Setelah kondisi semakin membaik, Laura bersama Damian dan Felix akhirnya diizinkan untuk masuk ke ruang rawat.
Tak memperdulikan keadaan sama sekali, Laura masih terus menangis di sisi Devano."Kak ...," panggil Felix, nadanya terdengar seperti orang yang sedang ketakutan."Hmm," seru Laura, masih merenung."Apa Kakak menyadari sesuatu?"Mendengar pertanyaan Felix, tentu Laura kebingungan."Kamu ngomong apaan sih? Cepat katakan saja langsung ke intinya!" cetus Laura dengan tangisannya hingga tak ingin menancapkan pandangan sama sekali kepada Felix."Tapi tolong jangan marah-marah padaku, ya! Ini semua salah Kak Damian."Laura kembali tak mengerti tentang apa yang sebenarnya ingin Felix katakan."Cepat katakan," pinta Laura sembari mengangkat kepala dan menatap wajah Felix.Felix diam, kemudian matanya melirik ke wajah pria yang tengah terbaring di ranjang pasien tersebut.Merasa heran, Laura ikut meliriknya. Dia sangat terkejut saat tau ternyata itu bukanlah Devano yang selama ini dia cari.Seketika Laura berhenti menangis. Tatapannya terus tertuju pada pria tersebut dengan penuh keheranan."Kak Damian, cepat minta maaf ...," perintah Felix dengan sedikit ketakutan. Ya, takut Laura akan memarahinya."Kenapa malah jadi aku yang disalahkan? Ini semua 'kan salah kamu.""Bukannya Kakak yang tadi bilang kalau Kakak sudah menemukan Devano?""Ya ... kamu lihat saja! Nama yang tertera memang Devano, 'kan?"Tatapan Laura dan Felix mendarat di kartu identitas pasien yang menempel."Berarti ini memang bukan salahku. Kamu sendiri yang tidak memberitahu nama panjang Devano siapa dan malah menyebutkan nama panggilannya saja. Sudah tau pria yang bernama Devano 'kan ada banyak.""Tapi apa salahnya minta maaf sebentar pada Kak Laura. Kalau memang ini kesalahan kita berdua, yang penting aku sudah minta maaf lebih dulu. Tinggal Kak Damian yang susahnya minta ampun."Mereka malah ribut di tempat. Membuat Laura semakin lelah menghadapi kakak-beradik tersebut.Di tambah lagi dirinya sudah merasa sangat malu dengan keadaannya saat ini. Berawal dari belum mandi karena terburu-buru, datang dengan penampilan seadanya, hingga menangis-nangis di depan umum."Ma---maaf ...," singkat Damian."Yang benar!" ujar Felix dengan ketus."Maaf ya, Laura," lanjut Damian yang masih terdengar tidak ikhlas saat mengatakannya.***Di tengah kesibukan kantor, Leon merasa luka di perutnya terasa semakin sakit. Padahal ia sudah meminum berbagai macam obat yang ia beli dari apotek."Bagaimana aku tidak kalah jika lawannya saja empat orang. Apalagi saat itu mereka semua membawa senjata tajam," ucap Leon pada diri sendiri."Meski lukanya tidak terlalu dalam, tapi rasa sakitnya susah sekali dihilangkan. Apa sudah seharusnya aku pergi ke dokter saja?" lanjutnya bimbang."Di dunia yang luas ini, kejahatan akan terus ada dan tidak luput dari kehidupan manusia. Hanya saja alasan mereka dalam melakukannya berbeda-beda. Tapi bagaimanapun juga, mengganggu wanita bukanlah perbuatan yang dapat dibenarkan sama sekali."Takut lukanya malah semakin parah apalagi sampai infeksi, Leon memutuskan untuk konsultasi ke dokter langganan saja. Apalagi semua pekerjaannya di hari tersebut juga sudah diselesaikan.Setibanya di rumah sakit, Leon melihat Laura bersama dengan dua orang adiknya. Tapi Leon hanya memasang wajah dingin dan tak memberi sapaan sedikit pun.Damian dan Felix yang belum menyadari kehadiran Leon, masih terus mempermasalahkan hal memalukan sebelumnya. Sementara Laura tertunduk bisu sambil memikirkan keberadaan Devano sekarang.Karena mereka jalannya berlawanan dengan arah Leon, membuat Damian tak sengaja menabrak pundak saudaranya tersebut.Damian yang sedang kesal pun hampir saja melayangkan amarah pada Leon karena belum tau siapa yang ia tabrak.Namun, setelah melihat wajah Leon dengan mata sinis yang selalu ditunjukkan, seketika Damian tak jadi mengeluarkan ocehannya dan malah menunjukkan senyuman seribu maut.Melihat mata Laura yang sembab, Leon pun langsung bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Laura."Apa kamu sedang sakit?" lemparan pertanyaan singkat dari seorang Leon Halton.Ingin menjadi pahlawan dadakan, Damian memberanikan diri untuk angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa semua ini adalah kesalahannya.Seketika bola mata Laura dan Felix menajam. Mereka kira Damian akan mengatakan