"Hei! Aku, kan belum bilang mau ngapain!" protesku pada Hilman.
"Tapi ini penting, Yumna!" ujarnya dengan nada yang tidak bercanda seperti biasanya.
"Aku sedang bersama Mas Attar, dia tadi pulang kerja. Enggak enak badan, katanya. Jadi besok-besok saja kita ketemuannya," balasku.
"Ya sudah, saat ketemuan saja aku ajari cara membaca pesan yang terlanjur dihapus," imbuhnya dan langsung mengakhiri panggilan.
Akhirnya, aku akan tahu apa yang kamu takutkan, Mas! gumamku.
Kulirik Mas Attar yang sedang sibuk dengan sales mobil, mengacuhkanku dan Aqilla. Kuhampiri dia dan meminta ijin untuk pulang sendirian. Sangat terasa dia mengabaikanku, lebih fokus ke sales cantik di depannya.
Aku melangkah pergi, tanpa dirinya yang menemani. Menyusuri jalanan yang cukup panjang, merenungi rumah tanggaku yang tiba-tiba goyah dan perlakuan Mas Attar yang berubah drastis dalam hitungan jam.
***
Entah di mana aku berada sekarang, setelah berjalan sambil melamun. Aku menepuk dahiku, karena merasa bodoh. Bisa-bisanya berjalan tanpa arah dan tujuan, hingga tersasar. Aku mengambil ponsel untuk melihat jam, dan betapa terpananya aku. Berjalan selama dua jam tanpa henti, dan anrhnya, Aqilla anteng dalam gendonganku.
Aku menghentikan langkahku, melihat sekitar untuk mencari tempat istirahat. Cukup pegal rasanya kaki ini. Beruntungnya ada fasum di sekitarku, jadi bisa mengistirahatkan diri sejenak.
Aqilla seperti mengerti diriku, dia terbangun saat aku sudah melepas lelah. Memberinya asi, meski belum ada makanan yang masuk sejak pagi.
"Minum, Mbak," tawar seorang gadis manis, yang entah sejak kapan duduk di sampingku.
"Enggak, makasih!" tolakku.
Aku bermain bersama Aqilla yang selesai meminum asi. Di depanku, ada pasangan yang sedang bertengkar hebat, aku dan gadis di sampingku hanya melihat mereka dengan tatapan miris. Kedua orang dewasa itu berkelahi tepat di depan anak mereka, yang menangis. Meminta orang tuanya untuk tidak lagi saling memaki dan berteriak. Aku melihat Aqilla, yang masih bisa tersenyum saat aku mencurigai Mas Attar. Lalu kembali melihat pasangan yang bertengkar hebat di depanku.
"Mereka enggak mikirin perasaan anaknya, ya!" ketus gadis di sampingku.
"Kala ego dan hati terluka!" jawabku.
Kami saling pandang, kemudian tertawa bersama, ada kepedihan dari tawa kami yang tersembunyi.
"Kamu terlalu muda untuk tahu permasalahan orang dewasa," ujarku.
"Karena aku masih muda, jadi bisa melihat dunia yang terlalu banyak orang munafik!" ucapnya dengan menyimpan tangannya di saku.
Aku menghela napas panjang, mencoba memposisikan dirinya yang terluka karena pertengkaran orang tuanya.
"Kamu terluka karena orang tua kamu?" tanyaku.
"Mbak terluka karena suami mbak yang egois dan menjalin cinta dengan wanita lain?" tanyanya tanpa menjawab tanyaku.
Pertanyaannya pun tidak bisa aku jawab, karena ini privasi keluargaku. aku tidak ingin mengumbar aib suamiku yang belum tentu melakukan apa yang kusangkakan.
"Rahayu, Mbak." Gadis itu memperkenalkan diri.
"Yumna," balasku dengan menjabat tangannya yang terulur.
Rahayu menceritakan kenapa dia duduk di taman ini, dengan membawa tas berisi baju-bajunya, tanpa aku tanya. Dia ingin pergi jauh dari keluarganya dan membina hubungan dengan laki-laki yang katanya mencintai dirinya, tapi sayangnya lelaki itu sudah menikah dan memiliki anak. Aku yang mendengarnya seperti sedang berbincang dengan pelakor yang akan merusak rumah tanggaku sendiri.
"Apa yang kamu lihat dari lelaki itu, dia sudah membina hubungan terlebih dulu dengan istrinya dan kamu yang datang merusak. Bukankah sama saja seperti wanita yang merusak hubungan ibumu dan ayahmu?" tanyaku.
