Jantung Vanika hampir saja copot. Kedua mata bulatnya membesar karena sangat terkejut bahwa laki-laki yang seharian ini dihindarinya sekarang tepat berada di sampingnya. Vanika melihat Jimmy sudah menurunkan lambaian tangannya dan berlalu begitu saja.“Nonton Jimmy latihan?”“Aku hanya kebetulan diajak Akifa istirahat di sini. Dia sekarang lagi di toilet,” jawab Vanika.Tiba-tiba dua orang sahabat Jimmy yang lewat sambil menepuk bahu Vanika.“Ciee nonton Jimboy main bola,” ujar mereka berdua sambil berlalu dan tertawa.Dua laki-laki itu bernama Huang dan Derry. Mereka berdua adalah sahabat kental Jimmy sejak kelas 10. Jimmy, Huang, Derry, dan Vanika dahulu berada di kelas yang sama, yaitu kelas X-A. Sudah menjadi rahasia umum di kelas X-A kalau gadis berkulit putih itu sangat menyukai Jimmy.“Oh lagi nonton Jimmy main bola,” ucap Hayden.“Ya, aku sekalian nonton dia latihan. Rasanya sudah lama gak lihat dia main secara langsung,”Hayden tersenyum, “Tenang saja, aku juga suka kalau dia
Hayden tersenyum di sepanjang jalan pulang. Ia merasa tidak pernah sebahagia ini. Ia memasuki halaman rumah bergaya khas zaman Belanda itu dengan perasaan riang. Rumah dengan satu lantai tersebut memiliki halaman dan bagian teras yang luas. Cat temboknya berwarna putih bersih dan bangunannya sangat luas. Di bagian depan terdapat beberapa pilar beton yang kokoh. Rumah itu juga dihiasi beberapa jendela kuno yang berukuran besar dan indah.Laki-laki bertubuh tinggi itu memasuki ruang tamu dan di situ terdapat adiknya yang sedang asyik bermain puzzle. Audrey masih berusia 9 tahun. Tubuhnya tinggi dan ramping. Panjang rambutnya tepat sebahu dan keriting. Terlihat klasik.“Kakak pulang, Rey,” sapa Hayden yang menghampiri adiknya dan mencium keningnya.“Kakak lama. Mama juga belum pulang,” keluh Audrey.“Ya, maaf. Kamu sudah makan ‘kan?” tanya kakaknya.“Udah,” jawab adiknya.“Kakak beres-beres rumah dulu ya, Rey. Ini kakak bawa cokelat untuk kamu,” Hayden memberikan sebatang besar cokelat p
Vanika membuka jendela sedikit dan perlahan-lahan. Ia begitu senang kekasihnya muncul di tengah kejenuhannya.“Hey, aku gak bisa lama, sebentar lagi aku harus segera pergi,” ujar Hayden.“Ada apa? Kenapa?”“Aku dipanggil ke ruang guru untuk persiapan olimpiade. Di kelas lagi gak ada guru juga. Nanti, setelah bel pulang aku harus latihan paduan suara sebentar. Katanya Pak Fairuz mau kumpulkan semua siswa laki-laki untuk latihan vokal. Nah, tadi Pak Ade katanya mau minta tolong kamu untuk urus beberapa hewan setelah pulang sekolah. Sesudah bel kamu tunggu Pak Ade di tempat duduk pinggir lapangan ya. Setelah semuanya selesai aku hampiri kamu. Jadi pulangnya kita bisa bareng,”Pak Ade adalah salah satu pegawai di sekolah yang bertanggung jawab mengurus hewan-hewan peliharaan sekolah. Sekolah itu memelihara beberapa macam burung, beberapa ekor kelinci, berbagai jenis ikan, beberapa ekor kucing dan anjing, juga beberapa ekor reptil.“Oh ok, terima kasih ya infonya,” jawab Vanika.“Heh, Hayd
“Ada apa, Jimmy Mahardika?” tanya Hayden dengan wajah yang begitu dingin.Jimmy mendekat dan duduk di kursi sebelah kiri ranjang. Ia memberikan tas itu kepada Vanika. Jimmy memperhatikan Vanika dengan wajah yang cemas.“Kamu basah begini. Kamu gak apa-apa ‘kan?” tanya laki-laki itu.“Gak apa-apa, Jim,” jawab Vanika pada sahabatnya itu.Jimmy memegang lengan gadis itu, “ada yang luka? Bagian mana yang sakit?”“Tenang, Jim. Aku gak apa-apa kok,” balas gadis itu.“Mau aku temani?” tanya laki-laki bermata cokelat itu.“Gak usah, aku pasti temani Vanika. Nanti aku juga yang antar dia pulang,” sambar Hayden dengan wajah datarnya.“Ya sudah, aku pulang duluan ya, Van. Hati-hati selalu,” pesan Jimmy sambil menggenggam erat tangan Vanika.Sadar bahwa itu pasti menyakiti hati kekasihnya, gadis itu menarik tangannya dari genggaman tangan Jimmy. Jimmy memeluk sahabatnya itu dengan singkat.“Bye, Van,” ucap Jimmy dengan senyumnya yang hangat.“Hati-hati, Jim,” pesan gadis itu.Joe menerobos masuk
