Share

Chapter 8

Setelah kondisi semakin membaik, Laura bersama Damian dan Felix akhirnya diizinkan untuk masuk ke ruang rawat.

Tak memperdulikan keadaan sama sekali, Laura masih terus menangis di sisi Devano.

"Kak ...," panggil Felix, nadanya terdengar seperti orang yang sedang ketakutan.

"Hmm," seru Laura, masih merenung.

"Apa Kakak menyadari sesuatu?"

Mendengar pertanyaan Felix, tentu Laura kebingungan.

"Kamu ngomong apaan sih? Cepat katakan saja langsung ke intinya!" cetus Laura dengan tangisannya hingga tak ingin menancapkan pandangan sama sekali kepada Felix.

"Tapi tolong jangan marah-marah padaku, ya! Ini semua salah Kak Damian."

Laura kembali tak mengerti tentang apa yang sebenarnya ingin Felix katakan.

"Cepat katakan," pinta Laura sembari mengangkat kepala dan menatap wajah Felix.

Felix diam, kemudian matanya melirik ke wajah pria yang tengah terbaring di ranjang pasien tersebut.

Merasa heran, Laura ikut meliriknya. Dia sangat terkejut saat tau ternyata itu bukanlah Devano yang selama ini dia cari.

Seketika Laura berhenti menangis. Tatapannya terus tertuju pada pria tersebut dengan penuh keheranan.

"Kak Damian, cepat minta maaf ...," perintah Felix dengan sedikit ketakutan. Ya, takut Laura akan memarahinya.

"Kenapa malah jadi aku yang disalahkan? Ini semua 'kan salah kamu."

"Bukannya Kakak yang tadi bilang kalau Kakak sudah menemukan Devano?"

"Ya ... kamu lihat saja! Nama yang tertera memang Devano, 'kan?"

Tatapan Laura dan Felix mendarat di kartu identitas pasien yang menempel.

"Berarti ini memang bukan salahku. Kamu sendiri yang tidak memberitahu nama panjang Devano siapa dan malah menyebutkan nama panggilannya saja. Sudah tau pria yang bernama Devano 'kan ada banyak."

"Tapi apa salahnya minta maaf sebentar pada Kak Laura. Kalau memang ini kesalahan kita berdua, yang penting aku sudah minta maaf lebih dulu. Tinggal Kak Damian yang susahnya minta ampun."

Mereka malah ribut di tempat. Membuat Laura semakin lelah menghadapi kakak-beradik tersebut.

Di tambah lagi dirinya sudah merasa sangat malu dengan keadaannya saat ini. Berawal dari belum mandi karena terburu-buru, datang dengan penampilan seadanya, hingga menangis-nangis di depan umum.

"Ma---maaf ...," singkat Damian.

"Yang benar!" ujar Felix dengan ketus.

"Maaf ya, Laura," lanjut Damian yang masih terdengar tidak ikhlas saat mengatakannya.

***

Di tengah kesibukan kantor, Leon merasa luka di perutnya terasa semakin sakit. Padahal ia sudah meminum berbagai macam obat yang ia beli dari apotek.

"Bagaimana aku tidak kalah jika lawannya saja empat orang. Apalagi saat itu mereka semua membawa senjata tajam," ucap Leon pada diri sendiri.

"Meski lukanya tidak terlalu dalam, tapi rasa sakitnya susah sekali dihilangkan. Apa sudah seharusnya aku pergi ke dokter saja?" lanjutnya bimbang.

"Di dunia yang luas ini, kejahatan akan terus ada dan tidak luput dari kehidupan manusia. Hanya saja alasan mereka dalam melakukannya berbeda-beda. Tapi bagaimanapun juga, mengganggu wanita bukanlah perbuatan yang dapat dibenarkan sama sekali."

Takut lukanya malah semakin parah apalagi sampai infeksi, Leon memutuskan untuk konsultasi ke dokter langganan saja. Apalagi semua pekerjaannya di hari tersebut juga sudah diselesaikan.

Setibanya di rumah sakit, Leon melihat Laura bersama dengan dua orang adiknya. Tapi Leon hanya memasang wajah dingin dan tak memberi sapaan sedikit pun.

Damian dan Felix yang belum menyadari kehadiran Leon, masih terus mempermasalahkan hal memalukan sebelumnya. Sementara Laura tertunduk bisu sambil memikirkan keberadaan Devano sekarang.

Karena mereka jalannya berlawanan dengan arah Leon, membuat Damian tak sengaja menabrak pundak saudaranya tersebut.

Damian yang sedang kesal pun hampir saja melayangkan amarah pada Leon karena belum tau siapa yang ia tabrak.

Namun, setelah melihat wajah Leon dengan mata sinis yang selalu ditunjukkan, seketika Damian tak jadi mengeluarkan ocehannya dan malah menunjukkan senyuman seribu maut.

