Share

Seseorang Yang Pernah Aku Kenal
Seseorang Yang Pernah Aku Kenal
Penulis: Jamie_Hye

Kesan Pertama

Vanika dengan kesal memandang rintik-rintik hujan yang semakin lama semakin deras di balkon sekolah. Lima belas menit sudah berlalu sejak bel pulang berbunyi. Beberapa saat lalu Pak Dani menelepon kalau beliau tidak bisa menjemputnya karena ada urusan mendadak di kampung halaman beliau. Lebih buruk lagi tidak jauh dari tempatnya berdiri ada Jimmy, laki-laki yang sangat dia kagumi. Pemandangan Jimmy yang sedang mengobrol dengan pacar barunya membuat Vanika semakin merasa bad mood.

Siapa yang tidak mengagumi Jimmy Mahardika? Dia kapten tim sepak bola sekolah, rambutnya keren, tubuhnya proporsional, wajahnya sangat boyish, dan dia merupakan ranking 2 di angkatan. Dia juga terkenal karena aktif di chemistry club. Pacarnya pun terkenal karena berparas cantik dan disukai banyak orang. Sungguh pasangan yang serasi.

Vanika berbalik badan dan menghela nafas. Angin berhembus menerpa rambutnya. Seorang laki-laki dengan seragam yang berantakan berlari ke arahnya. Beberapa butir keringat mengalir dari dahinya.

“Vanika! Aduh maaf, aku gak bisa pulang bareng kamu soalnya ada kegiatan tambahan di math club untuk kelas 10,” laki-laki itu berkata dengan terengah-engah.

“Yahhh, Tar. Terus gimana dong?”

“Tenang, ada teman aku dari kelas sebelah yang pulangnya searah dengan kamu. Kalian naik transportasi umum saja. Naik angkot. Kamu diam di sini nanti dia lewat sini kok. Aku langsung pergi ya. Bye!” Akhtar langsung berlari meninggalkan Vanika sambil melambaikan tangan.

“Eh, Tar! Tunggu!” panggil Vanika.

Akhtar semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Akhtar merupakan sahabat karibnya sejak kecil. Vanika melihat ke atas langit. Hujan mulai reda dan langit mulai terlihat cerah. Tidak lama kemudian seorang laki-laki bertubuh tinggi semampai datang menghampirinya. Vanika menelan ludah.

“Kamu Vanika?” tanya laki-laki itu.

Kebanyakan orang memanggil laki-laki ini ‘si nomor 1’ karena nilainya selalu berada di urutan paling atas. Tinggi badannya 180cm, wajahnya terkesan dingin, dan ia juga merupakan penggemar berat fisika. Cara berpakaiannya super rapi dan ia juga memakai jas almamater yang membuatnya terlihat seperti tokoh dari komik atau anime. Bahkan, kedua mata di balik kacamatanya terkesan tajam sekali.

“Inilah Hayden Irawan,” pikir Vanika.

“Kamu Vanika Xavera Tedja?” tanya Hayden dengan sedikit membungkuk

“Oh, eh, ya,” jawab Vanika dengan gugup.

“Ayo pulang,” ajak Hayden dengan datar dan langsung berjalan dengan cepat.

Tidak ada sapaan atau perkenalan, hanya ajakan pulang. Vanika mengikuti Hayden. Kaki-kaki rampingnya sedikit berlari karena langkah-langkah Hayden begitu panjang. Udara sore itu begitu dingin dan angin menerpa rambut Vanika yang terurai sampai bahunya. Mereka terus berjalan sampai sebuah jalan raya yang ramai. Mobil-mobil melaju dengan sangat cepat.

“Sayang sekali di sini belum ada jembatan penyeberangan. Jadi, kita harus menyeberang ke seberang sana,” Hayden berkata sambil menunjuk ke seberang jalan.

“Serius?!” tanya Vanika.

“Kamu pikir aku bercanda?” jawab Hayden yang langsung berpindah ke sebelah kanan Vanika dan menggenggam lengannya.

