Share

Rumor

Seseorang memberikan handuk kecil kepada Vanika. Clarissa ternyata sudah cukup lama berdiri sambil memperhatikan kakaknya yang sedang melamun dengan wajah yang pucat karena kedinginan. Vanika mengelap semua bagian tubuhnya yang basah. Di samping gadis itu terdapat sebuah jas almamater berukuran besar yang tergeletak begitu saja. Jas almamater yang sudah melindunginya dari hujan.

“Jas itu punya siapa?” tanya Clarissa penasaran.

“Punya Hasna,” jawab kakaknya berbohong.

Hasna merupakan salah satu siswi di sekolahnya yang bertubuh tinggi. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun, tinggi badannya sudah mencapai 178cm. Gadis ini merupakan murid kelas XII IPS 2. Vanika dulu tidak begitu dekat dengan dia, tapi Hasna sangat terkenal karena ia merupakan salah satu anggota tim voli di sekolah.

Berbeda dari sosok Joe yang tidak mau diam seperti kuda, Di sekolah, Hasna adalah sosok yang tenang, tapi sebenarnya ia adalah seorang pemberontak. Bibirnya kecil dan tebal. Hal ini membuat banyak orang memanggilnya “Tweety”.

“Hasna? Si pemain voli bertubuh besar itu?” tanya adiknya dengan mata yang membesar.

“Ya,” jawab gadis yang menggigil karena kedinginan itu sambil bangkit dari tempatnya.

“Ah gak mungkin. Hasna yang ini pasti memiliki bahu yang lebih lebar dan memiliki rasa cinta yang lebih besar,” balas adiknya yang mengangkat jas almamater itu dan memperhatikannya dengan teliti.

“Ish ish. Tubuh Hasna besar dan sekarang semakin besar,” ujar Vanika sambil mencubit pipi adiknya

“Aw! Aw! Sakit! Ayo ah kita masuk. Mau Hasna yang mana pun kita harus cepat-cepat cuci jas ini,” kata Clarissa yang kemudian menggamit lengan kakaknya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah.

***

Vanika duduk di atas sofa dengan mengenakan jumper besar berwarna lilac. Tangan kanannya membuka lembar demi lembar halaman majalah. Namun, pikirannya terus memikirkan Hayden. Ia melihat ke arah jam. Jam menunjukan pukul 20.15 malam, tapi hujan masih begitu deras. Kepalanya begitu pusing dan ia bersin untuk kesekian kalinya. Ia langsung menyesap susu cokelat panas dengan perlahan.

“Aku mohon. Tuhan, aku harus selalu sehat. Aku harus bertemu Hayden besok,” doa Vanika dalam hati.

“Izin saja untuk beberapa hari,” saran Clarissa yang duduk di sebelahnya dengan sebungkus keripik kentang di tangannya.

“Gak semudah itu. Memangnya kamu bisa bolos dengan sangat mudah,” ejek kakaknya.

“Ah bilang saja kamu ingin ke sekolah karena ingin lihat Hayden,”

“Kata siapa?”

“Kata aku. Nih, masih hangat kalau aku yang bicara begitu,” ujar Clarissa dengan wajah jahilnya.

Vanika memukul-mukul adiknya dengan bantal sofa dan Clarissa langsung membalas kakaknya. Mereka saling memukul sampai tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi.

“Siapa itu?” tanya kakaknya.

“Gak tahu, aku lihat dulu,” Clarissa bangkit dari tempat duduknya menuju ke depan.

Clarissa mengintip ke luar. Di luar ada sosok yang memakai blazer dan membawa sebuah payung berwarna putih.

“Mama! Van! Mama pulang!” teriak gadis jangkung itu sambil berlari-lari ke luar tanpa memedulikan derasnya hujan yang mengguyurnya.

Vanika berlari menuju teras dan melambaikan tangannya pada mamanya dan dibalas oleh senyum mamanya.

