Apa-apaan ini, bisa-bisanya mendukung perselingkuhan, aku dibuat geram karenanya. Langsungku stalking kedua akun, yang me-mentionku dan orang di balik komentar aneh. belum selesai akun mencari tahu siapa di balik akun-akun itu, suara seseorang di depan sana mengalihkan perhatianku.
"Assalamualaikum," salam sesorang yang kuyakin Mbak Naura.
Kuletakan posel di atas nakas dan bergegas membuka pintu, untuk menemuinya.
"Waalaikumusalam, Mbak. Ada apa?" tanyaku bingung, karena jarang sekali dia datang pagi-pagi.
Mbak Naura masuk tanpa aku suruh, dan langsung duduk. Memijat pelipisnya berulang kali. Apa dia ada masalah, ya, batinku.
"Mbak sudah sarapan?" tanyaku.
Dia tidak menjawab, hanya memandang dengan tatapan sendu. Kemudian memelukku erat, menepuk punggungku pelan.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku.
Aku benar-benar bingung dibuatnya, takut terjadi sesuatu padanya saat pulang dari sini semalam. Kuurai pelukan darinya dan bertanya ada apa, untuk kesekian kalinya.
"Kamu adalah adik mbak, apa pun yang terjadi, mbak akan selalu di belakangmu!" serunya dengan menahan isakan.
Aku mengeryit, tidak mengerti sama sekali dengan apa yang diucapkannya. Perlahan aku bertanya padanya, tentang dirinya yang tiba-tiba seperti ini. Tapi dia hanya diam saja, dan beralih menanyakan aset milik Mas Attar.
"Semua atas nama Mas Attar, Mbak." Aku menjawab setelah yakin dengan pertanyaannya.
"Sekarang kamu harus memindahkan semuanya atas nama kamu, bagaimanapun caranya!" Dengan dagu terangkat, Mbak Naura mengatakan hal yang membuatku merasa semakin aneh.
"Mbak kenapa, sih?" Mata kusipitkan, saat bertanya.
Sepertinya mulai kebiasaan Mbak Naura yang mendadak diam saat aku tanya, dia malah asik bermain ponsel. Kemudian, dia berjingkat. Menatapku sayu dan kembali memelukku erat.
"Brengs*ek si Attar!" makinya.
"Mbak! Ada apa sih?" tanyaku yang benar-benar ingin jawaban darinya.
Dengan tangan bergetar, Mbak Naura menunjukan status seseorang yang kuyakini Shanum, karena hanya dia yang selama tiga bulan ini mengirimkan pesan untuk Mas Attar. Namun, status yang ini berbeda dengan status yang tadi aku baca.
"JIKA SUDAH SAMA-SAMA CINTA, KENAPA HARUS MENUNDA UNTUK BERSAMA. KITA TIDAK MERUGIKAN ORANG LAIN!"
Ujar status yang kembali me-mention akunku dan akun Mas Attar. Apa maunya gadis itu, apakah dia benar-benar mencintai Mas Attar, dan apakah Mas Attar juga mulai main hati dengannya?
"Udah, jangan kamu pikirkan. Sekarang kamu harus cerdik, untuk mempertahankan rumah tangga kamu. Minimal memiliki hak untuk masa depan Aqilla.
Aku tersenyum bangga melihat kakak iparku yang satu ini, jika di luar sana banyak sekali ipar yang saling sikut, tidak halnya dengan wanita yang selalu mendukungku.
Kecurigaanku mulai tumbuh pada Mas Attar, meski dia terbuka padaku. Akan tetapi aku tidak tahu isi hatinya yang terdalam.
"Mbak, tapi Mas Attar sudah mengatakan tidak melakukan itu!" ucapku seraya meringis.
"KIta tidak tahu hatinya, kan?" tanyanya seperti apa yang kupikirkan.
Aku mengangguk dan bertanya harus bagaimana menghadapi ini, karena aku tidak ingin keutuhan rumah tanggaku terganggu, apalagi di rusak oleh wanita lain.
"Pertama-tama, semua aset harus di balik nama atas namamu atau Aqilla. Kedua, kamu harus mempercantik diri, ikut semua senam dan perawatan!" saran Mbak Naura. "Jangan biarkan ulut bulu yang masih piyik mengganggu rumah tanggamu!" imbuhnya malah membuatku tertawa.