Cukup seram menyeberang jalan seramai itu. Lalu mereka langsung menaiki angkutan kota yang baru saja berhenti. Penumpangnya hanya mereka berdua dan situasi begitu canggung bagi Vanika. Ia duduk tepat di belakang sopir dan Hayden duduk di sudut belakang. Mobil mulai melaju dengan cepat. Hayden membuka kacamatanya dan memasukkannya ke dalam saku jas. Itu pertama kalinya Vanika melihat Hayden tanpa kacamata. Matanya sipit dan tajam. Ia menatap jalan dari kaca belakang mobil. Wajahnya begitu tenang.

“Kamu turun di mana?” tanya Vanika yang berusaha mencairkan suasana.

“Sekitar 3 menit dari perempatan,” jawabnya dingin.

“Oh, gak jauh dari tempat aku turun nanti ya?”

Hening, tidak ada jawaban atau sahutan. Ah laki-laki ini menyebalkan sekali, pikir Vanika. Tidak lama kemudian Vanika meminta sopir untuk berhenti dan ia melihat ke arah Hayden.

“Aku duluan ya,” ucap Vanika dengan senyum.

“Ya,” jawab Hayden singkat. Seperti biasa. Tidak ada senyum pada wajahnya.

“Ah, menyebalkan sekali,” pikir Vanika sambil menuruni mobil.

Mobil melaju dan wajah Vanika mulai cemberut. Hayden Irawan. Banyak yang berkata dia itu digandrungi banyak gadis di sekolah.

“Setampan apapun seseorang kalau tidak ramah tidak ada apa-apanya,” omel Vanika sambil berjalan menuju rumah.

Rumah selalu menjadi tempat yang menyenangkan, tapi rumah ini terkesan sangat dingin. Papa dan mama Vanika berpisah beberapa tahun lalu. Tepat saat Vanika berusia 10 tahun. Sejak saat itu papa menetap di kota lain, sedangkan mama dan anak-anak tetap tinggal di kota ini.

Tidak banyak hal yang berubah. Papa terkadang datang berkunjung dan mama masih tetap menjadi seorang workaholic yang sering bepergian ke luar kota. Dia sering berdua di rumah dengan adiknya yang bernama Clarissa. Clarissa bertubuh tinggi dan gagah. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun ia memiliki tinggi badan 168cm. Ia juga merupakan seorang atlet panahan.

Vanika menghempaskan diri di sofa. Tidak lama kemudian Clarissa pulang dengan membawa sebuah jas yang dibuat seperti kantung. Jas itu terlihat tidak asing. Jas berwarna abu-abu tua itu terlihat sangat familiar.

“Apa itu? Kenapa pakai jas? Jas punya siapa itu?” tanya Vanika penasaran.

“Tunggu tunggu sabar pertanyaannya banyak banget,” jawab Clarissa sambil menaruh ranselnya dan duduk di dekat Vanika.

“Ok, begini. Tadi aku mampir ke supermarket untuk beli apel. Di jalan tadi kantung plastiknya robek karena gak kuat jadi apelnya jatuh kemana-mana. Untung tadi ada laki-laki. Anak SMA. Dia langsung buka jas almamaternya dan dijadikan kantung untuk bawa apel-apel ini,” sambung Clarissa.

Vanika mencuci dan membereskan apel-apel itu juga memperhatikan jas almamater berukuran XL itu.

“Oh ya, aku lupa kasih tahu. Laki-laki tadi yang tolong aku itu satu almamater sama kamu. Coba check logonya,” Clarissa memberitahu kakaknya sambil menganbil satu apel dan memakannya.

“Siapa namanya? Dia pasti akan butuh jas ini, Clar. Atau kamu punya kontak dia?”

“Ya ampun! Bodohnya aku! Aku lupa! Yahh, gimana dong?” Clarissa menarik-narik tangan Vanika.

“Ish gimana kita bisa tahu. Kenapa kamu bisa lupa? Ahhhhh Clarissa,” Vanika berusaha melepaskan pegangan tangan adiknya.