“Kamu jangan turun! Diam di situ!” perintah Clarissa pada kakaknya dengan wajah yang berbinar-binar.

***

Beberapa lama kemudian, mereka sudah berada di kamar mama. Mereka berdua rebahan di ranjang mama mereka sambil memeluknya.

“Kamu panas begini, sudah minum obat?” tanya mama sambil menyentuh beberapa bagian tubuh anak pertamanya.

“Sudah, ma,” jawabnya dengan mata terpejam.

“Sudah aku bilang, kamu izin sekolah untuk beberapa hari. Bolos sekolah itu bukan masalah besar,” celoteh Clarissa yang kemudian bangkit dari posisi rebahannya.

“Aku gak mau, aku mau sekolah,”

“Memang sejak kapan kamu jadi rajin ke sekolah?” cibir adiknya.

“Sudah, sudah. Eh, mama tadi bawa banyak cokelat. Coba kamu bawa tas mama yang berwarna hitam itu ke sini,” perintah mama pada anak bungsunya dengan menunjuk tas tersebut.

“Yang ini?” tanya Clarissa.

“Bukan, sebelahnya,”

“Oh ini,” ujar gadis berambut lurus itu sambil berjalan menuju ranjang dan memberikannya pada mamanya. Mama membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa bungkus cokelat juga membagikannya kepada kedua anaknya.

“Terima kasih, ma,” ucap kedua anak itu dan Clarissa langsung membuka sebungkus cokelat tersebut, kemudian langsung memakannya.

“Kamu gak makan?” tanya mama.

“Besok saja, ma. Lagipula aku sudah sikat gigi,” jawab Vanika.

“Sulit sekali hidupmu, padahal tinggal sikat gigi lagi,” ejek adiknya dengan coklat di bibirnya. Kakaknya melemparkan sebuah bantal kecil ke arah gadis itu.

“Besok pagi lihat saja keadaan kamu. Kalau membaik kamu boleh sekolah,” saran mama.

***

Benar saja, keesokan harinya keadaan Vanika semakin memburuk. Ia beberapa kali bersin dan terbatuk-batuk di meja makan. Bi Ika beberapa kali membantu gadis  itu dengan memberinya minum dan menemaninya tepat di sebelahnya. Tadi malam mama menghubungi Bi Ika untuk tinggal bersama mereka di rumah itu karena dua gadis itu harus selalu diawasi.

“Tadi mama sudah hubungi wali kelasmu. Oh ya, Akhtar nanti datang ke sini sesudah pulang sekolah. Sekalian menjelaskan materi yang dipelajari supaya kamu tidak tertinggal pelajaran, tapi jangan terlalu dipaksakan,” kata mama dengan secangkir kopi di tangannya.

“Ya, ma,” jawab Vanika.

“Uhhh, kasihan sekali gak bisa ketemu Hayden untuk beberapa hari,” adiknya mengolok-olok dengan rambut ponytail yang bergerak ke kanan dan kiri di belakang kepalanya.

“Hayden? Hayden siapa?” tanya mama penasaran.

“Oh yang waktu itu? Pacar ‘kan?” tambah Bi Ika.

“Bukan! Dia bukan pacarku. Dia itu hanya teman di sekolah,” bantah Vanika.

“Masa?” goda Clarissa.

“Aku bilang bukan, Clarissa,” balas kakaknya sambil menendang kaki adiknya di bawah meja makan.

“Sudah, sudah. Mama sebentar lagi berangkat. Kalian baik-baik di rumah,” mama bersiap-siap dengan memakai high heels berwarna hitam yang mengkilat.

“Aku gak akan pernah bisa pakai sepatu seperti itu,” celetuk Clarissa sambil mengunyah sandwich ukuran ekstra.

“Suatu hari pasti bisa. Harus bisa,” balas mamanya.

“Gak akan pernah bisa, karena Clarissa itu jalannya seperti kuda,” ejek kakaknya diikuti tendangan kecil di bawah meja.

