Vanika melihat kekasihnya dengan hati yang sedikit terasa sakit. Laki-laki di sebelahnya baru saja mengatakan bahwa ia dan Emily memiliki hubungan yang begitu dekat. Bahkan lebih dekat dari hubungan persahabatan. Gadis berambut cokelat tua itu hanya diam dan tidak mengatakan apapun.“Waktu itu Emily pindah ke sekolahku. Usia kami waktu itu 9 tahun. Dia pindah dari ibu kota dan dia sulit adaptasi dengan lingkungan baru. Dia sering kelihatan sendiri dan gak begitu pandai bergaul. Kedua ibu kami ternyata bersahabat sejak SMA dan akhirnya ibunya sering menitipkan Emily kepada aku. Aku mencoba jadi sosok teman yang baik untuk dia. Dia anak tunggal yang sering ditinggal orang tuanya bekerja dan aku berusaha jadi sosok saudara yang baik juga untuk dia,”Vanika memperhatikan cerita kekasihnya dengan teliti dan penuh perhatian.“Semuanya bertambah buruk saat ibunya meninggal. Saat itu kami masih berusia 12 tahun. Emily yang pada dasarnya sering merasa kesepian langsung merasa terpuruk. Ayahnya
Vanika datang menghampiri sahabatnya dan menyentuh punggung laki-laki itu. Akhtar mengalihkan pandangannya pada gadis itu dan mengelap air mata di wajahnya. Vanika duduk di sebelahnya dan tidak berkata apa-apa.“Van kenapa ya banyak orang yang gak suka aku? Apalagi perempuan,” keluh Akhtar.“Kata siapa?” tanya sahabatnya.“Aku bahkan dipermainkan orang. Kayaknya aku pecundang sejati ya?” ujar laki-laki itu lagi.“Kamu bukan pecundang, Tar. Banyak kok orang yang sayang dan suka kamu,” jawab Vanika dengan senyum hangat.“Seharusnya waktu itu aku dengar kalian supaya hati-hati dan jangan mudah percaya orang lain,”“Sudah, jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Lagipula itu ‘kan sudah lewat,”“Van, kamu tahu ‘kan kalau di rumah aku yang paling payah? Ayah aku seorang dekan yang sukses, ibu aku itu ibu rumah tangga sekaligus pengusaha yang luar biasa, dan kakak aku mahasiswa di salah satu universitas yang paling bergengsi di kota ini atau bahkan negara ini! Coba lihat aku! Aku bukan apa-apa
BRUKKK!!!!Suara dari sebuah tas selendang yang dilempar ke atas lantai terdengar begitu keras. Gadis berambut lurus itu merebahkan diri di atas ranjangnya. Ia mencoba menahan air mata agar tidak keluar dari matanya yang besar itu.“Aku punya banyak teman, tapi kenapa aku begitu kesepian?” pikirnya.Suara ketukan dari pintu menyadarkannya.“Emily, ayo makan malam dulu!” panggil Bi Mimi, asisten rumah tangganya.“Nanti saja!” sahut gadis itu sambil menutup wajahnya dengan sebuah bantal.Tiba-tiba ia bangkit sambil memeluk bantalnya dan menatap foto yang terpajang di meja belajar miliknya. Foto itu disimpan di dalam sebuah figura kayu. Sebuah potret yang diambil beberapa tahun lalu saat penerimaan siswa baru di SMA.Waktu itu ia merasa sangat bahagia. Hal itu tercermin dari senyum lebarnya di foto tersebut. Di sebelahnya ada laki-laki yang selama ini ia cintai. Seperti biasa, laki-laki itu memasang senyum tipis dan terkesan dingin, tapi sebenarnya ia berhati hangat. Ia adala
Ucapan Emily memang benar-benar membuat semua orang di situ terkejut. Siapa yang tidak tahu hubungan Hayden dan Vanika?“Semalam? Cokelat?” tanya Joe dengan wajah yang bingung.Hayden, Emily, maupun Vanika tidak ada yang menghiraukan pertanyaan Joe.“Ya, dengan senang hati,” jawab Hayden kepada Emily dengan senyum tipis.Emily tersenyum dan pergi diikuti oleh Aida dan Nesya. Nesya tersenyum sambil menepuk punggung Emily, sedangkan Aida tersenyum kecil pada Vanika. Jimmy memperhatikan raut wajah sahabatnya. Tidak terlihat ada rasa kecewa ataupun bahagia. Gadis itu hanya menampilkan raut wajah datar tanpa ekspresi.“Kita semua pernah makan cokelat. Itu hanya cokelat, bukan masalah besar,” ucap Vanika yang membuat Hayden mengernyitkan dahinya.Akifa berlari mendekat dan berhenti dan nafas yang terengah-engah.“Kak Jimmy, Kak Hayden, dan …” ia melihat ke arah Nanda dan memanggilnya, “Kak Nanda! Sini!”Nanda mendekat dengan sebuah buku super tebal di tangannya.“Nah, aku tadi disuruh pangg
