Vanika tidak menanggapi dan memasang earphone di kedua telinganya. Gadis berambut kecokelatan itu memasang wajah tidak acuh. Ia menyalakan musik dan menaikkan volumenya. Gadis itu bangkit dan membawa tasnya. Kemudian ia berlalu begitu saja seolah-olah ia tidak mendengar apapun. Hal itu membuat Emily begitu murka.Semua orang begitu terkejut dengan apa yang terjadi saat itu. Baik dengan ucapan Emily yang dinilai sangat tidak pantas maupun reaksi Vanika setelahnya. Sangat tidak biasa gadis semanis itu melawan dengan cara seperti itu. Ia juga membolos pelajaran tambahan. Bahkan isu Vanika membolos les beberapa kali sudah terdengar oleh sebagian besar dari mereka.***Hasna berlari mengejar sahabatnya sambil membawa ransel di salah satu bahunya. Ia tersenyum gembira dan berjalan di sebelah Vanika. Sangat mudah bagi Hasna yang berkaki jenjang untuk menyesuaikan langkah sahabatnya yang cepat.“O ya? Kamu sama Hayden putus? Dan sekarang kamu kencan dengan salah satu guru PPL?” tanya Hasna sa
“Terkadang yang seseorang butuhkan hanya sebuah pelukan. Bukan kata-kata atau sebuah nasihat. Hanya sebuah pelukan untuk membuat mereka merasa lebih baik,” ucap Hayden pada gadis itu.“Apa kamu terlalu baik hati untuk tinggalkan aku, Hayden?” tanya Vanika dalam hati.Gadis itu membenamkan wajahnya dan merasakan setiap serat kain dari baju laki-laki itu. “Aku tahu ini egois, tapi aku mohon tinggallah di sini untuk beberapa hari ini,” pinta Vanika.“Ya, aku janji,” jawab kekasihnya.“Jangan buat janji yang gak bisa kamu tepati, Hayden,” ujar Vanika sambil menatap wajah Hayden.***Hari semakin larut dan udaranya semakin dingin menusuk tulang. Pramana beberapa kali mengeluh karena udara yang dingin membuat hidungnya terasa beku dan Joe beberapa kali mencibirnya karena kurang bergerak. Akhtar dan Vanika sibuk mempersiapkan makanan untuk santapan malam di halaman belakang. Zaid dan Bagaskara sibuk membuat api unggun, sedangkan yang lainnya sibuk membereskan tempat itu agar terasa lebih ny
Vanika melangkah mundur perlahan menuruni tangga. Tidak lama kemudian Hayden menuruni tangga dengan langkah yang cepat sambil memakai jaket berwarna jeans tua. Langkahnya mendadak terhenti ketika melihat kekasihnya di ujung tangga bagian bawah.“Ada apa?” tanya gadis itu.“Aku harus pergi. Aku akan kembali secepatnya,” jawab laki-laki itu berlalu melewatinya. Laki-laki itu bahkan tidak sedikit pun meliriknya. Untuk pertama kalinya Vanika merasa terabaikan.Tiba-tiba Akhtar menghadangnya dengan sebuah piring besar di tangannya. Di atas piring besar itu terdapat beberapa cupcake berwarna-warni. Laki-laki berambut tebal itu masih mengenakan celemek berwarna merahnya yang kotor karena tepung dan bahan-bahan lainnya.“Ehhh mau ke mana? Coba dulu cupcake buatanku dan Aditya. Ini suatu mahakarya,” ujar Akhtar sambil tersenyum lebar.“Please, Akhtar. Aku buru-buru,” jawab Hayden yang mencoba melewatinaya, namun gagal.“Mau ke mana sih? Ayo coba dulu,” ujar Aditya sambil mendorong laki-laki ja
Wajah gadis itu basah karena air mata yang terus menerus keluar dari matanya. Namun, kehadiran laki-laki itu membuat semua rasa sedihnya sirna begitu saja. Kesendiriannya, rasa kesepiannya, rasa terabaikannya, dan setiap luka di hatinya hilang begitu saja karena kehadiran laki-laki yang sangat disayanginya.Gadis itu mengenakan gaun berwarna merah muda. Rambutnya digulung ke belakang, namun sudah tidak rapi lagi. Kedua mata nan indah itu basah dan air mata membuat bulu matanya terlihat lebih panjang.Mereka duduk di bangku taman yang terletak di halaman depan rumah itu. Gadis berambut lurus itu bersandar pada bahu laki-laki di sampingnya sambil memeluk tubuh yang tegap itu.“Kapan pernikahannya digelar?” tanya laki-laki itu.“Saat ini sedang berlangsung,” jawab gadis itu.“Kamu yakin gak akan datang?”“Ya. Lagipula aku gak diinginkan di sana,”“Mereka pasti cari kamu,”“Mereka semua pasti benci aku. Aku sudah dilupakan. Sama ketika mereka semua melupakan mendiang ibuku. Gak ada seseor
