Share

Chapter 12

Alice melihat Laura sudah tak menunjukkan respon lagi. Tak mau perbuatannya di ketahui oleh orang lain, dia memanggil supir yang sejak tadi ada di dekatnya.

Alice berjanji akan membayar gaji sang supir sebanyak tiga kali lipat bulan ini asalkan dia mau membantunya untuk mengeluarkan Laura dari kolam dan segera membawanya ke mobil.

Sebelum itu Alice sempat bertanya terlebih dahulu apakah di luar penjaganya masih banyak seperti saat dia baru datang atau sudah tidak ada.

Si supir menjawab bahwa memang masih ada penjaga, tapi tidak banyak dan hanya sekitar 1 atau 2 orang saja.

Alice bilang itu adalah hal yang mudah. Ia tinggal menyogok saja dan masalah langsung selesai.

Sambil mengikuti si supir yang sedang membawa Laura, Alice mengeluarkan ponsel milik Laura dari dalam tas yang tadi dia rebut.

"Syukurlah tidak di kasih password," kata Alice.

Dengan terburu-buru, dia mencari kontak Leon di ponsel tersebut dan berniat mengirimkan pesan palsu padanya.

"Leon, maaf jika aku membuatmu menunggu. Tadi saat keluar dari toilet, aku tak sengaja terpeleset dan malah tercebur ke kolam. Sekarang bajuku basah kuyup. Karena tidak mau mobilmu basah, akhirnya aku memesan taxi saja. Kamu pulanglah lebih dulu," tulis Alice yang sudah memikirkannya sejak tadi.

Leon yang memang sedang menunggu Laura untuk berpamitan dengan pengantin, merasa ada notifikasi masuk. Apalagi bunyi notifikasi dari Laura sengaja dia bedakan dengan notifikasi lainnya.

Membaca chat tersebut membuat Leon sedikit gelisah. Ia takut terjadi apa-apa pada Laura. Apalagi Nek Risa juga sangat menyayanginya, dan dia juga tidak mau masalah buruk menimpa wanita yang selama ini ia kagumi.

"Oke. Tapi setidaknya kirimlah lokasimu saat ini agar aku bisa memantau posisi kamu sekarang," balas Leon.

Tetapi sayangnya pesan tersebut hanya dibaca saja oleh Alice dan tidak di balas satu kata pun.

"Tenang saja, Leon. Wanitamu ini sedang bersamaku. Lokasinya sekarang memang masih ada di dunia, tapi tidak tahu nanti. Kita lihat saja, Sayang!" ujar Alice dalam hati.

Menyadari jika pesannya dibaca tetapi tidak dibalas, kepanikan Leon semakin meningkat. Dia terus menghubungi nomor Laura, tapi sayangnya tak ada satu pun yang di jawab.

Dengan segera Leon berlari keluar gedung dan tergesa-gesa untuk kembali ke rumah.

Meski rasa sakit pada perutnya masih sedikit terasa, tapi ia tak lagi peduli. Pikirannya sudah terfokus pada tunangan palsunya tersebut.

Setibanya di rumah, Leon langsung menemui Damian yang sedang berada di dekatnya.

"Damian, apa Laura sudah pulang?" tanya Leon.

Damian terlihat kebingungan, karena kebetulan dia baru saja sampai rumah setelah seharian mengurus bisnisnya yang sedang ramai.

Leon langsung mengabaikan respon dari Damian dan beralih ke kamar Laura, tapi tak ada siapa-siapa di sana.

Pada saat yang sama, Angel lewat di hadapan Leon dengan menundukkan kepala, menunjukkan kesopanannya pada sang majikan.

Tanpa basa-basi Leon pun langsung bertanya pada Angel apakah Laura sudah pulang atau belum.

"Sepertinya saya belum melihat Nona, Tuan. Padahal sejak tadi saya sedang menyiram tanaman di halaman depan, tapi saya tidak melihat Nona Laura datang."

Penjelasan Angel membuat Leon semakin panik, tapi ia mencoba untuk tetap berpikir positif.

Di ruang tengah, Leon duduk di sofa dengan kaki menyilang, didampingi oleh Nek Risa di sebelahnya.