“Ish ish, mama berangkat ya. Kalian baik-baik di rumah,” mama pamit seraya mencium kepala anak-anaknya satu per satu.

***

Hari itu terasa sangat membosankan. Vanika banyak menghabiskan waktu dengan beristirahat di kamarnya dan di ruang tengah. Tidak ada yang menyenangkan. Bahkan, semua acara TV tidak ada yang menyenangkan.

Hujan mulai turun di siang hari. Vanika menyaksikan turunnya hujan di balkon lantai dua rumahnya. Halaman belakang cukup menyenangkan untuk tempat merenung dan mendengarkan suara hujan selalu membuat perasaan gadis itu menjadi lebih tenang. Bi Ika menyediakan segelas besar cokelat panas. Ia juga menyediakan satu piring besar sosis goreng. Vanika tersenyum lebar.

“Bi Ika tahu kamu suka sekali cokelat dan sosis goreng. Pokoknya, Bi Ika mah tahu semua makanan yang kamu suka,” kata Bi Ika dengan bangga.

Vanika memeluk wanita yang sudah ia anggap kakaknya sendiri itu. Usia Bi Ika memang tidak terlalu jauh darinya. Bi Ika berusia 7 tahun lebih tua dari Vanika. Wanita itu duduk di sebelah gadis bertubuh mungil itu.

“Kamu suka siswa yang namanya Hayden itu ya?” tebak Bi Ika.

“Gak, kata siapa ah,” bantah Vanika sambil menggigit salah satu sosis.

“Ihhh, jelas tahu,”

“Mungkin? Tapi aku sendiri juga masih ragu,”

“Sudahhh, bilang saja. Sekarang ‘kan kamu kelas 12, mending bilang saja. Soalnya, mungkin kamu gak akan punya kesempatan lagi di masa depan,” saran wanita itu.

“Oh ya?” tanya gadis itu dengan wajah ragu.

“Jangan sampai kamu menyesal loh,”

Mereka menikmati pemandangan turunnya hujan dengan cukup lama. Vanika menyandarkan kepalanya ke bahu wanita di sebelahnya, sedangkan wanita itu terlelap sambil bersandar pada sandaran tempat duduk besar itu. Tidak lama kemudian, hujan mulai berhenti dan Bi Ika terbangun dari tidurnya.

“Bi Ika, sebentar lagi Akhtar datang. Katanya dia bawa tiga orang lainnya,” ujar Vanika sambil bangkit dari tempat duduknya.

“Oh siap, sebentar ya. Bibi bereskan dulu ini dan siapkan makanan untuk kalian,” Bi Ika mulai membereskan balkon.

“Sini, aku bantu ya,” Vanika menyingsingkan lengan cardigan-nya.

“Jangan! Jangan! Istirahat saja. Biar bibi yang kerjakan. Jangan lupa minum obatnya,” perintah Bi Ika sambil membawa sebuah nampan berisi piring dan gelas bekas menuju dapur.

Vanika sedang menuruni tangga dengan perlahan saat ia dikejutkan oleh suara bel rumah yang berbunyi dengan nyaring. Ia bergegas menuju luar rumah. Di luar gerbang sudah ada Akhtar, Joe, Aditya, dan Pramana. Vanika tersenyum karena Akhtar terlihat mungil saat berdiri di tengah teman-temannya yang bertubuh besar. Bahkan Joe, si Gadis Pemanah itu terlihat begitu gagah ketika berboncengan dengan laki-laki itu.

“Senang ya istirahat di rumah?” tanya Pramana sambil mendekatkan motornya ke arah gerbang.

“Ah membosankan,” jawab gadis yang sedang sakit itu sambil membuka gerbang dan mempersilakan teman-temannya untuk memasukkan motor-motor mereka, “ayo masuk!”