Melihat mata Laura yang sembab, Leon pun langsung bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Laura.

"Apa kamu sedang sakit?" lemparan pertanyaan singkat dari seorang Leon Halton.

Ingin menjadi pahlawan dadakan, Damian memberanikan diri untuk angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa semua ini adalah kesalahannya.

Seketika bola mata Laura dan Felix menajam. Mereka kira Damian akan mengatakan yang sebenarnya pada Leon. Tapi ternyata dugaan mereka salah.

"Tadi aku tak sengaja menjatuhkan Laura hingga membuat kakinya terkilir. Sebagai pria yang bertanggung jawab, tentu aku bergegas membawa Laura ke sini agar bisa cepat-cepat mendapat pertolongan. Hanya saja ... Felix malah ikut-ikutan tidak jelas."

Damian menjelaskan kebohongan tersebut dengan ekspresi yang seolah-olah ingin sekali mendapat pujian dari Leon.

"Loh, kok jadi aku?" kaget Felix yang malah disalahkan.

"Oh, gitu. Tapi dari tadi aku perhatikan sepertinya kaki Laura tidak ada masalah. Jalannya pun juga normal." Leon melirik ke arah kaki mulus milik wanita cantik yang ada di hadapannya.

Dalam sekejap, Felix dan Damian saling melempar tatapan satu sama lain.

Seolah-olah Damian memberi kode agar Felix saja yang menjawabnya. Apalagi Felix adalah adik kesayangan Leon, tentu akan lebih mudah untuk dipercaya.

"Uhuk uhuk!" Felix membuka percakapan dengan batuk bergaya.

"Jadi gini, Kak. Apa yang dikatakan oleh Kak Damian memanglah benar. Dia menjatuhkan Kak Laura hingga membuat kakinya tak bisa berjalan. Apalagi Kak Laura sampai menangis histeris menahan sakit yang luar biasa. Oleh karena itulah mata Kak Laura jadi sembap. Menurutku ... orang seperti Kak Damian memang sudah seharusnya diberi pelajaran."

Awalnya Damian sangat percaya diri. Tapi dia malah dibuat tersentak saat Felix berbalik menyalahkan dirinya. Padahal niat awal dia mencari alasan tersebut hanya agar Leon memberikan pujian padanya.

"Tapi keadaan sudah membaik saat dokter memijat kaki Kak Laura. Benar, 'kan?" Felix menatap Laura dengan senyum manis.

"Oh ... jadi di rumah sakit ini sudah ada dokter yang beralih profesi menjadi tukang pijat. Bagus sekali, berbeda dari rumah sakit yang lainnya. Kalau begitu, tolong katakan siapa nama dokter yang kamu maksud.

Barang kali aku mengenalnya," lanjut Leon yang masih tak percaya pada kedua adiknya.

Tak ingin melibatkan masalah besar pada Damian dan Felix, Laura pun turun tangan dan membuat alasan tersendiri.

Laura menjelaskan kalau awalnya ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Bahkan untuk berjalan saja sempoyongan.

Menyadari hal itu, Felix dan Damian bergegas membawa dia ke rumah sakit terdekat.

Tapi setibanya disana, seketika sakit kepala Laura mulai mereda dan memilih untuk kembali pulang saja.

"Lagi pula kamu sendiri yang bilang bahwa aku tidak boleh pergi sendirian, 'kan?"

Hingga saat ini hanya pernyataan Laura sajalah yang dapat Leon percaya.

"Kalau kamu sendiri, sedang apa di sini?" tanya Laura dengan mata berbinar.

Sama seperti mereka yang sedang menutupi kebenaran, Leon ikut berbohong dan mengatakan kalau ia ingin menjenguk salah satu teman kantornya yang sedang di rawat.

Walaupun Leon sadar kebohongan bukanlah hal yang dapat dibenarkan, tapi kali ini dia sangat membutuhkannya agar Laura tak tau jika luka yang Leon alami belum juga membaik.

Tentu ucapan Leon tak membuat mereka curiga sedikit pun dan percaya begitu saja.

Tidak mau berlama-lama lagi, Leon segera menyuruh mereka untuk pulang dan membiarkan Laura istirahat di rumah.

"Jaga dirimu baik-baik. Kesehatan adalah pemberian yang tidak bisa didapatkan oleh semua orang. Kalau tidak terlalu penting, jangan memaksakan hal-hal yang tidak berguna apalagi sampai membuat kesehatanmu menurun."

"I---iya, Leon."

Dengan cepat Felix dan Damian bergegas menarik tangan Laura dan menuntunnya menuju keluar rumah sakit.

Sembari berjalan menyusuri lorong, Laura sempat menoleh ke belakang dan menatapi pria tampan yang selalu memperhatikannya.

"Benarkah dia mau menemui temannya yang sedang sakit?" tanya Laura pada diri sendiri, tapi tak dia hiraukan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status