"Sudah, jangan terlalu di pikirkan. Mungkin taxi yang dia tumpangi sedang mengalami macet. Lebih baik kita tunggu saja lagi. Kalau belum sampai juga, baru kamu mencarinya," ujar Nek Risa yang tak mau cucunya terus terlihat panik seperti ini meski dalam hati dia juga merasa khawatir.

"Iya, Nek," jawab Leon singkat.

Tanpa disadari oleh siapa pun, ternyata diam-diam Leon tetap menyuruh para anak buahnya untuk mencari Laura menggunakan beberapa mobil yang sudah ia fasilitasi.

"Kalau memang benar taxi itu mengalami macet di jalan, harusnya Laura menghubungiku, atau minimal telepon dariku di angkat terlebih dahulu," seru batin Leon.

"Apa mungkin baterai ponselnya habis? Hmm ... sepertinya juga tidak," lanjut Leon yang masih menebak-nebak.

Sudah tak bisa mengendalikan pikiran, kini Leon malah berpikir bahwa bisa saja Laura berniat melarikan diri darinya.

Tapi dugaan Leon kembali dibantah oleh kepercayaan akan Laura yang sudah ia tanam dalam hati. Leon tau bahwa Laura bukan orang yang akan lari dari tanggung jawab.

"Mungkin di awal pertemuan, dia memang sempat berniat kabur. Tapi setelah itu Laura yang bilang sendiri kalau dia sudah sadar bahwa dirinya harus memenuhi tugas sebagai tunangan palsuku. Jadi tidak mungkin kalau sekarang dia malah berubah pikiran secara tiba-tiba."

Detik demi detik terus berlalu. Sekarang waktu sudah masuk ke hari berikutnya, tapi Laura tak kunjung datang.

"Bahkan sampai pagi ini pun Kak Laura belum pulang juga. Apa jangan-jangan dia melarikan diri? Tapi aku yakin Kak Laura tidak akan mengingkari kerja sama yang telah kita buat beberapa saat lalu." Felix memandangi Leon yang masih duduk di sofa tersebut dari kejauhan.

"Sejak semalam Kak Leon terus diam di tempat dan masih menunggu Kak Laura. Setiap kali ia ingin pergi mencarinya, Nenek selalu melarang bahkan hingga pagi ini," lanjut Felix.

***

Di apartemen milik Alice, terlihat Laura yang tengah terbaring tak sadarkan diri.

Tanpa rasa kemanusiaan sedikit pun, Alice menampar wajah Laura berulang kali hanya untuk membangunkannya. Setelah Laura membuka mata, Alice malah tertawa.

"Hahaha, masih hidup ternyata. Aku kira kamu sudah mati. Hebat juga, ya."

Laura terkejut saat tau dirinya sedang berada di tempat asing bersama dengan wanita kejam ini.

Tanpa basa-basi Laura langsung berdiri meskipun tubuhnya masih sangat lemas.

"Selamat datang di apartemenku," tutur Alice yang seolah-olah sedang menyambut Laura atas kedatangannya.

Setelah beberapa menit, akhirnya Laura dapat mengingat apa yang baru saja ia alami. Padahal tadi malam dirinya masih berada di gedung pernikahan bersama Leon.

Clap, clap, clap!!

Seketika Alice menepuk kedua tangannya beberapa kali seperti sedang memanggil seseorang. Benar saja, tidak lama kemudian datanglah seorang gadis kecil yang sangat manis.

Dengan wajah polosnya, anak itu berdiri tegap menghadap wanita kejam yang ada di depannya. Ia diam saja dengan mata bulat yang tak berani menatap wajah Alice.

"Hei, Vani! Mana kuncinya?" mendadak Alice memarahi anak itu karena tidak membawakan apa yang dia minta.

Dengan penuh ketakutan yang menyelimuti diri, si anak langsung berbalik badan dan terburu-buru mengambil kunci apartemen yang Alice inginkan.

Setelah kunci tersebut sampai ke tangan Alice, ia langsung berpesan agar anak itu menjaga apartemen seperti biasanya.

"Jangan biarkan wanita ini kabur. Kalau dia mau melarikan diri, suruh saja lompat lewat jendela supaya cepat-cepat sampai ke akhirat."

Anak itu hanya mengangguk pasrah. Dalam hati Laura terus timbul pertanyaan mengenai siapa gadis kecil ini.

"Apa dia pembantu Alice? Jika memang benar, bukankah usianya masih terlalu kecil?" tanya Laura dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status