“Begitulah, di saat sekolah ingin libur, di saat libur ingin sekolah. Tapi aku? Mau di sekolah atau di rumah, aku lebih suka di rumah atau di tempat latihan,” ujar Joe sambil berjalan dengan kaki-kakinya yang jenjang. Ia memakai celana training dan jaket tim panahannya yang berwarna putih dan ada sedikit motif berwarna maroon. Ia berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Rambutnya diikat ke belakang dengan kuat.

“Joe itu terlihat seperti kakekku yang selalu mengeluh setiap saat. Tipikal kakek yang di pagi hari akan keluar rumah dan menongkrong di tukang bubur atau tukang kupat tahu terdekat dengan segelas kopi di tangannya dan berdiskusi dengan bapak-bapak lainnya tentang berita terbaru di koran atau TV,” kata Aditya sambil berjalan masuk.

“Jangan lupa bagian gorengan dan berbagai keluhan tentang negara,” sambung Pramana sambil tertawa.

“Atau, setiap pagi buta sibuk mengurus koleksi burungnya di depan rumah sambil pakai sarung. Di tangannya ada alat semprot dan bibirnya sibuk bersiul,” tambah Akhtar yang diikuti tawa teman-temannya.

“Hey, hey, aku gak begitu, tapi bagian nongkrong itu bisa dibilang benar,” protes Joe.

“Bedanya yang kamu bicarakan itu selalu tentang olahraga panahan,” ujar Vanika.

“…dan seribu satu cara membolos sekolah,” ejek Pramana.

“Itu bukan bolos. Itu dispensasi. Aku harus meninggalakan kegiatan belajar karena latihan. Aku berjuang keras untuk masuk tim nasional, kawan-kawanku tersayang,” jawab Joe dengan nada sarkastik.

“Ok, ok. Ayo masuk. Bi Ika sudah siapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti lapar,” ajak Vanika sambil menepuk-nepuk punggung gadis jangkung yang berjalan di sebelahnya itu.

***

Ketika memasuki perpustakaan rumah itu, Akhtar langsung melempar tas ransel dan beberapa tas dagangannya yang isinya semua sudah laku terjual. Ia merebahkan diri di atas karpet tebal, sedangkan yang lainnya merebahkan diri di sandaran kursi masing-masing.

Bi Ika membawa banyak sekali hidangan. Ada beberapa tumpuk sandwich, beberapa roti dengan berbagai rasa, kue-kue kering, beberapa kaleng biskuit, berbagai macam cokelat, satu toples permen berwarna-warni, dua botol jus dingin, satu kotak besar susu, dan satu botol sirup rasa melon.

“Habiskan ya,” ujar Bi Ika sambil merapikan semuanya di atas meja perpustakaan yang besar itu.

“Wahhh. Bi Ika selalu tahu betapa rakusnya kita!” seru Joe dengan mata yang terbelalak.

“Kalian ‘kan lagi masa pertumbuhan ya?”

“Sepertinya Akhtar dan Vanika yang harus tumbuh lebih besar lagi,” jawab Aditya yang dibalas dengan tatapan tajam Akhtar.

“Aku cuma terlambat tumbuhnya,” balas Akhtar mencoba melakukan pembelaan.

Akhtar memang pernah menekuni beberapa bidang olahraga demi mendapatkan bentuk tubuh yang menurutnya ideal. Orang tuanya sering memberinya berbagai suplemen agar ia tumbuh tinggi. Bahkan, ibunya rutin membuatkannya susu tinggi kalsium setiap pagi hari. Satu gelas untuk diminum saat sarapan dan satu botol untuk bekalnya.

Di malam hari pun Akhtar harus meminum susu tepat sebelum tidur. Seringkali ia iri kepada kakaknya, Akhyar yang memiliki tubuh tinggi. Akhyar merupakan salah satu mahasiswa jurusan Seni Rupa di salah satu universitas negeri ternama di kota itu.

