Gadis berambut lurus itu berdiri sambil membawa sebuah tas kecil berisi satu box kecil berisi cake berukuran mini. Vanika membuka gerbang dan gadis itu menyodorkan tas tersebut kepadanya.“Aku tahu ini terlambat, tapi aku dengar kamu ulang tahun beberapa waktu lalu. Jadi ini aku bawakan cake. Aku tahu ini terlalu sederhana, tapi terimalah,” ucap Emily sambil tersenyum.“Terima kasih,” jawab Vanika dengan senyum.Di hatinya ia merasa bimbang dan bingung dengan apa yang sedang terjadi. Kenapa gadis yang selama ini membuatnya cemburu dan selalu terlihat menbencinya tiba-tiba bersikap manis?“Ayo masuklah, Emily,” ajak sang tuan rumah itu pada tamunya.“Ah gak usah, gimana kalau kita ngobrol di situ saja?” ujar Emily sambil menunjuk sebuah bangku taman di halaman depan rumah Vanika yang luas itu.Tidak lama kemudian dua gadis itu duduk di tempat tersebut. Vanika menyimpan tas berisi cake itu di sebelah kirinya. Emily yang duduk di sebelah kanan gadis berambut ikal itu mulai membuka suara.
“Adrian?! Kenapa mereka bisa akrab?” tanya ketua kelas bertubuh kurus kering itu dengan nada yang sedikit tertahan.Ia mengintip dari sebuah tempat duduk di depannya dengan gaya yang dramatis. Seolah-olah ia baru saja mendapat bahan baru untuk bergosip. Ia bertingkah bagaikan seorang tokoh dalam sebuah drama. Lalu ia menatap sahabatnya dengan kedua mata yang terbelalak seolah-olah keduanya akan loncat keluar.“Entahlah,” jawab Hayden dengan tidak acuh. Kemudian ia memakai earphone dan menatap pemandangan luar luar.“Kenapa kamu begitu tidak acuh?” bisik Satrio sambil mendorong kawannya. Ia sedikit kesal karena tidak mendapat tanggapan apapun dari kawannya itu.***Vanika berjalan dengan pria muda itu menuju rumahnya. Pria muda berkulit putih itu tersenyum bahagia dan Vanika merasa setiap rasa sakit di hatinya perlahan hilang. Mengingat Hayden selalu membuatnya teringat setiap moment yang ia jalani bersama laki-laki itu.“Kak Adrian?” tanya Vanika kepada pria di sampingnya.“Hmmm?” jaw
Sepertinya memang harus begini, memang jalannya harus begini.Semuanya berakhir di sini.Atau mungkin tidak.Berbagai macam hal terlintas di pikiran laki-laki itu. Ia keluar dari kelas itu dan disambut oleh sebuah senyuman hangat teman masa kecilnya. Gadis itu menghampirinya, tapi ia begitu kesal dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini sehingga ia terus berjalan dan mengabaikan keberadaan kawannya.Gadis itu merasa sangat kecewa karena ia pikir sekarang ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan laki-laki itu. Namun, sebaliknya. Hayden semakin tidak mengacuhkannya. Emily menyaksikan Hayden terus berjalan menuju ruang kelasnya tanpa mengatakan apa pun. Gadis manis itu merasa begitu kecewa dan kembali ke kelasnya dengan kepala yang tertunduk.***“Entah kenapa aku sangat menikmati pelajaran olahraga hari ini. Teori saja sudah cukup bagiku karena praktik itu terlalu melelahkan. Ah, mungkin bagi sebagian besar siswa di kelasku juga begitu. Lagipula lebih enak melihat Pak Adrian kita
Vanika begitu terkejut melihat sosok yang ia rindukan muncul di hadapannya. Laki-laki berparas tampan itu menatapnya dengan wajah yang pucat dan tenang.“Ma,,, maaf, Hayden,” ucap gadis itu dengan suara yang pelan.“Ya, gak apa-apa,” jawab laki-laki jangkung itu dengan senyumnya.Momen ini sedikit terasa aneh karena mereka tidak berbicara dalam waktu yang cukup lama. Vanika masuk ke dalam area stand itu dan Hayden mendekati ibu penjual lontong kari itu.“Mau ambil pesanan ya? Sebentar ya,” ujar ibu itu sambil menyelesaikan pesanan Vanika.“Baik, Bu,” jawab Hayden dengan tenang.Kedua siswa itu masing-masing melihat sekeliling mereka di situasi yang sangat canggung itu. Tiba-tiba pandangan mereka bertemu dan mereka langsung saja mengalihkannya ke arah lain. Tidak lama kemudian ibu penjual lontong kari itu memberikan pesanan kepada laki-laki itu. Hayden melihat ke arah Vanika dengan senyumnya yang hangat.“Aku duluan ya,” ujarnya seraya tersenyum pada gadis itu.Vanika tersenyum tipis k