yang sebenarnya pada Leon. Tapi ternyata dugaan mereka salah."Tadi aku tak sengaja menjatuhkan Laura hingga membuat kakinya terkilir. Sebagai pria yang bertanggung jawab, tentu aku bergegas membawa Laura ke sini agar bisa cepat-cepat mendapat pertolongan. Hanya saja ... Felix malah ikut-ikutan tidak jelas."Damian menjelaskan kebohongan tersebut dengan ekspresi yang seolah-olah ingin sekali mendapat pujian dari Leon."Loh, kok jadi aku?" kaget Felix yang malah disalahkan."Oh, gitu. Tapi dari tadi aku perhatikan sepertinya kaki Laura tidak ada masalah. Jalannya pun juga normal." Leon melirik ke arah kaki mulus milik wanita cantik yang ada di hadapannya.Dalam sekejap, Felix dan Damian saling melempar tatapan satu sama lain.Seolah-olah Damian memberi kode agar Felix saja yang menjawabnya. Apalagi Felix adalah adik kesayangan Leon, tentu akan lebih mudah untuk dipercaya."Uhuk uhuk!" Felix membuka percakapan dengan batuk bergaya."Jadi gini, Kak. Apa yang dikatakan oleh Kak Damian memanglah benar. Dia menjatuhkan Kak Laura hingga membuat kakinya tak bisa berjalan. Apalagi Kak Laura sampai menangis histeris menahan sakit yang luar biasa. Oleh karena itulah mata Kak Laura jadi sembap. Menurutku ... orang seperti Kak Damian memang sudah seharusnya diberi pelajaran."Awalnya Damian sangat percaya diri. Tapi dia malah dibuat tersentak saat Felix berbalik menyalahkan dirinya. Padahal niat awal dia mencari alasan tersebut hanya agar Leon memberikan pujian padanya."Tapi keadaan sudah membaik saat dokter memijat kaki Kak Laura. Benar, 'kan?" Felix menatap Laura dengan senyum manis."Oh ... jadi di rumah sakit ini sudah ada dokter yang beralih profesi menjadi tukang pijat. Bagus sekali, berbeda dari rumah sakit yang lainnya. Kalau begitu, tolong katakan siapa nama dokter yang kamu maksud.Barang kali aku mengenalnya," lanjut Leon yang masih tak percaya pada kedua adiknya.Tak ingin melibatkan masalah besar pada Damian dan Felix, Laura pun turun tangan dan membuat alasan tersendiri.Laura menjelaskan kalau awalnya ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Bahkan untuk berjalan saja sempoyongan.Menyadari hal itu, Felix dan Damian bergegas membawa dia ke rumah sakit terdekat.Tapi setibanya disana, seketika sakit kepala Laura mulai mereda dan memilih untuk kembali pulang saja."Lagi pula kamu sendiri yang bilang bahwa aku tidak boleh pergi sendirian, 'kan?"Hingga saat ini hanya pernyataan Laura sajalah yang dapat Leon percaya."Kalau kamu sendiri, sedang apa di sini?" tanya Laura dengan mata berbinar.Sama seperti mereka yang sedang menutupi kebenaran, Leon ikut berbohong dan mengatakan kalau ia ingin menjenguk salah satu teman kantornya yang sedang di rawat.Walaupun Leon sadar kebohongan bukanlah hal yang dapat dibenarkan, tapi kali ini dia sangat membutuhkannya agar Laura tak tau jika luka yang Leon alami belum juga membaik.Tentu ucapan Leon tak membuat mereka curiga sedikit pun dan percaya begitu saja.Tidak mau berlama-lama lagi, Leon segera menyuruh mereka untuk pulang dan membiarkan Laura istirahat di rumah."Jaga dirimu baik-baik. Kesehatan adalah pemberian yang tidak bisa didapatkan oleh semua orang. Kalau tidak terlalu penting, jangan memaksakan hal-hal yang tidak berguna apalagi sampai membuat kesehatanmu menurun.""I---iya, Leon."Dengan cepat Felix dan Damian bergegas menarik tangan Laura dan menuntunnya menuju keluar rumah sakit.Sembari berjalan menyusuri lorong, Laura sempat menoleh ke belakang dan menatapi pria tampan yang selalu memperhatikannya."Benarkah dia mau menemui temannya yang sedang sakit?" tanya Laura pada diri sendiri, tapi tak dia hiraukan lagi.Seperti biasa, Leon tidak suka diperiksa lama-lama. Ia meminta sang dokter untuk mempercepat pemeriksaan.Dokter yang sudah kenal cukup lama dengan CEO Halton Group ini pun menyayangkan keadaan.Ia bilang harusnya Leon datang ke sana lebih awal, tepatnya setelah luka itu baru saja didapatkan. Dengan begitu, kemungkinan besar luka Leon tak separah ini."Syukurlah luka Anda masih bisa diobati," tutur si dokter dengan ramah."Oh iya, satu lagi! Jika rasa sakitnya tak kunjung hilang, silakan segera datang kembali ke sini secepat mungkin untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut," seru dokter seraya menggoreskan tinta pulpennya pada secarik kertas resep obat.Setelah tak ada lagi yang perlu dibicarakan, dengan senang hati Leon menerima resep obat tersebut."Terima kasih," ujar Leon yang kemudian beranjak untuk pergi.Keesokan hari.Leon tengah memakai dasi di depan cermin dengan Angel yang berada di sebelahnya. Sepertinya biasa, Angel selalu melayani Leon dengan sangat baik setiap kali he