“Pokoknya harus habis! Bibi tinggal ya!” Bi Ika pergi dan menutup pintu perpustakaan.

“Percayalah. Niat kita itu menengok dan belajar, tapi pasti kita berakhir sibuk menghabiskan semua ini dan terlalu lelah untuk belajar,” ujar Pramana sambil melahap sebuah roti dengan sangat semangat.

“Kalian istirahat saja. Biar aku yang belajar. Mana materi hari ini. Tar?” tanya Vanika pada sahabatnya yang sekarang sudah bangkit dari karpet dan sedang sibuk memasukkan beberapa butir permen ke dalam mulutnya.

 “Ada di tas. Ambil saja. Cari sendiri,” jawabnya.

Vanika mengeluarkan beberapa buku dari ransel milik kawannya dan mulai membaca juga menyalin beberapa materi terbaru, sedangkan teman-temannya sibuk menyantap hidangan-hidangan di atas meja.

“Percayalah, kalau aku tinggal di sini, berat badanku akan naik terus,” ujar Joe sambil merebahkan dirinya pada sandaran kursi. Semua makanan sudah habis dengan bersih.

“Sungguh hidup yang terjamin,” tambah Aditya yang baru saja menghabiskan jus di gelasnya.

“Apa ada yang mau kalian makan lagi?” tanya Vanika sambil membereskan buku milik sahabatnya itu.

“Sudah, Nona. Terima kasih yang sebesar-besarnya. Lihat ini! Aku bahkan kesulitan bangun,” jawab gadis jangkung itu.

“Eh, ngomong-ngomong gimana kabar si gadis di game itu, Tar? Yang kamu taksir itu,” tanya Pramana.

“Lumayan lah. Kami semakin dekat. Baru chat biasa. Belum sampai ngobrol intensif kayak lewat telepon,” jawabnya.

“Awas loh kamu ditipu. Kamu harus tetap hati-hati,” pesan Vanika.

“Ngomong-ngomong, Hayden gimana?” tanya Pramana kepada Vanika.

“Entah, aku belum pernah ngobrol misalnya saling berbalas pesan atau hal begitu,” balas gadis itu.

“Ah dia itu kelamaan untuk membuat suatu pergerakan,” protes Akhtar.

“Eh, entah ini benar atau salah. Bukannya Hayden itu pernah dekat atau pernah ada hubungan dengan salah satu siswi di XII IPS 3? Siapa itu namanya? Emily?” tanya Joe.

“Gosip dari mana itu, Joe?” tanya Aditya.

“Anak-anak perempuan di kelasku pernah bergosip begitu. Aku sendiri ragu,”

“Emily itu yang mana sih?” tanya Akhtar penasaran.

“Itu, yang rambutnya lurus dan dibelah tengah. Siswi yang biasa kumpul-kumpul bareng Aida dan Nesya. Nesya teman satu kelas Emily juga,”

“Oh itu, ya. Mungkin gosip?” balas Akhtar.

“Ah aku gak tahu,” jawab Joe sambil mencoba mengingat-ingat lagi.

“Memang apa yang kamu tahu selain olahraga Joe?” cibir Pramana.

“Aku itu cuma gak peduli masalah hidup orang lain. Aku dekat sama Hayden, tapi aku begitu gak peduli dan dia juga begitu tertutup,” balas gadis dengan ponytail itu.

Vanika hanya diam memperhatikan teman-temannya mengobrol. Ia bingung sekaligus sedikit kecewa mendengar gosip itu. Pramana melihat wajah Vanika yang terlihat kecewa.

“Mereka gak pacaran. Gak pernah. Mungkin lebih bisa disebut unfinished business? Entahlah” kata Pramana dengan wajah tenangnya.

Unfinished business?” tanya Joe.

“Itu semacam urusan yang belum kelar, Joe,”

“Aku tahu, aku tahu. Maksudku unfinished business semacam apa?”

“Jadi begini…” Pramana memulai ceritanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status