“Pokoknya dia tampan dan tinggi! Mungkin sekitar 180cm. Dia kelihatannya buru-buru,”

“Ish gimana bisa aku tahu kalau yang kamu ingat cuma tampan. Memang sama sekali gak ada gambaran yang jelas?” protes Vanika.

Clarissa menggelengkan kepalanya dan Vanika mencubit pipinya dengan keras.

***

Keesokannya, Vanika datang ke sekolah dengan tubuh yang menggigil. Pagi itu memang hujan deras dan kebanyakan anak memakai jumper yang tebal. Di kelas sudah ada beberapa orang yang hadir. Yoga selalu paling awal datang ke sekolah. Ia sudah stand by dengan laptop di depannya. Tidak lupa ada beberapa cemilan di sebelah kiri laptop miliknya. Wajahnya pucat karena terlalu sering menonton anime. Bahkan, seringkali dia menonton anime di saat jam pelajaran. Di depan Yoga ada Arvin yang sedang sibuk dengan buku sketsa miliknya. Kedua kakinya lurus di atas kursi yang dirapatkan. Ia juga memakai sandal hotel. Arvin menyadari kehadiran Vanika dan membetulkan kacamatanya.

“Pagi Van!” sapanya dengan senyum lebar.

“Pagi juga, Vin. Mana sepatumu?” tanya Vanika.

“Tuh ada,” jawab Arvin sambil menunjuk sepasang sepatu yang disimpan di sudut belakang kelas. Lalu tangannya beralih ke salah satu cemilan milik Yoga dan merebutnya.

“Hey balikin!” seru Yoga bangkit dari kursinya dan menghampiri Arvin.

“Ish ish ish,” Vanika berlalu menuju kursinya dan duduk sambil menyaksikan Yoga dan Arvin yang berebut makanan seperti anak kecil.

Tidak lama kemudian Akhtar berlari ke dalam kelas dengan ransel super besar dan dua buah tas berukuran besar yang berisi barang dagangannya. Tubuh Akhtar tidak begitu tinggi. Mungkin sekitar 163cm dan tepat 3cm lebih tinggi dari Vanika. Namun, senyum dan keramahannya membuat ia menjadi orang yang disenangi banyak orang. Akhtar menyimpan semua barangnya di atas meja belajarnya dan menghempaskan tubuhnya ke kursi. Rambutnya berantakan dan tubuhnya berkeringat.

“Duh! Capek!” seru Akhtar sambil mengambil nafas panjang dan membuangnya dengan keras.

“Istirahatlah, Tar. Pagi-pagi begini kamu sudah berkeringat,” ujar Vanika.

“Setiap pagi harus penuh semangat dong, Van,” balas Akhtar. Tiba-tiba ia membalikan tubuhnya menghadap Vanika.

“Eh, gimana kemarin? Dia menarik ‘kan? Dia baik ‘kan? Dia itu terkenal loh. Apa jangan-jangan kamu diantar dia sampai ke rumah?”

“Ah siapa yang diantar? Dia itu ah,,, keterlaluan. Jutek sekali. Bahkan kalau dia bicara tuh singkat, padat, dan menyebalkan” keluh Vanika dengan wajah cemberut.

Akhtar tertawa keras mendengar keluhan Vanika

“Eh Van, sebenarnya dia itu orangnya baik loh. Mungkin dia malu atau… gugup?”

“Mana aku tahu. Pokoknya dia itu jutek mungkin di aliran darahnya ada air lemon ya Tar?”

“Hus, daripada kita bicarakan dia mending kita bicarakan rencana liburan kenaikan kelas. Kamu rencana mau liburan ke mana?” tanya Akhtar.

“Sepertinya gak akan kemana-mana,” jawab Vanika.

“Ada Akhtar?” tanya sebuah suara dari arah pintu.

Tidak lama kemudian Hayden masuk dan menghampiri Akhtar. Akhtar memberikan satu kotak makanan. Akhtar memang sering menerima pesanan makanan terutama menu sarapan pagi.