Dengan fokus tingkat tinggi, Leon masih meladeni si hacker dengan penuh semangat yang membara."Hebat juga dia. Bisa-bisanya dia melawan diriku, seorang hacker yang tak mudah dikalahkan oleh orang lain," ujar seseorang yang menjadi pihak bayaran dari perusahaan pesaing.Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Yang namanya seorang ahli, pasti akan menguasai hal di bidangnya. Sama seperti hacker yang sedang meretas perusahaan Leon. Tentu kemampuan dan keahliannya membuat dia berhasil mendapatkan data-data penting dari Halton Group."HAHAHA!" tawa hacker dengan keras, walau tak bisa di dengar oleh siapapun, apalagi Leon.Melihat kehebatan lawan, Leon mulai menghentikan jarinya dan tersenyum kecil. Ya, senyuman yang belum pernah dia tunjukkan pada siapa pun, kecuali saat dirinya sedang sendirian saja.Leon sangat paham bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya sia-sia. Begitu pun dengan usaha dia kali ini. Kekalahan Leon bukanlah masalah baginya. Justru dengan begini, Leon dapat mengeta
Sesampainya di lokasi, Laura dan Leon hendak memasuki gedung besar yang ada di depan mereka.Melihat semua tamu datang bergandengan tangan dengan pasangan masing-masing, membuat Laura teringat akan Devano. Ia kembali memikirkan di mana keberadaan kekasihnya itu."Bolehkah aku menggandeng tanganmu juga?" izin Leon dengan sangat lembut.Laura yang tidak keberatan pun mengangguk senyum. Tanpa berlama-lama lagi mereka bergegas masuk ke dalam gedung pernikahan tersebut.Dengan segera Leon mengajak Laura untuk bersalaman dengan pengantinnya terlebih dahulu. Lagi-lagi Laura hanya nurut saja dan tidak membantah perintah dari pria yang ada di sampingnya.Mereka menuju kedua mempelai, kemudian bersalaman dan berbincang-bincang kecil. Leon memperkenalkan pada Laura bahwa mempelai pria ini adalah rekan kerjanya. Mereka sudah saling kenal cukup lama.Setelah selesai menyapa, dengan ramahnya si pengantin wanita menyuruh Laura dan Leon untuk segera menduduki kursi tamu dan menyantap hidangan yang s
Alice melihat Laura sudah tak menunjukkan respon lagi. Tak mau perbuatannya di ketahui oleh orang lain, dia memanggil supir yang sejak tadi ada di dekatnya.Alice berjanji akan membayar gaji sang supir sebanyak tiga kali lipat bulan ini asalkan dia mau membantunya untuk mengeluarkan Laura dari kolam dan segera membawanya ke mobil.Sebelum itu Alice sempat bertanya terlebih dahulu apakah di luar penjaganya masih banyak seperti saat dia baru datang atau sudah tidak ada. Si supir menjawab bahwa memang masih ada penjaga, tapi tidak banyak dan hanya sekitar 1 atau 2 orang saja.Alice bilang itu adalah hal yang mudah. Ia tinggal menyogok saja dan masalah langsung selesai.Sambil mengikuti si supir yang sedang membawa Laura, Alice mengeluarkan ponsel milik Laura dari dalam tas yang tadi dia rebut. "Syukurlah tidak di kasih password," kata Alice.Dengan terburu-buru, dia mencari kontak Leon di ponsel tersebut dan berniat mengirimkan pesan palsu padanya."Leon, maaf jika aku membuatmu menung
Saat Alice sudah meninggalkan tempat, Laura segera berlari menuju pintu dan berusaha membukanya. Tapi karena pintu tersebut telah dikunci dari luar, maka tidak akan ada yang bisa membukanya kecuali kunci itu sendiri. Laura sudah kelelahan dan mulai pasrah.Dengan wajah imut, Vani menatapi Laura. Ia duduk di sebelah Laura dengan sangat manis, membuat Laura merasa gemas dan ingin mencubit pipinya.Perlahan, Laura mendekati Vani dan ingin mencoba mengakrabkan diri. Tapi sayangnya anak itu malah menjauh dari Laura karena takut."Apakah aku terlalu menyeramkan?" tanya Laura pada diri sendiri.Masih tak mau menyerah, Laura terus mencoba untuk membuat Vani mengerti bahwa dia bukanlah orang jahat."Maaf jika pertanyaanku ini sedikit tidak sopan. Tapi, apakah benar kamu pembantunya Alice?"Vani hanya diam, ia tak merespon pertanyaan Laura sedikit pun. Laura berpikir sejenak, mencoba menebak-nebak lagi."Atau keponakannya?" lanjut Laura, tapi tebakannya masih tak di jawab oleh Vani."Baiklah.
