laura berniat untuk segera mandi.

Baru saja ia mengambil pakaian di kamarnya, tiba-tiba Felix menarik tangan Laura dan langsung membawanya secara paksa.

"Felix, lepaskan! Sakit."

"Kalau Kakak menolak ajakanku, maka Kakak akan merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini."

Sambil mengikuti Felix, Laura bertanya sebenarnya mau pergi kemana mereka.

Tanpa basa-basi, Felix menjawab kalau dia akan membawa Laura ke rumah sakit tempat Devano dirawat.

"Kamu serius? Dimana rumah sakitnya?" tanya Laura yang begitu antusias saat tau dirinya akan bertemu dengan sang kekasih.

Bukannya menjawab pertanyaan, Felix malah meminta Laura untuk tidak banyak bertanya karena itu hanya akan membuang-buang waktu mereka.

"Tapi aku baru saja bangun tidur dan belum mandi. Bahkan aku juga belum sempat cuci muka. Ini akan sangat memalukan jika aku terlihat sangat dekil."

"Tugasku adalah mempertemukan Kakak dengan Devano. Aku tidak peduli Kakak baru bangun tidur atau tidak. Karena bagaimana pun kondisinya, Kakak tetap akan terlihat cantik. Tidak salah jika Kak Leon memilih Kak Laura untuk menjadi Nona di rumah ini"

Setibanya di gerbang rumah, Laura melihat seorang pria yang tengah menunggu mereka berdua.

Dengan tubuh kurus tinggi, kulit yang bagus dan cerah, serta pakaian serba hitam membuat pria itu terlihat semakin tampan.

Penasaran siapa dia, Laura berbisik di telinga Felix. Tanpa ragu Felix pun menjawab kalau dia adalah Damian.

"Kakak harus memperbanyak rasa sabar saat menghadapinya, " ucap Felix, membuat mata Damian sinis dalam sekejap.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah sakit tujuan.

Dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi, Laura menangis tanpa henti saat mengetahui bahwa kondisi Devano sedang kritis.

Kini mereka hanya diperbolehkan untuk menunggu diluar ruangan saja dan belum diizinkan untuk melihat Devano sedikit pun.

Laura merasa takdir sudah tak lagi berpihak padanya. Kalau seandainya terjadi sesuatu pada Devano, Laura berkata bahwa ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Jika Tuhan tidak mengizinkan Devano untuk selamat dan malah membawanya pergi, maka aku juga ingin ikut bersamanya. Karena sekarang hanya dia satu-satunya yang aku punya."

Padahal waktu itu Devano terlihat sangat bersemangat mengantarkan Laura untuk bekerja di hari pertamanya. Senyuman pria manis itu masih teringat jelas di benak Laura.

Merasa tidak tega, Damian terus menepuk-nepuk pelan pundak Laura dan mencoba menenangkan. Dia bilang bahwa Tuhan tidak akan membiarkan takdir buruk menimpa orang baik.

Melihat tindakan Damian, Felix tidak terlalu kaget karena tau bahwa sebenarnya Damian memanglah orang yang baik dan perhatian, tapi terkadang sangat menyebalkan.

Kini mereka bertiga malah menjadi pusat perhatian dari orang-orang di sekeliling hanya karena tangisan Laura. Hal ini mendorong salah seorang wanita paruh baya untuk menghampiri Laura dan mencoba menghiburnya.

"Tangisan tidak bisa mengubah apapun, tapi doa bisa mengubah segalanya. Kalau memang kita tidak ingin kehilangan sesuatu, maka kita harus berusaha untuk menahannya agar tetap menjadi milik kita. Bukan malah meratapi dan membiarkan takdir merebut begitu saja."

Itulah inti dari perkataan si wanita paruh baya yang membuat Laura sadar apa yang harus ia lakukan sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status