Share

Tumbuhnya Suatu Rasa

Clarissa yang melihat Hayden langsung berteriak.

“Kak Hayden! Sini masuk! Gak usah bunyikan bel!”

Bi Ika menyerahkan kipas yang dipegangnya kepada Clarissa agar gadis itu meneruskan kegiatan bakar-bakar. Wanita itu berlari ke arah tamu yang rupawan tersebut dan menariknya masuk ke halaman tempat mereka berkumpul. Hayden berlari kecil dengan membawa sebuah totebag berwarna hitam. Ia juga mengenakan kaus hitam polos, celana jeans, dan sneakers berwarna navy. Ia terlihat sangat keren.

“Duduk! Sini duduk!” wanita bertubuh gemuk itu menyuruh Hayden duduk di kursi yang berhadapan dengan Vanika sambil memundurkan kursi tersebut agar diduduki oleh laki-laki itu.

Hayden tersenyum sungkan dan berkata “tidak, terima kasih, Bu. Saya hanya ingin mengembalikan sesuatu untuk Vanika,” ia membungkukan tubuhnya beberapa kali.

“Gak bisa! Gak bisa! Duduk di sini. Nah ayo makan ini atau ini. Di sini ada banyak makanan. Makan dulu lah sedikit baru boleh pulang,” ujar Bi Ika dengan wajahnya yang selalu merona.

Hayden duduk dan melihat ke arah Vanika, sedangkan Bi Ika sibuk lagi dengan panggangannya.

“Kamu kenapa tadi gak sekolah?” tanya Vanika pada laki-laki yang duduk di hadapannya.

“Hanya kelelahan sedikit. Lagipula sudah dua tahun belum pernah bolos juga,” jawab Hayden dengan datar.

Vanika mengangkat kedua alisnya.

“Aku hanya mau kembalikan sepatumu,” ucap laki-laki berkulit pucat itu.

“Nanti dulu, setidaknya kamu harus menyantap sesuatu di sini. Aku merasa bersalah karena belum ucapkan terima kasih. Rasanya ini terlalu berlebihan,” kata Vanika dengan kepala sedikit tertunduk malu sambil memainkan sebuah garpu diatas sebuah piring kecil.

“Aku lakukan itu semua dengan ikhlas. Harusnya aku meminta maaf untuk semuanya,”

“Minta maaf? Untuk apa?”

“Karena waktu itu aku bersikap jutek sama kamu. Aku sama sekali gak bermaksud begitu. Aku hanya gugup. Selain itu, insiden sepatu ini mungkin terlalu berlebihan. Mungkin mendekati bullying?” jawab Hayden sambil mengernyitkan dahinya. Vanika menatap wajah laki-laki di hadapannya. Beberapa garis di antara kedua alisnya mungkin terbentuk karena ia terlalu sering mengernyitkan alisnya. Mungkin ia terlalu banyak berpikir atau terlalu banyak mengkhawatirkan sesuatu, tebak gadis itu.

“Gak. Aku perempuan kuat. Aku sama sekali gak merasa dibully kok,” jawab Vanika sambil mengangkat sedikit wajahnya.

“Ya sudah. Bagus kalau begitu. Aku janji aku gak akan jahil lagi sama kamu,”

“Tenang saja. Aku itu tangguh. Mau diganggu siapa pun aku gak akan rapuh,” jawab gadis berambut wavy itu sambil memasukkan beberapa butir bola-bola cokelat ke dalam mulutnya.

“Sepertinya kamu itu gak punya beban hidup ya?” tanya Hayden sambil menikmati segelas sirup dingin.

“Kata siapa? Banyak nih, menumpuk di sini,” jawab Vanika sambil menunjuk kepalanya.

Hayden tersenyum kecil lalu bangkit dari tempat duduknya.

“Sepertinya aku harus cepat pulang sebelum hari gelap,”

“Ehhh, kok buru-buru? Ini téh baru juga selesai. Setidaknya coba dulu special steak buatan bibi,” kata Bi Ika dengan cepat menghampiri laki-laki itu.

“Bungkus saja, Bi,” saran Clarissa dengan wajah sedikit kecewa.

Hayden membuka mulutnya hendak menolak, tapi Clarissa memotongnya.

“Kami gak suka orang yang banyak sungkan, Kak Hayden,” tambahnya.

Bi Ika dengan gesit membungkus kue-kue, steak, dan beberapa sosis ke dalam suatu wadah. Wadah itu dimasukkan ke dalam sebuah tas kecil. Hayden menghampiri Vanika dan memberikan totebag berisi sepatunya yang sudah dicuci bersih.

