Vani terlihat sangat gembira mendapatkan teman baru yang selama ini ia inginkan. Dengan antusiasnya gadis kecil itu memainkan boneka-boneka yang sudah rusak parah bersama dengan Laura.Meski tanpa bicara apa pun, Laura dapat melihat kegembiraan luar biasa di mata bulatnya Vani.BRAKK!!Tiba-tiba Alice datang mendobrak pintu, membuat Laura dan Vani terkejut. Tak ada angin tak ada hujan, Alice terus tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah sedang ada lelucon yang berhasil mengocok perutnya."Hei, Laura!" teriak Alice memanggil nama wanita yang tengah duduk di karpet berbulu.Laura melirik dengan sinis, tak mau menyahut."Aku punya kabar gembira untukmu," seru Alice mendekat ke arah Laura.Laura pun dibuat keheranan, kabar apa yang Alice maksud."Si Nenek tua itu akhirnya mati. Woah, keren banget gak tuh?" ujar Alice masih dengan tawanya.Seketika Laura membuka mulut dengan spontan, dan matanya juga terbuka lebar. Ia masih mencoba berpikir positif dan berharap bukanlah Nek Risa yang Alice ma
Alice menyuruh Leon agar duduk terlebih dahulu, sementara dia akan ke dapur untuk mengambil minuman sebentar."Baiklah," ujar Leon pelan seraya melayangkan tatapan ke arah televisi Alice yang masih menyala.Dengan cepat Alice pun bergegas pergi. Ia menyuruh Laura untuk menuangkan minuman bersoda yang ada di kulkas ke dalam sebuah gelas.Laura dan Vani yang tengah mencuci piring pun dibuat keheranan melihat gerak-gerik Alice yang begitu gugup. "Untuk siapa?" tanya Laura penuh kecurigaan."Bukan urusanmu. Cepat lakukan saja!" balas Alice yang malah memarahi.Laura membersihkan tangannya yang dipenuhi sabun dan segera melakukan apa yang Alice perintahkan. Sedangkan Vani masih menyusun piring-piring yang baru saja dicuci ke dalam rak piring.Setelah selesai, Laura memberikan gelas tersebut pada Alice. Tak sengaja jarinya menyentuh tangan Alice dan terasa sangat dingin."Alice terlihat sedang ketakutan, ada apa sebenarnya?" tanya Laura dalam hati.Sebelum pergi, Alice menyuruh Laura dan V
Setelah kembali ke kediaman Halton, Laura menjalani hari seperti biasanya. Melihat pakaian kotor menumpuk, dengan segera tangannya tergerak untuk mencuci.Setelah semua selesai, Laura senam kecil terlebih dahulu sebelum membawa wadah besar berisi pakaian yang hendak ia jemur.Laura pun menguatkan kedua lengan untuk membawa wadah tersebut ke halaman belakang. Kebetulan di sebelah taman memang ada tempat khusus untuk menjemur.Mengibaskan pakaian basah itu dengan sangat indah, seolah-olah sedang berada di sebuah istana."Huh! Akhirnya selesai juga," ucap seorang Laura sembari mengusap dahi dengan pelan.Di saat yang bersamaan, tak sengaja dirinya melihat seorang pria tampan yang tengah duduk santai di kursi taman, tidak jauh dari posisinya saat ini.Diam-diam dipenuhi rasa penasaran, Laura terus mengintip. Ia penasaran siapa pria yang tengah membaca buku beserta headset yang menutupi telinganya.Berharap Laura dapat mengenal dia secara langsung, Laura pun mulai mencari perhatian. Dia ta
Laura dan Leon tengah berbelanja sayuran beserta kebutuhan mingguan di sebuah pasar tradisional yang tidak jauh dari rumah Leon.Sudah lama Laura tidak menginjakkan kaki di tempat yang biasanya ia datangi setiap hari.Leon sengaja menyuruh Angel untuk menyerahkan tugasnya kali ini kepada dirinya agar ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama Laura.Bahkan Leon sampai rela tak memakai mobil dan datang ke sana dengan berjalan kaki. Semua ini ia lakukan hanya demi waktu berharga yang baginya sangat tidak boleh dilewatkan.Laura terus memilih beberapa sayuran yang menurutnya terbaik. Mulai dari warnanya yang terlihat sudah matang, teksturnya, hingga ukurannya pun Laura perhatikan dengan sangat detail."Ini, Pak," ucap Laura seraya memberikan belanjaannya kepada si penjual."Totalnya enam ratus lima puluh ribu rupiah, Nona," jawab sang penjual setelah selesai menghitung keseluruhan."Kenapa mahal sekali? Biasanya aku berbelanja dengan bahan yang sama tidak sampai semahal ini," banta
