Teman-teman sedivisinya yang berada satu meja dengan Mone sontak ikut terkejut. Bahkan aksi Anggika sukses mengundang perhatian, sampai membuat seluruh mata yang ada di kantin ini menatap ke arah mereka."Mbak, apa-ap—"Plak.Sebuah tamparan sukses mendarat di pipi Mone. Kerasnya suara tamparan itu sampai membuat beberapa mata yang memperhatikan mereka ikut mengaduh."Gila kamu, ya! Kamu tuh gak punya otak atau gak punya urat malu atau gimana? Bisa-bisanya kamu main gila sama suami aku! Bisa-bisanya kamu jual diri ke Kakak Tiri kamu sendiri, hah!" Emosi Anggika meledak sudah, mulutnya sudah tak tahan melontarkan kalimat-kalimat makian yang ditahannya selama di perjalanan.Napas Mone kini menderu. Tubuhnya bergetar ketakutan, karena tak mengantisipasi akan terjadi kejadian ini. Ada beratus pasang mata yang saat ini memandangnya dengan tatapan jijik. Ada beratus pasang mata yang ikut menelanjanginya selagi Anggika terus melontarkan kalimat makian yang semakin lama semakin kasar."Anjing
Rafka membawa Mone ke dalam mobilnya. Ia tidak tahu tempat lain yang tidak memancing perhatian selagi kondisi Mone belum stabil.Mone terus merapalkan kalimat-kalimat yang semakin menyayat hati. Bahkan Rafka nyaris tidak sanggup mendengarnya. Jiwa Mone tak lagi baik-baik saja setelah seluruh kejadian yang menimpanya.Recovery jiwa yang dilakukan Mone belum sepenuhnya selesai. Bahkan jika Mone bisa terlihat baik-baik saja, hanya dengan beberapa kalimat pancingan, berhasil kembali mengguncang jiwanya."Tolong ... aku mau hidup sekarang ... tolong aku ...."Hati Rafka teriris mendengar pernyataan itu, beriringan dengan keringat yang mengucur di pelipis Mone. Rafka meremat kesepuluh jarinya. Jadi, sampai seperti ini kondisi Mone saat dirinya lebih memilih untuk meninggalkan Mone?"Mon, tolong sadar." Rafka menarik Mone dalam pelukannya, ia tak tahan melihat Mone terus seperti ini.Pada akhirnya, Rafka ikut menangis, seiring merasakan tubuh Mone yang berguncang dengan tangisnya yang pecah.
"Little did I know, love is easy. But why was it so hard? It was like never enough. I gave you all still you want more ... I love you but I'm letting go." - I Love You But I'm Letting Go, Pamungkas___________________Mata Anggika tidak berkedip, ia melihat kesungguhan Pandu saat mengatakan itu. Pandu tidak bercanda. Apa barusan yang dikatakannya? Cerai? Semudah itu Pandu melontarkan kata yang sangat mengerikan? Bahkan Pandu tidak repot memikirkan Naka!"Pandu," panggil Anggika, meski Pandu tidak mengalihkan perhatiannya sedetik pun dari wajahnya. "Kamu cinta gak sih sama aku?" Pertanyaan itu meluncur dari mulutmya, satu hal yang akhirnya dipertanyakan kembali setelah rumah tangganya berusia empat tahun.Pandu menunduk. Pertanyaan Anggika sukses membuat hatinya bergetar. Cinta, ya? Ia sudah lama tidak mendengar kata itu, setelah yang terjalin antara dirinya dan Anggika tertumpuk dengan kebohongan-kebohongannya demi bersama Mone.Pandu masih terdiam untuk beberapa saat. Ia memikirkan m
Pandu ingin melenyapkan isi pikirannya. Ia ingin isi kepalanya agar berhenti menyiksanya lebih jauh.Pandu melumat bibir itu dengan sekuat tenaga, seolah tak pernah puas meski napasnya nyaris tak bersisa. Aksi ciuman itu mengantarkannya untuk memasuki apartemen Mone lebih jauh, dan menutup pintu itu dengan dorongan dari kakinya.Berengsek! Isi kepalanya tak mau pergi barang sedetik pun! Ia bahkan sudah mendorong tubuh Mone sampai terjatuh di tempat tidurnya, membuatnya menindih Mone sampai kesulitan untuk bergerak.Pandu melepaskan pagutannya, membuatnya dapat mendengar lenguhan Mone yang nyaris kehabisan napas. Namun, hal itu tak lantas menghentikan aksinya. Ciuman itu kini berpindah ke tengkuk Mone, membuat suara lenguhan Mone terdengar semakin keras."Mas ... nghh ... Mas—"Pandu menyukainya. Ia menyukai suara Mone yang terus meronta memanggilnya. Hal itu membuat isi kepalanya perlahan mengabur, berganti dengan gairah yang memaksa untuk keluar.Telah diloloskannya atasan pakaian Mo