“Tumben gak pakai jas almamater? Tumben juga gak pakai kacamata,” tanya Akhtar.

“Ketinggalan di rumah,” jawab Hayden.

Vanika mencoba memperhatikan percakapan mereka. Hayden tidak pakai jas almamater itu sesuatu yang aneh atau mungkin pemilik jas almamater itu Hayden? Masalahnya tadi dia berkata kalau jas itu tertinggal di rumah atau dia bohong?

Hayden melihat ke arah Vanika.

“Hey,” sapa Hayden.

“Hai,” balas Vanika tapi Hayden sudah pergi dengan membawa pesanannya

“Tuh kan sudah aku bilang. Dia ramah,” ujar Akhtar.

“Ramah apanya? Dia bahkan pergi waktu aku jawab sapaannya.” protes Vanika.

Akhtar tertawa mendengarnya “Baiklah, aku pergi berjualan dulu ya,” seraya membawa barang-barang dagangannya keluar dari kelas.

***

Sore itu Vanika berbaring dengan gelisah di ranjangnya. Siapa pemilik jas almamater itu? Vanika mencoba mengingat hal yang mungkin akan membantunya. Ah itu! Kacamata! Seingatnya Hayden sempat melepas kacamata dan memasukkannya ke dalam saku jas. Vanika langsung berlari ke ruang tempat cuci baju. Di situ ada Clarissa yang sedang memisahkan beberapa pakaian untuk dicuci.

“Tunggu tunggu tunggu!” teriak Vanika berlari ke arah adiknya.

“Ehhh kenapa?” ujar Clarissa yang terkejut dengan kedatangan kakaknya.

Vanika mencoba mencari jas almamater yang tertindih oleh beberapa baju lainnya. Ia memasukkan tangannya ke dalam salah satu saku. Kosong! Bukan, bukan yang ini. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku yang lainnya. Ada! Vanika mengeluarkannya dengan raut wajah bahagia.

“Clarissa! Aku tahu siapa pemilik jas almamater ini!” seru Vanika pada adiknya. Lalu ia berbalik dan berlari ke kamarnya.

“Dia kenapa sih,” ujar Clarissa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan kegiatannya.

***

Hari-hari berlalu dengan cepat. Sebagian besar orang pergi berlibur. Clarissa mengajaknya untuk pergi ke taman. Pada saat itu cuaca sangat cerah dan ada beberapa orang tua sedang bersantai dekat kolam ikan. Vanika duduk di sebuah bangku panjang yang tidak jauh dari kolam. Clarissa melakukan peregangan dan mulai berlari mengelilingi taman. Clarissa terlihat gagah dengan rambut ponytail yang bergerak ke kanan dan kiri seperti ekor kuda.

Vanika mengeluarkan suatu benda dari saku kemejanya. Kacamata milik Hayden. Ya, ia yakin 100% itu milik Hayden.

“Mungkin nanti aku kembalikan saat hari pertama masuk sekolah,” pikirnya.

Ia membersihkan lensanya dengan lap kacamata milik Clarissa. Penglihatan Clarissa memang tidak terlalu baik. Dokter pun sering menegurnya karena jarang memakai kacamatanya, tapi tetap saja kacamatanya selalu tersimpan rapi di meja belajarnya. Sekali dipakai pun pasti langsung pecah atau patah.

Vanika mengelapnya dengan hati-hati. Dia mencoba memakainya. Sangat buram. Ternyata penglihatan pemilik kacamata ini terbilang buruk. Ia melihat kanan dan kiri. Tidak jauh dari tempatnya ada seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan celana training dan kaus putih berjalan mendekat. Rambutnya diterpa angin dan itu membuatnya terlihat lebih keren.

“Hayden Irawan?” Vanika mencoba melihat dengan jelas.

“Kenapa dia mendekat?” pikirnya.

Jantungnya berdegup kencang melihat sosok laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status