Aku pun sempat terpana, kala melihat lekuk tubuh Shanum yang aduhai. Benar-benar idaman para lelaki, berbeda denganku yang makin melebar setelah melahirkan Aqilla.
"Tapi aku tidak berani bilang ke Mas Attar, Mbak," lirihku.
"Nanti kita cari caranya," ujarnya. "Sekalian aku mau mencari tahu tentang gadis pengoda itu!" tambahnya penuh semangat.
"Oya, Mbak. Mas Attar bulan ini berniat membeli mobil, lagi nunggu bonus cair," ujarku saat mengingat perkataan Mas Attar yang berniat membeli mobil untuk jalan-jalan dan mengantar ibu mertua berobat, agar tidak terus menerus sewa.
"Bagus, coba minta atas namamu. Kalau tidak boleh, bilang ke Mbak!" tegasnya.
Ponselku beberapa kali menerima pesan beruntun, lalu suara dering terdengar berulang kali. Membuyarkan konsentrasiku berbincang dengan Mbak Naura.
"Mungkin Attar," ujar Mbak Naura dan aku membantahnya, karena ponsel Mas Attar rusak olehku dan tidak mungkin dia langsung membeli yang baru.
Saat ingin melihat siapa yang memberondongku dengan pesan dan panggilan, Aqilla bangun dan menangis kencang. Mau tidak mau aku mengurus Aqilla terlebih dulu, dan Mbak Naura ijin pulang, karena anaknya mau berangkat sekolah.
***
"Loh, kamu kok sudah pulang, Mas?" tanyaku kaget saat melihat Mas Attar pulang dengan wajah pucat, padahal tadi sudah sarapan.
"Aku hanya lelah dan tidak bisa konsentrasi di kantor," terangnya yang membuatku heran.
Kulirik jam dinding, waktu menunjukan jam sebelas siang. Mas Attar membersihkan diri, lalu mengajak Aqilla bermain dan mereka terlihat sangat bahagia, membuatku semakin tidak percaya, jika konsentrasinya hilang.
"Mas, katanya ...," tanyaku terhenti, karena dipotong oleh Mas Attar.
"Yuk, kita jalan-jalan. Tadi kamu bilang mau pergi, kan?" ajaknya, yang makin membuatku curiga.
"Aku siap-siap dulu, Mas!" Aku meninggalkan Mas Attar dan Aqilla.
Perasaanku agak aneh, saat akan berjalan ke kamar mandi. Pandanganku tertuju begitu saja ke nakas tempatku meletakkan ponsel tadi, dan benar saja kecurigaanku, Mas Attar memegang ponsel milikku. Tidak pernah Mas Attar memeriksa ponselku, dan jika ingin menggunakannya maka dia akan bertanya lebih dulu. Sebenarnya mau apa dia, apa yang dia curigai dari ponselku?
Ah! Aku baru ingat. Tadi banyak pesan dan panggilan tidak terjawab dari orang, dan belum sempat aku melihatnya. Terlalu asik bermain dengan Aqilla. Apakah karena hal itu yang membuat Mas Attar memeriksa ponselku!Mas Attar melihat ke arahku dan dengan cepat aku bersembunyi di balik dinding sekat. Berarti ada ketakutan darinya, jika aku memergokinya memegang ponselku.'Siapa yang mengirimiku pesan, sampai-sampai membuat Mas Attar merasa terganggu dan harus pulang kantor jam segini! Atau, Mas Attar tidak berangkat kerja sejak tadi pagi?' batinku mulai berkecamuk.Aku bergegas mandi, lalu menyiapkan diri, agar Mas Attar tidak terlalu lama menunggu, dan yang pasti aku ingin melihat reaksinya setelah memegang ponselku."Masih lama, Yumna?" tanyanya, tanpa memanggilku sayang, seperti biasanya."Udah, Mas. Tinggal pakai hijab saja!" balasku.Setelah memantaskan diri di cermin. Aku baru sadar sesadar-sadarnya, jika tubuhku mulai tidak berbentuk lagi. Benar saran Mbak Naura, aku harus senam da