"Dia memberikan kehangatan orang tua yang kuharapkan," ujarnya lirih.
"Tapi anaknya pun saat ini terluka sama seperti dirimu. kamu terluka karena seorang wanita yang mengancurkan keluarga dan inumu, kan!" ketusku.
"Mbak enggak tahu rasanya dicintai dan dibuang!" serunya dengan membuang muka.
"Aku tahu, Rahayu. Aku sedang di masa di mana suamiku menjalin cinta dengan gadis seusia kamu, dan kamu lihat. Di sini aku dan anakku sekarang," ucapku, dan kusandarkan tubuhku yang terasa lelah.
Rahayu menatapku dengan pandangan yang entahlah. kemudian dia berdiri, mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang.
"Kita akhiri hubungan yang tidak sehat ini, rangkullah anak istri yang menemanimu dari nol, aku tidak ingin istrimu mengalami apa yang dialami oleh ibuku. Aku terlalu naif, masuk dan tergoda oleh kenyamanan yang semu!"
Setelah berkata demikian, Rahayu membanting ponselnya. Mengucapkan terima kasih karena telah membuka mata hatinya, agar tidak ada anak yang terluka sepertinya hanya karena keegoisan diri sendiri.
"Kamu mau ke mana, jangan lakukan hal yang membuat ibumu semakin menderita!" pesanku.
"Tidak, Mbak. Aku akan sekolah dengan baik dan kemudian bekerja untuk membahagiakan ibu di sisa hidupnya," Lantang dia berucap. "Sekali lagi terimakasih, ya. Aku terselamatkan menjadi bagian perusak rumah tangga orang atau yang biasa dicap sebagai pelakor!" imbuhnya dengan memelukku.
Rahayu pergi dengan meninggalkan kebahagian, sedangkan aku di sini masih berharap untuk bahagia. Memohon agar tidak ada pelakor cilik yang merasa nyaman dengan suami orang, seperti Rahayu dan Shanum.
Ponselku berdering dan kulihat nama Mbak Naura terpampang di sana. Aku rasa dia sangat khawatir denganku,
"Ya, Mbak," sapaku setelah menerima panggilan darinya.
"Kamu ke mana aja sih, bikin orang repot aja!"
Bukan suara Mbak Naura yang kudengar, melainkan Mas Attar yang tiba-tiba berubah kasar. Tidak menyangka, kepergiannya menuju kantor tadi merubah dia menjadi dingin dan ketus padaku. Ada apa dengannya.
Kudengar Mbak Naura memarahi adiknya yang berani bicara kasar padaku--istrinya. Memintanya untuk menjemputku dan Aqilla, bukan berlaku kasar! Aku hanya bisa diam mendengar pertengkaran mereka dan memilih menutup panggilan darinya.
Baru saja ponsel kumasukan ke dalam tas, kini sudah berdering lagi. Kulihat nama Hilman di layarku, enggak menerimanya, kuabaikan panggilan darinya. Pesan pun masuk darinya.
[Kamu bisa temui aku sekarang?]
[Aku kemarinnya melihat suamimu dengan seorang gadis cantik!]
Lalu, Hilman mengirimkan beberapa poto hasil jepretannya. Mataku terbuka lebar dan mulutku membentuk O, kala melihat betapa mesranya Mas Attar dengan seorang wanita yang tidak menampakan wajahnya, karena gambar itu di ambil dari samping. Wanita misterius itu bergelayut manja di dada Mas Attar, sedangkan Mas Attar tersenyum bahagia.
"Brengsek kamu Mas!" makiku.