Laki-laki itu menatapnya dengan hangat. Ada kesan berbeda pada dirinya. Ia terlihat lebih…. manusiawi? Vanika menatap lekat kedua mata indah yang sipit itu. Namun, matanya terlihat lebih tajam. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam pandangannya. Akhir-akhir ini memang laki-laki itu jarang sekali memakai kacamata, tapi bukan itu yang membuatnya berbeda.“Aku tadi cari kamu di sekolah, tapi gak ada. Aku telepon juga kamu gak aktif,” ujar laki-laki tampan itu sambil menyentuh tangan kekasihnya.“Handphone aku mati,” jawab gadis itu.“Makanya aku datang ke sini. Ternayata kamu belum juga pulang, tapi untung ada Aditya yang antar kamu,”“Ya, kami tadi cari makan dulu,”“Baguslah, aku khawatir,” balas Hayden dengan memeluk gadis di hadapannya.“Tenang saja. Aku aman. Gak akan ada orang yang mau culik aku. Aku makan terlalu banyak, nanti mereka kesusahan,” ujar Vanika yang membuat kekasihnya tertawa.“Lain kali kabari aku,”“Ya. Ngomong-ngomong aku gak lihat motor kamu,”“Bi Ika suruh aku masuk
Vanika menatap layar itu dengan sedikit bingung. Foto yang dilihatnya itu jelas foto Jimmy. Hayden menatapnya dan memberi isyarat agar mengangkat panggilan suara itu. Vanika mengangkat panggilan itu. Suara riuh terdengar dari panggilan itu. Tiba-tiba suara yang sudah tidak asing lagi terdengar dengan sangat keras. Berteriak.“Vanika!!!!”“Joe?!” sahut Vanika setengah berteriak.“Sebentar, sebentar, aku ke tempat yang agak sunyi dulu. Nah! Vanika! Kamu di mana? Dengan siapa?”“Kalau sudah sunyi kamu gak usah berteriak begitu. Aku? Hmmm di rumah. Ada apa? Kenapa kamu pakai nomor Jimmy? Benar ‘kan ini nomor Jimmy?”“Kenapa? Kamu kaget?” tanya Joe dengan tawa menyebalkannya, “aku lagi di sekolah karena ada latihan hari ini. Hari ini juga ada pertandingan persahabatan futsal. Jimmy ikut bertanding. Jadi aku pakai handphone dia,”“Lalu?” tanya Vanika.“Kamu ingat Yama?”“Yama? Yama siapa?” tanya Vanika kebingungan.“Itu loh si penipu. Maya? Yang menipu Akhtar,”“O ya! Kenapa? Ada apa?”“Dia
Vanika melambaikan tangan sebagai isyarat bahwa gerbang itu tidak dikunci sehingga ia bisa langsung masuk ke rumah itu. Tidak lama kemudian mereka memasuki dapur. Akhtar melihat dapur begitu sibuk. Berbagai wangi kue-kue membuat laki-laki berkumis tipis itu mengambil satu keping biskuit dan mencicipinya dengan mata yang tertutup, tanda ia sangat menikmatinya.“Di sini akan ada acara apa, Van?”“Sore nanti aku mau ke rumah Hayden bareng Clarissa dan juga adiknya, Audrey,”“Dia ulang tahun atau acara apa?”“Gak, kamu tahu kan ibu Hayden seperti apa? Kalian pernah bertemu waktu kenaikan kelas ‘kan? Atau setiap pertengahan semester?” tanya Vanika pada sahabatnya.“Ya, kasihan. Ibunya jadi seperti itu. Begitu layu semenjak kepergian mendiang suaminya,”“Kamu tahu dari mana?”“Ayah kami ‘kan berteman waktu dulu. Mendiang ayah dia itu dosen di kampus tempat ayah aku mengajar juga. Dulu ibunya aktif melakukan berbagai kegiatan. Ibunya cantik ‘kan? Beliau itu terkenal karena kecantikannya. Waj
“Bagaimana mama kalian? Bolehkah ibu suatu hari nanti bertemu mama kalian?” tanya wanita berparas cantik itu dengan mata yang membesar.“Mungkin pertengahan semester nanti mama kami datang ke sekolah,” jawab Vanika dengan senyumnya.“Sepertinya akan menyenangkan kalau kalian menghabiskan masa libur nanti di rumah ini. Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Kalian juga bisa ajak teman-teman yang lain. Rumah ini pasti rindu keramaian,” usul Ibu Hayden pada anak-anak di ruangan itu.“Cocok sekali! Kami sebenarnya sedang kebingungan untuk cari tempat sebelum perpisahan. Rencananya diadakan semester ini. Ada yang ingin per kelas, tapi kalau saya ingin teman-teman dekat saja,” ujar Akhtar dengan semangat yang berapi-api.“Nah, bagus! Di atas ada enam kamar tidur, tapi kalian boleh pakai lima kamar tidur,” sahut wanita cantik itu dengan wajah yang berseri-seri karena sudah sekian lama ia tidak sebahagia itu.“Ah, kami bisa tidur di mana saja. Mungkin kebanyakan ingin camping di luar,” jawab lak