Sepasang kekasih itu duduk di salah satu pijakan tangga dekat laboratorium. Mereka duduk dalam keheningan karena mereka berdua merasa begitu canggung. Hayden memang tadi menolong gadis itu bangkit dan meminta maaf kepada Adrian karena telah menubruk pria muda itu. Namun, hal itu ia lakukan karena rasa cemburunya setalah melihat sendiri kedekatan antara pria itu dengan kekasihnya.“Kamu tadi gak apa-apa ‘kan? Gak ada yang luka?” tanya laki-laki itu pada gadis yang duduk di sebelahnya, mencoba memecahkan keheningan.“Ya, aku baik saja,” jawab Vanika dengan singkat.Hayden memiringkan tubuhnya dan menatap gadis itu.“Kenapa kamu menghindar dari aku?” tanya Hayden.“Entahlah,” jawab kekasihnya.“Van, maafkan aku karena buat kamu kecewa untuk kesekian kalinya,” ucap laki-laki itu kemudian.“Kenapa kamu gak jujur saja? Aku pun gak akan melarang kamu untuk pergi malam itu,” balas Vanika dengan wajah tanpa ekspresinya.“Kamu cemburu?” tanya Hayden pada gadis yang sedang menatapnya dengan taj
Gadis berambut lurus itu berdiri sambil membawa sebuah tas kecil berisi satu box kecil berisi cake berukuran mini. Vanika membuka gerbang dan gadis itu menyodorkan tas tersebut kepadanya.“Aku tahu ini terlambat, tapi aku dengar kamu ulang tahun beberapa waktu lalu. Jadi ini aku bawakan cake. Aku tahu ini terlalu sederhana, tapi terimalah,” ucap Emily sambil tersenyum.“Terima kasih,” jawab Vanika dengan senyum.Di hatinya ia merasa bimbang dan bingung dengan apa yang sedang terjadi. Kenapa gadis yang selama ini membuatnya cemburu dan selalu terlihat menbencinya tiba-tiba bersikap manis?“Ayo masuklah, Emily,” ajak sang tuan rumah itu pada tamunya.“Ah gak usah, gimana kalau kita ngobrol di situ saja?” ujar Emily sambil menunjuk sebuah bangku taman di halaman depan rumah Vanika yang luas itu.Tidak lama kemudian dua gadis itu duduk di tempat tersebut. Vanika menyimpan tas berisi cake itu di sebelah kirinya. Emily yang duduk di sebelah kanan gadis berambut ikal itu mulai membuka suara.
“Adrian?! Kenapa mereka bisa akrab?” tanya ketua kelas bertubuh kurus kering itu dengan nada yang sedikit tertahan.Ia mengintip dari sebuah tempat duduk di depannya dengan gaya yang dramatis. Seolah-olah ia baru saja mendapat bahan baru untuk bergosip. Ia bertingkah bagaikan seorang tokoh dalam sebuah drama. Lalu ia menatap sahabatnya dengan kedua mata yang terbelalak seolah-olah keduanya akan loncat keluar.“Entahlah,” jawab Hayden dengan tidak acuh. Kemudian ia memakai earphone dan menatap pemandangan luar luar.“Kenapa kamu begitu tidak acuh?” bisik Satrio sambil mendorong kawannya. Ia sedikit kesal karena tidak mendapat tanggapan apapun dari kawannya itu.***Vanika berjalan dengan pria muda itu menuju rumahnya. Pria muda berkulit putih itu tersenyum bahagia dan Vanika merasa setiap rasa sakit di hatinya perlahan hilang. Mengingat Hayden selalu membuatnya teringat setiap moment yang ia jalani bersama laki-laki itu.“Kak Adrian?” tanya Vanika kepada pria di sampingnya.“Hmmm?” jaw
Sepertinya memang harus begini, memang jalannya harus begini.Semuanya berakhir di sini.Atau mungkin tidak.Berbagai macam hal terlintas di pikiran laki-laki itu. Ia keluar dari kelas itu dan disambut oleh sebuah senyuman hangat teman masa kecilnya. Gadis itu menghampirinya, tapi ia begitu kesal dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini sehingga ia terus berjalan dan mengabaikan keberadaan kawannya.Gadis itu merasa sangat kecewa karena ia pikir sekarang ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan laki-laki itu. Namun, sebaliknya. Hayden semakin tidak mengacuhkannya. Emily menyaksikan Hayden terus berjalan menuju ruang kelasnya tanpa mengatakan apa pun. Gadis manis itu merasa begitu kecewa dan kembali ke kelasnya dengan kepala yang tertunduk.***“Entah kenapa aku sangat menikmati pelajaran olahraga hari ini. Teori saja sudah cukup bagiku karena praktik itu terlalu melelahkan. Ah, mungkin bagi sebagian besar siswa di kelasku juga begitu. Lagipula lebih enak melihat Pak Adrian kita