Aku menarik napas pajang dan menghembuskannya dengan sangat berat, mencubit tanganku berkali-kali, berharap ini adalah mimpi.Lagi, ponselku berdering dan tidak sanggup rasanya aku menerima kenyataan lain."Halo," jawabku tidak bersemangat, tanpa tahu siapa yang menelepon."Kamu di mana, Nak?" tanya seseorang yang sangat kucintai selain Mas Attar.Aku langsung menangis sesengukan, tidak sanggup berkata apapun. Mencurahkannya dengan air mata yang membuat dadaku yang sesak sediki lega."Kamu pulang saja, jika tidak ada tempat bernaung saat ini!" pintanya.Tubuhku luruh, sembari menggendong Aqilla. Menangis, tanpa ada yang memelukku erat. Lelaki yang biasanya di sampinku, kini sedikit demi sedikit mulai berpali dariku. "Nak, kamu di mana? Biar ibu jemput, kamu jangan ke mana-mana," pinta ibu, terdengar suaranya bergetar menahan ke khawatiran."Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja!" ucapku berulang.Panggilan kuakhiri, takut jika ibu terlalu khawatir padaku dan berakibat pada kambu
Dari parkiraan, aku hanya menatap Mbak Naura yang mengamuk pada Mas Attar. Menghirup udara sebanyak-banyak, agar dadaku tidak sesak dengan pemandangan yang terjaadi di depan sana. Memilih menjauh dari keributan yang diciptakan oleh Mbak Naura, karena Mas Attar menggandeng wanita lain dengan mobil yang baru dibelinya. Ada apa dengan suamiku yang hanya dengan hitungan jam bisa berubah sedemikiannya. Aku pun harus berubah, tekadku. Yang pertama kulakukan adalah menyimpan sedikit harta yang memang sepantasnya untuk Aqilla. "Mbak yang ini berapa?" tanyaku ketika kaki ini melangkah ke toko emas di dekatku, sesuai arahan Mbak Naura. "Ini dua gram, Mbak. Yang ini model terbaru," tunjuk sang pelayan toko. Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah kerumunan, yang di sana ada Mbak Naura dan Mas Attar. Aku pun mendengar bisik-bisik mereka yang mengatakan "Istri sah melabrak pelakor!" "Itu bukan istri sahnya, Mbak. Itu kakaknya sendiri, yang enggak tega melihat iparnya bersedih!" ucapku ding
"Bapak!" seruku.Aku takut, bapak melihat pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar, terlebih tau jika Mas Attar membawa wanita lain dengan begitu mesranya. Apa jadinya Mas Attar, pasti babak belur tidak akan diberi ampun."Kamu ngapain sore-sore begini di sini!" Bapak memperhatikanku dengan teliti, seakan-akan sedang merasakan kegundahan hatiku. "Bawa Aqilla yang masih kecil, lagi!" Bapak terlihat marah dan kemudian meraih tubuh mungil Aqilla, diciuminya berkali-kali tanpa bosan, seperti candu."Ii-ini, Pak. Ha-abis beli emas untuk simpanan," jawabku gugup, dengan menunjukkan sesuatu yang ada dalam tasku dan bapak hanya ber-oh ria."Attar belum pulang?" tanya bapak, sambil melirik keributan yang tidak kunjung berhenti.Aku menggeleng, takut bapak akan menyadari, jika di sana itu ada Mas Attar yang sedang di hajar oleh Mbak Naura. Akan tetapi, sepertinya bapak lebih peduli pada Aqilla, karena kembali asik pada cucu pertamanya."Ayo ke rumah saja, ibumu pasti kangen dengan Aqilla," ajak ba
Aku mengangguk, tahu apa yang ibu maksud. Dulu, pernah Mas Attar tidak sengaja duduk di samping wanita cantik dan berbincang dengan akrabnya, bapak langsung marah dan menginterogasinya habis-habisan. Jika saja, saat itu tidak ada Hilman dan adik sepupuku--Radit, maka dia sudah habis dipukuli ayah dan ternyata benar dugaan ayah dulu, suatu saat Mas Attar akan berpaling."Kamu mau pulang atau tetap di sini?" tanya ibu."Pulang, Bu. Oh iya lupa!" Aku menepuk dahiku karena lupa menghubungi Radit.Kukirimkan pesan padanya, agar langsung ke rumah ibu, karena tadi tidak sengaja ke temu bapak di jalan. Meski belum di baca, aku tahu dia pasti akan langsung ke rumah ini, dengan wajah cemberutnya."Bu, boleh aku titip sesuatu pada ibu?" tanyaku lirih.Ibu bertanya mau menitipkan apa dan untuk apa, dengan lirih aku menceritakan pada ibu semua yang aku alami, dari awal chat yang dilakukan Shanum hingga kejadian tadi, sebelum bapak menjemputku."Ibu sudah menduganya sejak seminggu yang lalu!" Ibu l