"Hei! Aku, kan belum bilang mau ngapain!" protesku pada Hilman."Tapi ini penting, Yumna!" ujarnya dengan nada yang tidak bercanda seperti biasanya."Aku sedang bersama Mas Attar, dia tadi pulang kerja. Enggak enak badan, katanya. Jadi besok-besok saja kita ketemuannya," balasku."Ya sudah, saat ketemuan saja aku ajari cara membaca pesan yang terlanjur dihapus," imbuhnya dan langsung mengakhiri panggilan.Akhirnya, aku akan tahu apa yang kamu takutkan, Mas! gumamku.Kulirik Mas Attar yang sedang sibuk dengan sales mobil, mengacuhkanku dan Aqilla. Kuhampiri dia dan meminta ijin untuk pulang sendirian. Sangat terasa dia mengabaikanku, lebih fokus ke sales cantik di depannya.Aku melangkah pergi, tanpa dirinya yang menemani. Menyusuri jalanan yang cukup panjang, merenungi rumah tanggaku yang tiba-tiba goyah dan perlakuan Mas Attar yang berubah drastis dalam hitungan jam.***Entah di mana aku berada sekarang, setelah berjalan sambil melamun. Aku menepuk dahiku, karena merasa bodoh. Bisa-
Aku menarik napas pajang dan menghembuskannya dengan sangat berat, mencubit tanganku berkali-kali, berharap ini adalah mimpi.Lagi, ponselku berdering dan tidak sanggup rasanya aku menerima kenyataan lain."Halo," jawabku tidak bersemangat, tanpa tahu siapa yang menelepon."Kamu di mana, Nak?" tanya seseorang yang sangat kucintai selain Mas Attar.Aku langsung menangis sesengukan, tidak sanggup berkata apapun. Mencurahkannya dengan air mata yang membuat dadaku yang sesak sediki lega."Kamu pulang saja, jika tidak ada tempat bernaung saat ini!" pintanya.Tubuhku luruh, sembari menggendong Aqilla. Menangis, tanpa ada yang memelukku erat. Lelaki yang biasanya di sampinku, kini sedikit demi sedikit mulai berpali dariku. "Nak, kamu di mana? Biar ibu jemput, kamu jangan ke mana-mana," pinta ibu, terdengar suaranya bergetar menahan ke khawatiran."Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja!" ucapku berulang.Panggilan kuakhiri, takut jika ibu terlalu khawatir padaku dan berakibat pada kambu
Dari parkiraan, aku hanya menatap Mbak Naura yang mengamuk pada Mas Attar. Menghirup udara sebanyak-banyak, agar dadaku tidak sesak dengan pemandangan yang terjaadi di depan sana. Memilih menjauh dari keributan yang diciptakan oleh Mbak Naura, karena Mas Attar menggandeng wanita lain dengan mobil yang baru dibelinya. Ada apa dengan suamiku yang hanya dengan hitungan jam bisa berubah sedemikiannya. Aku pun harus berubah, tekadku. Yang pertama kulakukan adalah menyimpan sedikit harta yang memang sepantasnya untuk Aqilla. "Mbak yang ini berapa?" tanyaku ketika kaki ini melangkah ke toko emas di dekatku, sesuai arahan Mbak Naura. "Ini dua gram, Mbak. Yang ini model terbaru," tunjuk sang pelayan toko. Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah kerumunan, yang di sana ada Mbak Naura dan Mas Attar. Aku pun mendengar bisik-bisik mereka yang mengatakan "Istri sah melabrak pelakor!" "Itu bukan istri sahnya, Mbak. Itu kakaknya sendiri, yang enggak tega melihat iparnya bersedih!" ucapku ding
"Bapak!" seruku.Aku takut, bapak melihat pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar, terlebih tau jika Mas Attar membawa wanita lain dengan begitu mesranya. Apa jadinya Mas Attar, pasti babak belur tidak akan diberi ampun."Kamu ngapain sore-sore begini di sini!" Bapak memperhatikanku dengan teliti, seakan-akan sedang merasakan kegundahan hatiku. "Bawa Aqilla yang masih kecil, lagi!" Bapak terlihat marah dan kemudian meraih tubuh mungil Aqilla, diciuminya berkali-kali tanpa bosan, seperti candu."Ii-ini, Pak. Ha-abis beli emas untuk simpanan," jawabku gugup, dengan menunjukkan sesuatu yang ada dalam tasku dan bapak hanya ber-oh ria."Attar belum pulang?" tanya bapak, sambil melirik keributan yang tidak kunjung berhenti.Aku menggeleng, takut bapak akan menyadari, jika di sana itu ada Mas Attar yang sedang di hajar oleh Mbak Naura. Akan tetapi, sepertinya bapak lebih peduli pada Aqilla, karena kembali asik pada cucu pertamanya."Ayo ke rumah saja, ibumu pasti kangen dengan Aqilla," ajak ba