“Terima kasih,” ucap gadis mungil itu.

“Tapi nanti aku kembalikan ya sepatu dan cardigan kamu,” tambahnya.

Cardigan itu untuk kamu saja. Itu peninggalan nenekku. Kalau sepatu santai saja. Aku masih bisa pakai yang lain,” jawab Hayden.

“Nah, ini! Dimakan ya! Jangan lupa, hati-hati di jalan,” Bi Ika memberikan tas berisi makanan tersebut pada laki-laki tampan itu.

“Terima kasih. Saya izin pamit ya,” ujar Hayden sambil membungkukan tubuhnya dan berlalu.

Vanika menyaksikan Hayden berjalan semakin jauh sampai hilang dari pandangannya. Clarissa mendekati kakaknya dan menyandarkan salah satu tangannya pada bahu kakaknya itu.

“Jadi, gimana?” tanya gadis jangkung itu sambil menaikkan alisnya dengan wajah yang jenaka.

“Gimana apanya?”

“Apakah ada kemajuan? Atau kamu butuh nomor kontak dia?” tanya Clarissa.

“Nomor kontak? Kamu punya kontak dia?” tanya kakaknya sambil menurunkan tangan adiknya.

“Tadi malam dia tanya nomor kontakku. Katanya untuk bertanya beberapa hal,”

“Tanya beberapa hal? Hal apa?” tanya Vanika semakin penasaran.

“Rahasia!” jawab adiknya sambil mencolek dagu kakaknya dan berlari ke dalam rumah.

“Clarissa!” teriak kakaknya dengan kesal.

***

Vanika membawa dua mangkuk besar berisi lontong kari ayam ke sebuah meja di kantin. Ia mulai menyantap mangkuk pertama dengan lahap. Gadis itu sangat menyukai lontong kari di sekolahnya itu. Memang menu itu sangat terkenal sampai ke luar sekolah. Mungkin lontong kari ayam itu merupakan lontong kari terbaik yang pernah disantap oleh Vanika.

Suasana kantin tidak terlalu penuh karena banyak siswa yang membeli makanan di luar sekolah. Tiba-tiba Pramana duduk di sebelah kirinya dan Satrio duduk tepat di hadapannya. Pramana menyimpan beberapa bungkus biskuit cokelat dan segelas besar banana milkshake di hadapan Vanika.

“Kamu kayaknya kelaparan ya? Atau memang suka? Kenapa badan kamu bisa tetap mungil meskipun banyak makan?” tanya Pramana secara beruntun.

“Aku suka,” jawab gadis di sebelahnya itu

“Habiskan saja semua yang aku bawa itu. Kayaknya kamu dalam masa pertumbuhan,” ujar pria berambut keriting itu sambil menepuk-nepuk kepala gadis berambut cokelat tua itu.

“Berhenti goda dia, Pram,” kata Satrio sambil mengetuk-ngetukkan setiap jarinya pada meja. Entah apa yang terjadi dengan laki-laki itu, tapi terlihat dengan jelas bahwa Satrio mengecat kuku-kukunya dengan cat kuku berwarna-warni. Bahkan ada yang ia hias seperti warna buah semangka.

“Mungkin habis mengikuti sebuah event atau apalah itu,” pikir Vanika sambil mulai menyantap mangkuk kedua.

“Woooo! Luar biasa, temanku yang satu ini. Satrio! Kenapa kamu bisa gak kena tegur guru? Sini aku lihat kuku-kuku kamu! Luar biasa!” celoteh Joe yang baru saja lewat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Di tangannya, dia menggenggam sekaleng minuman cokelat dingin.

Gadis tangguh itu menghabiskan minumannya dalam sekali teguk, meremukkan kalengnya seperti orang yang sedang memeras cucian dan menyobek-nyobekan kaleng minuman itu dengan mudah. Lalu ia melemparnya ke udara dan kakinya dengan gesit menyepak kaleng remuk itu ke dalam tempat sampah. Beberapa adik kelas menatap Joe dengan tatapan kagum.

Vanika, Pramana, dan Satrio melihat dengan tatapan ngeri.

“Dia seperti kuda,” celetuk Satrio.

“Luar biasa! Teman-temanku gak ada satu pun yang normal! Ketua geng kita begitu dingin dan kaku, laki-laki di depanku begitu aneh, dan satu-satunya perempuan di kelompok kita selalu bertingkah gak wajar,” ujar Pramana sambil bertepuk tangan diikuti tawa Vanika sambil menyedot banana milkshake dengan sedotan yang terlalu pendek untuk gelas sebesar itu.