"Maksud kamu?" geramku, wajahku mungkin sudah sangat merah padam, karena sindiran halus dari Radit.Radit tertawa melihatku marah, dia memintaku untuk duduk kembali dan menenangkanku. Kemudian memberikan penjelasan versi dia sebagai laki-laki."Mbak, jika laki-laki memilih perempuan lain, itu banyak faktornya dan tidak bisa seratus persen disalahkan. Semua ada sebab musababnya, coba mbak perhatikan baik-baik apa saja yang terjadi tujuh tahun belakangan," Radit seakan menyadarkanku. "Semua bisa, karena Magic, atau memang Attar mata kerangjang, karena jatuh cinta lagi, karena bosan. Ingin merasakan sensasi berbeda, entah itu dari perilaku wanita padanya, masakan wanitanya, harum wanitanya, dan masih banyak yang lainnya. Ini tergantung istrinya sanggup atau tidak mengembalikan keharmonisan keluarganya,"Aku mendengarkan penuturannya dengan sangat baik, meski dia belum menikah, Radit di kelilingi oleh teman-teman yang sudah membina rumah tangga cukup lama. Pastinya dia sudah mengenal berb
"Sudah, sekarang kamu jangan terlalu fokus pada wanaita itu. Kamu fokus bagaimana bisa menjadi lebih baik, dan membuat Attar bisa kembali menjadi dia yang kamu kenal!" Nasehat ibu yang ingin kubantah. Namun, aku ingat dengan diriku yang belum bisa menjaga berat badan, apakah hanya karena ini, Mas Attar hatinya tergoda, dan membuatnya bisa di guna-guna, bukan karena suka. Tentu saja, hal ini membuatku semakin putus asa. Mas Attar adalah lelaki yang bisa menjaga pandangannya, selama kami menikah dan belum dikaruniai anak, dia pernah kuminta untuk menikah lagi, tapi langsung ditolak olehnya. Mas Attar mengatakan akan berjuang dan hidup hanya bersamaku. Kenyataannya, baru tujuh tahun dia sudah berubah. Benar kata pepatah, lelaki diuji, ketika memiliki harta dan tahta. Sedangkan wanita akan diuji, saat suaminya tidak memiliki apa-apa. "Mau ibu antar, atau Radit?" tawar ibu. Tangan ibu mengusap punggungku dengan lembut, terasa sekali kasih sayang yang dia berikan. Terkadang aku merasa se
Aku bertanya, ketika Mas Attar masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam dan langsung menerobos masuk ke kamar, setelah seminggu tidak pulang. Mengobrak-abrik lemari pakaiaan, dan terlihat sangat panik. “Kamu ke mana, kan sertifikat rumah?” tanya Mas Attar marah. “Aku tidak tahu, Mas! Kamu kenapa jadi kasar begini?” tanyaku lirih, berusaha menghormati dia yang selalu membersamaiku selama ini. “Kamu!” Tangan Mas Attar terulur ke leherku, dengan tatapan mata yang sangat tajam. Bebarengan dengan tangis Aqilla yang tidak biasa, sehingga membuat cengkraman tangan Mas Attar terlepas. Aku langsung berlari ke ruang santai, di mana Aqilla tidur di dalam box bayi. Kuangkat anakku, memeriksa tempat tidurnya dengan seksama, takut jika ada semut atau hewan lainnya. Sekilas, kulirik Mas Attar yang terduduk lesu di pinggir ranjang. Tangannya mengacak-acak rambut yang mulai panjang dengan sangat kasar, kemudian memukul ranjang dengan membabi buta. Hatiku cukup mencelos dibuatnya, tidak lagi mengena
Setelah menimang-nimang Aqilla beberapa lama, ibu mertua masuk dan mengambil Aqilla dari dekapan. Memintaku untuk membereskan pakaianku dan Aqilla.“Kamu di sini saja!” ujar ibu, saat aku akan keluar dari kamar dengan membawa tas kosong, karena bajuku ada di kamar di mana Mas Attar berada saat ini.“Kenapa, Bu?” tanyaku, tapi diabaikannya.“Naura!” teriak ibu, memanggil Mbak Naura yang masih saja memarahi Mas Attar. “Kamu saja yang membereskan dan membawa semua baju Yumna, dan Aqilla. Ibu langsung ngajak mereka ke rumah, biar anak enggak tahu diuntung itu bisa berpikir jernih!” lanjut ibu geram.Aku memang memilih diam, tidak ingin memperbesar masalah yang akan membakar diriku sendiri. Menunggu waktu yang tepat untuk berontak.“Kamu pegang! Pinnya tanggal lahir ibu,” Ibu mertua menyodorkan kartu debit gold padaku dan menyebutkan tanggal lahirnya lengkap.Aku menatap matanya yang mulai berkaca-kaca. Sepertinya sedang merasakan ulang, kepedihan dikhianati orang yang sangat dipercaya, ba