Ukiran itu dibuat dengan rapi dan indah. Mungkin untuk kabanyakan orang itu adalah ukiran biasa yang dibuat orang yang sedang jatuh cinta. Sebuah kutipan dari buku karangan Shakespeare yang menjadi buku favorit mereka.“Forty thousand brothers could not with all their quantity of love make up my sum”Hayden tersenyum membaca tulisan itu. Ada semacam perasaan senang, rindu, kecewa, dan sedih yang bercampur di hatinya. Laki-laki itu berjalan dan menaiki tangga. Tatapannya menyapu semua bagian tempat itu dan ia tiba-tiba teringat rasa dukanya ketika kehilangan sang ayah. Pada akhirnya aku selalu berakhir di sini, pikirnya.Rumah pohon itu selalu menjadi tempat sekaligus teman di kala ia merasa tidak memiliki siapa pun untuk menemani rasa dukanya. Tidak lama kemudian hujan turun dengan lebat dan membuatnya sedikit mengantuk. Laki-laki bertubuh jangkung itu menutup pintu dan naik ke atas ranjang gantungnya. Kemudian ia berbaring sambil melihat ke arah jendela sambil menikmati pemandangan
Vanika menatap sosok yang baru saja duduk di sebelahnya. Laki-laki itu menatapnya balik dengan senyum yang hangat. Wajahnya begitu tenang seolah-olah tidak pernah terjadi hal buruk pada mereka. Senyum yang sedang ia tatap di wajahnya itu sudah cukup lama tidak ia lihat. Menenangkan, tapi membuat hatinya begitu bergejolak.“Vanika,” ucap laki-laki itu sambil menatap lekat kedua matanya.“Hayden,” balasnya dengan lembut.Seketika mereka saling bertatapan dalam keheningan. Tidak lama setelah itu, suasana canggung dan kaku menimpa mereka. Tatapan mereka beralih kepada sekumpulan siswa yang sedang bermain bola di lapangan.“Jimmy dan Joe semakin unggul dalam olahraga ya,” ujar Hayden yang berusaha mencairkan suasana.“Ya, mereka semakin hebat,” jawab Vanika sambil berusaha fokus dengan apa yang ia saksikan di depannya.“Kelihatannya begitu. Kalau kamu bagaimana? Apa kabarmu?” tanya laki-laki itu sambil menatap gadis itu.“Lumayan. Lebih baik dari sebelumnya,” jawab gadis berambut ikal itu
Vanika memandang pria itu dengan kedua mata bulatnya. Pria muda bertubuh tinggi itu baru saja meminta izin untuk memeluknya. Sedikit aneh bagi Vanika, tapi seperti itulah Adrian.“Sure. We’re friends,” jawab gadis itu sambil memeluk Adrian.Adrian yang mendengar itu sedikit merasa kecewa, namun merasa nyaman ketika gadis yang ia sayangi memeluknya. Pelukan singkat itu meninggalkan kesan berbeda bagi Vanika. Berbeda dari setiap pelukan Hayden yang penuh dengan gejolak remaja, Adrian memberikan kesan sederhana yang penuh ketulusan.“Ya sudah, aku pulang ya. Jaga diri baik-baik, Van,” ucap pria muda itu sambil menepuk bahu gadis yang berdiri di hadapannya.“Wah, wah, wah. Mencoba untuk berbicara informal ya?” ujar Vanika dengan tawa ringannya.“Ya,” jawab Adrian dengan senyum yang terkesan sedikit canggung.“Hati-hati di jalan ya,” pesan gadis bertubuh ramping itu sambil melambaikan tangannya seiring dengan perginya pria muda itu.***Vanika terbangun dari tidurnya karena Clarissa memasu
Vanika duduk di teras rumahnya sambil menatap lekat-lekat wajah gadis yang duduk di sebelahnya. Rambut gadis itu begitu gelap, lurus, dan indah. Kedua alisnya begitu tebal dan cantik. Bulu matanya lebat dan lentik. Kedua matanya sedikit sembap karena habis menangis.“Emily, are you okay?” tanya Vanika dengan sedikit cemas dan dibalas oleh anggukan kecil dari gadis di sebelahnya itu.Vanika meraih salah satu tangan Emily yang sedang meremas-remas gaun hitamnya. Seorang gadis cantik dengan wajah muram dan mengenakan gaun hitam adalah pemandangan yang sangat menyedihkan. Gadis berambut kecokelatan itu mengelus tangan Emily dengan lembut.“Ada apa, Emily?” tanyanya dengan lembut.“Vanika, maafkan aku,”“Untuk apa?”“Hayden…”“Kami sudah berakhir, Emily,” potong Vanika.“Aku mohon kembalikan dia jadi seperti dulu lagi, Van,” ucap Emily dengan pelan.“Kenapa?”“Dia berubah total sejak berpisah dengan kamu. Aku pikir hanya kamu yang bisa mengembalikan Hayden yang dulu,”“Emily, dulu kamu yan