Vanika menunjuk ke arah tangan Joe dengan wajah yang sedikit khawatir.

“Tanganmu gak apa-apa ‘kan?” tanyanya.

“Tenang saja, Nona,” jawab Joe sambil meraih tangan Vanika yang menunjuknya dan mencium punggung tangan itu.

Please Joe, hentikan kebiasaan burukmu itu. Aku yang laki-laki pun merasa malu lihat kamu bertingkah kayak begitu,” protes Pramana.

Joe bersikap tidak acuh pada kata-kata Pramana dan ia duduk di sebelah Satrio sambil memperhatikan kuku-kuku Satrio dengan wajah kagum.

Tidak lama kemudian Akhtar datang dengan bajunya yang sangat kusut dan dia tidak memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana. Dasinya yang sudah tidak jelas bentuknya dia masukkan ke saku kemejanya. Rambut tebal dan hitamnya begitu berantakan. Wajahnya keturunan Arabnya cerah sekali seperti biasanya. Ia membawa satu kotak makan berwarna baby blue. Ia duduk di sebelah Vanika.

“Kamu sudah makan ‘kan? Jangan sampai telat makan, Van,” kata laki-laki itu sambil tersenyum lebar.

“Woah Akhtar ini sudah seperti mamanya Vanika ya? Mungkin lebih ibu-ibu daripada para ibu itu sendiri,” kata Pramana sambil mengambil sebuah biskuit dan melahapnya dalam sekali lahap.

“Aku begitu karena Vanika itu sahabat aku sejak kecil,” jawab Akhtar sambil membuka kotak makannya. Di dalamnya ada sandwich tuna kesukaannya dan sayur kacang merah. Akhtar memang hampir setiap hari bekal sayur kacang merah.

“Apa ada hal yang menarik gak, Tar? Soalnya dari tadi kamu kelihatan lebih happy dari biasanya,” tanya Satrio.

“Oh ya, aku lagi jatuh cinta,” jawab laki-laki berkumis tipis itu dengan percaya diri.

Semua yang mendengar itu terkejut. Tidak biasanya seorang Akhtar jatuh cinta. Biasanya di otak laki-laki itu hanya ada game, bisnis, dan uang.

“Yang benar?” tanya Joe sambil memajukan tubuhnya karena hal itu sangat sulit dipercaya.

“Sama siapa, Tar?” tanya Vanika.

“Baru kenal sih. Nanti deh aku cerita. Aku malu kalau harus cerita sekarang. Aku suka dia karena dia seru kalau diajak diskusi terutama kalau lagi main game,” jawab Akhtar.

“Kamu kenal orang itu dari game? Ahhh Tar, hati-hati. Kamu ini konyol. Suka sama orang kok lewat game. Pernah ketemu langsung?” tanya Pramana.

“Belum. Ah pokoknya dia itu seru kalau diajak ngobrol,”

“Tar, please. Pakai akal sehatmu. Di sini ada banyak perempuan. Aku pasti bantu,” ujar Joe sambil mendekat pada laki-laki yang sedang sibuk makan itu.

“Ok, ok, pokoknya aku pasti hati-hati. Kalian cukup doakan saja,”

Vanika, Joe, Pramana, dan Satrio saling berpandangan dengan wajah yang sangsi. Akhtar menyadarinya dan mengguncang-guncang tubuh Vanika.

“Ahhh kalian jangan begitu, aku pasti hati-hati,”

“Baiklah, Tar. Kamu pasti tahu gimana baiknya,” jawab gadis di sebelahnya, masih dengan wajah yang penuh keraguan.

***

Vanika turun dari bus. Langit begitu cerah dan tiba-tiba ia ingin sekali singgah ke taman sebentar. Lalu ia berjalan ke arah yang berbeda. Di sebelah kanan dan kiri jalan terdapat banyak pohon yang masing-masing berdiri saling berdampingan. Dedaunan dari pepohonan tersebut membuat jalan lebih sejuk dan teduh. Sedikit cahaya mengintip masuk dari balik dedaunan. Angin berhembus dengan pelan dan sampailah gadis itu di taman tersebut. Di dekat kolam ada sosok laki-laki bertubuh tinggi sedang melemparkan sesuatu ke dalam kolam.

“Dia mungkin sedang memberi makan ikan-ikan,” pikir Vanika.

Ia berjalan lebih dekat lagi dan sosok itu memakai pakaian yang sangat tidak asing bagi Vanika. Celana abu-abu tua, kemeja putih bersih dengan dasi berwarna maroon, dan rompi yang sangat tidak asing lagi. Ia semakin mendekat. Akhirnya ia bisa mengenal sosok itu. Seorang siswa dari sekolahnya.