Aku mengangguk, tahu apa yang ibu maksud. Dulu, pernah Mas Attar tidak sengaja duduk di samping wanita cantik dan berbincang dengan akrabnya, bapak langsung marah dan menginterogasinya habis-habisan. Jika saja, saat itu tidak ada Hilman dan adik sepupuku--Radit, maka dia sudah habis dipukuli ayah dan ternyata benar dugaan ayah dulu, suatu saat Mas Attar akan berpaling."Kamu mau pulang atau tetap di sini?" tanya ibu."Pulang, Bu. Oh iya lupa!" Aku menepuk dahiku karena lupa menghubungi Radit.Kukirimkan pesan padanya, agar langsung ke rumah ibu, karena tadi tidak sengaja ke temu bapak di jalan. Meski belum di baca, aku tahu dia pasti akan langsung ke rumah ini, dengan wajah cemberutnya."Bu, boleh aku titip sesuatu pada ibu?" tanyaku lirih.Ibu bertanya mau menitipkan apa dan untuk apa, dengan lirih aku menceritakan pada ibu semua yang aku alami, dari awal chat yang dilakukan Shanum hingga kejadian tadi, sebelum bapak menjemputku."Ibu sudah menduganya sejak seminggu yang lalu!" Ibu l
"Maksud kamu?" geramku, wajahku mungkin sudah sangat merah padam, karena sindiran halus dari Radit.Radit tertawa melihatku marah, dia memintaku untuk duduk kembali dan menenangkanku. Kemudian memberikan penjelasan versi dia sebagai laki-laki."Mbak, jika laki-laki memilih perempuan lain, itu banyak faktornya dan tidak bisa seratus persen disalahkan. Semua ada sebab musababnya, coba mbak perhatikan baik-baik apa saja yang terjadi tujuh tahun belakangan," Radit seakan menyadarkanku. "Semua bisa, karena Magic, atau memang Attar mata kerangjang, karena jatuh cinta lagi, karena bosan. Ingin merasakan sensasi berbeda, entah itu dari perilaku wanita padanya, masakan wanitanya, harum wanitanya, dan masih banyak yang lainnya. Ini tergantung istrinya sanggup atau tidak mengembalikan keharmonisan keluarganya,"Aku mendengarkan penuturannya dengan sangat baik, meski dia belum menikah, Radit di kelilingi oleh teman-teman yang sudah membina rumah tangga cukup lama. Pastinya dia sudah mengenal berb
"Sudah, sekarang kamu jangan terlalu fokus pada wanaita itu. Kamu fokus bagaimana bisa menjadi lebih baik, dan membuat Attar bisa kembali menjadi dia yang kamu kenal!" Nasehat ibu yang ingin kubantah. Namun, aku ingat dengan diriku yang belum bisa menjaga berat badan, apakah hanya karena ini, Mas Attar hatinya tergoda, dan membuatnya bisa di guna-guna, bukan karena suka. Tentu saja, hal ini membuatku semakin putus asa. Mas Attar adalah lelaki yang bisa menjaga pandangannya, selama kami menikah dan belum dikaruniai anak, dia pernah kuminta untuk menikah lagi, tapi langsung ditolak olehnya. Mas Attar mengatakan akan berjuang dan hidup hanya bersamaku. Kenyataannya, baru tujuh tahun dia sudah berubah. Benar kata pepatah, lelaki diuji, ketika memiliki harta dan tahta. Sedangkan wanita akan diuji, saat suaminya tidak memiliki apa-apa. "Mau ibu antar, atau Radit?" tawar ibu. Tangan ibu mengusap punggungku dengan lembut, terasa sekali kasih sayang yang dia berikan. Terkadang aku merasa se