Rafka berdiri, lalu berjalan mendekati bangku Fara. Diambilnya telapak tangan Fara dengan lembut, dan digenggamnya beberapa saat. Kemudian Rafka bersimpuh saat itu juga, merapatkan tubuhnya dengan kedua lutut Fara.Fara terkejut dengan aksi Rafka. Apa yang akan dilakukan Rafka? Mati-matian ia menolak seluruh skenario terburuk untuk malam ini.Rafka mengapit telapak tangan kiri Fara dengan kedua tangannya, hingga satu gerakan paling brengsek itu dilakukannya. Ia menarik cincin yang tersemat di jari manis Fara, lalu mengeluarkannya secara perlahan.Fara menggelengkan kepalanya. Apa yang sedang dilakukan Rafka? Ia berusaha sekuat tenaga menarik tangannya, untuk menghentikan aksi Rafka. Namun, tangan Rafka menahannya cukup kuat.Yang terjadi selanjutnya, cincin tanda pertunangan itu berhasil terlepas. Rafka meletakannya pada telapak tangan Fara, memaksa Fara untuk menggenggamnya alih-alih memakainya."Raf, maksud kamu ...." Fara tercekat, ia bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Air ma
Tiga hari pasca kejadian di kantin, kehidupan kantor Mone berubah seperti di neraka. Setiap hari seolah sama, dari mulai lobi sampai ke ruangannya, Mone dapat mendengar kasak-kusuk orang lain membicarakannya.Ada berbagai tatapan yang menyertainya, tapi yang paling mendominasi adalah tatapan jijik. Sisanya, ada tatapan kasihan yang jumlahnya dapat dihitung jari. Selama itu Mone harus bersikap muka tembok, tetap berjalan tanpa peduli banyak mata mengintai. Belum lagi yang membicarakannya secara diam-diam hingga terang-terangan.Sikap karyawan divisinya juga ikut berubah. Mone sampai tidak tahu, itu karena fakta ia menjalin perselingkuhan dengan suami orang, atau karena kandasnya hubungan Fara dan Rafka yang tentu saja dikaitkan juga dengannya. Mendadak, sikap hangat seluruh karyawan di divisinya menghilang. Berubah menjadi kecanggungan dan berkomunikasi secukupnya. Bahkan seharian mereka berusaha meminimalisir berkomunikasi dengan Mone.Hal itu membuatnya kini lebih memilih memfotokopi
Meeting dengan divisinya baru saja selesai. Mone membahas terkait permasalahan barusan yang telah diselesaikannya. Ia memberikan teguran pada seluruh karyawannya yang menyembunyikan permasalahan ini. Ia juga membahas terkait kejadian di kantin tempo hari, setelah sekian hari ia diam saja, akhirnya ia angkat bicara agar permasalahan itu jangan sampai lagi mempengaruhi kinerja mereka barang satu persen pun."Yang lain boleh keluar, saya mau bicara dengan Fara."Fara melotot saat mendengar itu. Apa-apaan ini? Dirinya akan disidang seorang diri. Hell. Siapa yang tadi mengatakan jangan melibatkan permasalahan pribadi? Jadi, untuk apa Mone ingin berbicara dengannya jika bukan menyangkut urusan pribadinya?Fara berdecak. Ia muak melihat Mone. Ia membenci fakta bahwa wanita di hadapannya itu atasannya, membuatnya tidak mampu berkutik bahkan saat hatinya ingin memaki Mone yang sudah menghancurkan masa depannya."Aku tau ini pasti berat buat kamu." Mone kembali dalam mode menyebut dirinya 'aku'
"Wes, yang pulang honeymoon mukanya cerah amat."Mone dapat menangkap suara Laely yang meledek seorang karayawan yang baru saja memasuki pantry. Widi, karyawan divisi penjualan yang baru kembali dari masa cutinya, menarik kursi di sebelah Fara yang sedang menikmati sarapannya."Iyaa dong, berasa terlahir kembali." Widi membuka cerita dengan suaranya yang antusias, membuat beberapa orang yang sedang berada di pantry tertarik untuk mendengarkan.Mone membuka laci pada kitchen set yang tersedia di pantry, mencari gula untuk menyeduh kopinya. Keperluannya di sini hanya untuk menyeduh kopi, sebab perkumpulan di pantry ini pasti lebih senang saat Mone pergi, karena banyak yang bisa dibicarakan tentangnya."Far, gimana? Lo jadi pake WO gue yang kemaren gak? Orangnya nanyain ke gue tuh." Widi mencomot gorengan yang ada di meja entah milik siapa. Saat sedang asik mengunyah gorengannya, Widi baru sadar beberapa tatapan mengarah padanya, seolah ada yang salah dengan Widi. "Kenapa?" tanya Widi bi