Laura dan Felix tengah berada di sebuah pedesaan, tempat di mana Laura dilahirkan 23 tahun yang lalu.Sudah lama Laura tak mengunjungi tempat tersebut. Seingat dia, terakhir kali dirinya ke sana saat usianya masih sekitar 6 atau 7 tahun. Tentu sudah banyak jalan maupun tempat yang dilupakan seiring berjalannya waktu.Felix dan Laura terus bertanya-tanya mengenai jalan menuju lokasi yang hendak mereka datangi. Namun, belum ada satu pun jawaban yang dapat mereka jadikan acuan.Ya, lokasi yang dimaksud adalah rumah dari seorang bidan yang dulu membantu ibunya Laura dalam melahirkan dirinya. Ia ingin memastikan secara langsung apakah dia memang memiliki kembaran atau hanya sekedar dugaan saja.Karena sejak kecil, Laura masih sering bertemu bidan tersebut. Terutama karena hubungan orang tua Laura dengannya lumayan erat.Tapi dia sedikit kecewa karena tidak pernah diberitahu tentang Launa sedikit pun. Ia akhirnya memutuskan untuk datang ke tempat yang pernah menjadi saksi kisah masa kecilny
Laura dan Felix disambut baik oleh wanita yang sejak tadi mereka cari.Penampilan dan wajah Bu Laras tidaklah berubah sama sekali. Tetap cantik seperti terakhir kali Laura melihatnya."Silakan duduk," ucap Bu Laras."Mau dibuatkan apa? Teh, sirup, atau apa?" tanya nya dengan sangat amat ramah."Dari dulu Bu Laras tidak berubah," gumam batin Laura seraya menatapinya."Kak," Felix menyenggol pundak Laura, membuatnya terbangun dari lamunan."Te---terserah Ibu saja," balas Laura gugup.Bu Laras meninggalkan mereka sejenak dan kembali dengan dua gelas cangkir berisi teh hangat yang dia buat sepenuh hati."Awalnya saya kira siapa, ternyata kamu, Laura. Sudah besar sekali dirimu. Tumbuh menjadi wanita cantik dan sukses," puji Bu Laras.Laura yang sedang menyantap teh hangat tersebut pun tersedak."Ada apa?" Laura merespon pertanyaan Bu Laras dengan gelengan kepalanya. "Tidak ada apa-apa kok, Bu.""Serius?"Laura mengangguk pelan. "Bu Laras menganggap penampilanku sekarang adalah simbol kesu
Laura tengah fokus memasukkan sehelai benang tipis ke bolongan jarum kecil yang ia pegang."Berhasil," katanya senang.Saat sedang merapikan baju ke dalam lemari, tak sengaja ia menyadari salah satu rok mini miliknya ada sedikit sobekan. Karena sayang jika tidak bisa dipakai, akhirnya Laura memutuskan untuk menjahitnya sendiri."Meski tidak rapi, asal bisa digunakan kembali," ujarnya pelan.Tak lama kemudian, sebuah lantunan musik yang indah terdengar di telinga Laura hingga fokusnya teralihkan dan malah lupa dengan apa yang sedang dia kerjakan sekarang."Siapa yang memainkannya?" tanya Laura keheranan.Penasaran, Laura malah meninggalkan pekerjaan tersebut dan mengikuti alunan instrumen klasik yang masih samar-samar.Hingga dia tiba di depan sebuah ruangan yang pintu tebalnya sedikit terbuka."Ruang musik," Laura membaca tulisan yang ada di papan pintu.Sangat percaya diri, ia masuk ke dalam ruangan tersebut untuk melihat siapa yang ada di dalamnya.Begitu nikmat alunan itu jika di de
Leon mengajak Laura untuk menonton film kesukaannya dengan seri terbaru yang sedang tayang di bioskop."Ka---kamu seriusan?"Leon mengedipkan mata tanpa bicara sepatah kata pun, menandakan dia benar-benar serius dan tidak sedang bercanda."Tapi apakah kamu punya waktu untuk itu? Bukankah kamu sibuk?" tanya Laura yang malah merasa tidak enak."Aku memang tidak punya waktu untuk melakukan banyak hal. Tapi aku akan meluangkan waktuku untuk dihabiskan bersamamu," ucap Leon dengan nada datar.Setelah basa-basi yang cukup panjang, mereka pun telah tiba di bioskop dan segera mencari kursi.Sejak awal film dimulai, Leon terus melirik ke arah Laura. Lirikannya sudah tak bisa dihitung lagi saking banyaknya. Ia tidak bisa memalingkan mata tajamnya itu dari wanita yang ia anggap paling berharga, setelah keluarganya."Seandainya aku mengenalmu dari dulu, mungkin kamu sudah menjadi milikku sekarang. Tidak peduli dari keluarga mana kamu berasal, apa pendidikan terakhirmu, apa pekerjaanmu, aku akan te