Vani memohon pada Laura agar mau membuatkan kue untuknya. Dia ingin mencicipi rasa yang sama untuk kedua kali, tapi dengan gaya yang berbeda."Maksud kamu?" heran Laura.Vani ingin kue yang kali ini dibuatkan untuknya adalah kue bolu, bukan kue kering. Sudah lama sekali Vani menginginkan kue tersebut. Sejak dulu dia memang senang sekali dengan makanan manis. Tapi semenjak tinggal bersama Alice, dia jarang sekali diberi makan. Bahkan di setiap hari ulang tahunnya, Vani tak lelah untuk menunggu hadiah kue impian yang akan Alice belikan untuknya.Dia tak berharap banyak, hanya sekedar kue murah pun juga sudah membuatnya sangat senang.Namun, Alice tak pernah menghiraukan keinginan adik kecilnya itu. Vani sudah terbiasa menunggu pemberian sang Kakak yang tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun.Merasa kasihan, Laura mengiyakan permintaan Vani. Meski dia sedikit ragu karena takut rasanya berbeda dari buatan Launa.Tanpa menunggu lama, mereka mulai membuat adonan bersama menggunakan b
Nek Risa berkata bahwa ia ingin Laura kembali ke rumah ini. Dia juga meminta Leon agar menjadikan Laura sebagai pasangan hidupnya suatu hari nanti karena tau bahwa Laura adalah wanita baik-baik.Leon hanya diam dan tak merespon. Ia tidak yakin bisa memenuhi keinginan tersebut. Apalagi Leon sadar bahwa Laura tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Kebaikan dan perhatian Laura selama ini hanyalah cermin dari sikapnya saja, bukan karena sebuah perasaan.Leon hampir stres saat itu juga. Di satu sisi, dia harus mencari Laura agar bisa membuat neneknya senang. Di sisi lain, kondisi Nek Risa sudah semakin parah dengan banyaknya permintaan yang ia lontarkan.Ingin menenangkan diri, Leon pamit untuk keluar dan menyuruh sang nenek agar beristirahat.Seminggu kemudian, Laura terlihat tengah membereskan ruang makan di apartemen milik Alice. Jika dia tidak memenuhi perintah Alice , maka Laura takut malah Vanilah yang akan mendapat imbasnya.Dengan pikiran tak karuan, Laura terus mencari cara bag
Nek Risa berkata bahwa ia ingin Laura kembali ke rumah ini. Dia juga meminta Leon agar menjadikan Laura sebagai pasangan hidupnya suatu hari nanti karena tau bahwa Laura adalah wanita baik-baik.Leon hanya diam dan tak merespon. Ia tidak yakin bisa memenuhi keinginan tersebut. Apalagi Leon sadar bahwa Laura tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Kebaikan dan perhatian Laura selama ini hanyalah cermin dari sikapnya saja, bukan karena sebuah perasaan.Leon hampir stres saat itu juga. Di satu sisi, dia harus mencari Laura agar bisa membuat neneknya senang. Di sisi lain, kondisi Nek Risa sudah semakin parah dengan banyaknya permintaan yang ia lontarkan.Ingin menenangkan diri, Leon pamit untuk keluar dan menyuruh sang nenek agar beristirahat.Seminggu kemudian, Laura terlihat tengah membereskan ruang makan di apartemen milik Alice. Jika dia tidak memenuhi perintah Alice , maka Laura takut malah Vanilah yang akan mendapat imbasnya.Dengan pikiran tak karuan, Laura terus mencari cara baga