“Hayden?” tanya gadis itu memastikan agar ia tidak salah orang.

Laki-laki itu berbalik. Ya, itu Hayden dengan rambut yang sedikit berantakan karena diterpa angin dan di tangannya terdapat satu toples kecil berisi makanan ikan.

“Kamu sengaja ke sini untuk beri makan ikan-ikan itu?” tanya Vanika sambil menunjuk kolam berukuran besar itu.

“Ya, kamu mau coba?” ujar laki-laki itu sambil menyodorkan toples di tangannya.

Vanika mendekat dan melihat ada banyak sekali ikan berkumpul di sisi kolam. Mulut mereka membuka dan menutup dengan cepat. Mereka berenang dengan cepat ke segala arah dan saling berdesakan.

“Lihat, mulut mereka membuka dan menutup seperti Clarissa kalau sedang mengomel,” celetuk Vanika diikuti tawa kecil laki-laki di sebelahnya.

“Sudah, ini, coba kasih makan mereka,” kata Hayden dengan ramah.

Gadis itu mengambil satu genggam makanan ikan dan melemparnya ke dalam kolam. Para ikan saling berebut mendapatkan makanan. Vanika langsung mengeluarkan gawainya dan merekam mereka sedang makan.

“Aku akan kirim ini ke papa,” katanya sambil mulai merekam.

“Hati-hati, awas nanti kamu jatuh ke kolam,”

“Tenang saja, ini sudah beres,” ujar Vanika sambil memasukkan gawainya ke dalam saku kemejanya.

Mereka menjauh dari kolam dan duduk di sebuah bangku taman. Beberapa orang tua sedang berjalanan mengitari kolam dan tiga orang remaja SMP sedang bermain skateboard tidak jauh dari tempat.

“Kamu sering datang ke sini?” tanya Vanika berusaha mencairkan susasana.

“Hampir. Biasanya pagi hari di akhir pekan dan sore hari di hari kerja. Kalau cuaca cerah ada banyak merpati datang untuk mencari makan. Beberapa orang datang untuk memberi makan mereka. Kamu sering ke sini?”

“Mungkin tiga sampai empat kali seminggu. Biasanya di pagi hari atau sore hari juga sembari ajak kucingku main-main di sini, tapi kita hampir gak pernah bertemu ya sebelumnya?” tanya gadis itu sambil menatap laki-laki di sebelahnya.

“Aku sering lihat kamu. Kamu saja yang gak sadar,” jawab Hayden, tatapannya masih fokus ke depan.

Kata-kata Hayden membuat pipi Vanika berubah menjadi merah. Seorang Hayden yang cuek ternyata sering memperhatikannya, pikirnya sambil tersenyum malu.

Laki-laki di sebelahnya melihat Vanika dengan tatapan bingung.

“Kamu kenapa? “ tanyanya dengan heran.

“Ohhh, gak,” jawab gadis itu sambil berusaha tampil senormal mungkin.

Tiba-tiba bunyi telepon masuk berdering dari gawai milik Hayden. Ia mengangkatnya dengan segera. Terdengar dengan jelas percakapan laki-laki itu.

“Kamu sendiri di rumah? Ok, kakak pulang sekarang. Kakak tutup ya teleponnya. Hati-hati di rumah,” kata Hayden yang langsung menutup teleponnya.

“Van, aku pulang duluan ya. Adikku sendiri di rumah. Kamu hati-hati di sini. Jangan pulang larut,” sambungnya sambil mengeluarkan jas almamaternya dan memakai tas ranselnya. Hayden memberikan jas almamaternya kepada Vanika.

“Pakai ini. Udara semakin dingin. Hari juga mulai gelap. Aku permisi,” katanya sambil berlalu dengan cepat.

“Terima kasih,” ucap Vanika dengan pelan sambil menatap laki-laki itu berlari kecil dan semakin menjauh dari gadis itu.

Tidak lama kemudian, rintik-rintik hujan mulai turun dengan cepat. Vanika dengan segera menutupi kepala dan tubuhnya dengan jas almamater milik Hayden. Ia berlari pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari taman itu.

***

Hujan semakin deras dan angin semakin kencang. Namun, Vanika tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke rumahnya. Gadis bermata bulat itu sampai di halaman rumahnya dengan keadaan sepatu yang basah. Mungkin jika tidak ada jas milik Hayden, tubuhnya akan basah kuyup. Ia berselonjor di lantai terasnya sambil menatap jas milik laki-laki itu yang terbaring di sebelahnya.

“Aku pikir aku suka dia,” ucapnya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status