“Jangan dengar omong kosong yang gak jelas,” bisik orang yang menutup telinganya.Emily yang melihat orang itu menutup telinga Vanika langsung pergi dengan wajah yang terlihat kesal.“Kak Jonathan!!” seru Akifa dengan wajah senang.Vanika melihat siapa orang yang menutup telinganya sekaligus berbisik tepat di telinganya. Orang itu Joe.“Jonathan? Kenapa kamu panggil dia Jonathan?” tanya Vanika pada adik kelasnya itu.“Semua anak di kelasku panggil Kak Joe itu Jonathan,” jawab Akifa.“Jonathan? Lumayan,” balas Joe dengan senyum.Ia duduk seperti seorang laki-laki. Ia tidak memakai roknya. Ia memakai kemeja lengkap dengan rompi abu-abu dan celana panjang yang biasa ia pakai untuk latihan memanah. Kancing bagian atas kemejanya terbuka dan bagian bawah kemajanya keluar dari celananya begitu saja. Bahkan, ia tidak memakai dasinya.“Ke mana dasi kamu?” tanya Vanika.“Ada, nih, di saku,” Joe menunjukkan dasinya yang ia simpan di saku celananya.“Eh kenapa mata kamu bengkak, Akifa?” sambung J
Pak Adrian menatapnya memastikan bahwa gadis itu sudah tidak merasakan sakit di kakinya. Tidak lama kemudian Hayden dan Joe menghampiri mereka.“Saya sudah tidak apa-apa, Pak,” jawab Vanika.Aneh. Mereka tidak dekat, tapi ia merasa tidak asing dengan tatapan pria muda itu. Ah mungkin dulu mereka pernah bertemu di suatu tempat, pikir Vanika.“Tenang, Pak. Ada saya dan Hayden. Bapak bisa percaya kami berdua,” ujar Joe.“Saya tadi perhatikan kamu dari jauh jadi saya langsung bergerak cepat ketika kamu kesakitan,” kata guru PPL itu kepada gadis di hadapannya.“Tenang, Pak. Ada kami,” tambah Hayden.“Baiklah, tapi kalau ada apa-apa hubungi saya ya,” pesan Pak Adrian.“Baik, Pak,” jawab gadis itu.Guru itu pergi meninggalkan mereka. Joe melihat kaki Vanika dan berlutut sambil memijat-mijat bagian yang tidak dikompres.“Katanya dia perhatikan kamu,” goda gadis tomboy itu.“Ah, dia ‘kan guru. Tadi dia juga bilang begitu ke Satrio,” balas Vanika.“Kamu harus hati-hati. Jangan-jangan dia itu ti
Vanika melihat kekasihnya dengan hati yang sedikit terasa sakit. Laki-laki di sebelahnya baru saja mengatakan bahwa ia dan Emily memiliki hubungan yang begitu dekat. Bahkan lebih dekat dari hubungan persahabatan. Gadis berambut cokelat tua itu hanya diam dan tidak mengatakan apapun.“Waktu itu Emily pindah ke sekolahku. Usia kami waktu itu 9 tahun. Dia pindah dari ibu kota dan dia sulit adaptasi dengan lingkungan baru. Dia sering kelihatan sendiri dan gak begitu pandai bergaul. Kedua ibu kami ternyata bersahabat sejak SMA dan akhirnya ibunya sering menitipkan Emily kepada aku. Aku mencoba jadi sosok teman yang baik untuk dia. Dia anak tunggal yang sering ditinggal orang tuanya bekerja dan aku berusaha jadi sosok saudara yang baik juga untuk dia,”Vanika memperhatikan cerita kekasihnya dengan teliti dan penuh perhatian.“Semuanya bertambah buruk saat ibunya meninggal. Saat itu kami masih berusia 12 tahun. Emily yang pada dasarnya sering merasa kesepian langsung merasa terpuruk. Ayahnya
Vanika datang menghampiri sahabatnya dan menyentuh punggung laki-laki itu. Akhtar mengalihkan pandangannya pada gadis itu dan mengelap air mata di wajahnya. Vanika duduk di sebelahnya dan tidak berkata apa-apa.“Van kenapa ya banyak orang yang gak suka aku? Apalagi perempuan,” keluh Akhtar.“Kata siapa?” tanya sahabatnya.“Aku bahkan dipermainkan orang. Kayaknya aku pecundang sejati ya?” ujar laki-laki itu lagi.“Kamu bukan pecundang, Tar. Banyak kok orang yang sayang dan suka kamu,” jawab Vanika dengan senyum hangat.“Seharusnya waktu itu aku dengar kalian supaya hati-hati dan jangan mudah percaya orang lain,”“Sudah, jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Lagipula itu ‘kan sudah lewat,”“Van, kamu tahu ‘kan kalau di rumah aku yang paling payah? Ayah aku seorang dekan yang sukses, ibu aku itu ibu rumah tangga sekaligus pengusaha yang luar biasa, dan kakak aku mahasiswa di salah satu universitas yang paling bergengsi di kota ini atau bahkan negara ini! Coba lihat aku! Aku bukan apa-apa