"Terserah aku mau menikah dengan siapa!" ketusku. "Lagi pula, kenapa kamu masuk ke sini!" bentakku.Aku berdiri, dan menatap matanya tajam. Begitu juga dengan dirinya yang tidak mengalihkan pandangannya dariku. Sialnya, debaran itu muncul disaat yang tidak tepat."Aku hanya ingin tahu, lelaki mana yang aka menjadi ayah sambung bagi anakku. Jangan lelaki yang tidak berpendidikan dan tidak punya pneghasilan!" ejeknya.Sepertinya lelaki di depanku ini, tidak mempuyai kaca di rumahnya. Atau mungkin kaca pun enggan memperlihatkan sisi buruknya."Setelah kamu tau,kamu mau apa!" Tantangku."Tidak ada lelaki yang pantas untukmu selain aku!" pongahnya.Aku merasakan hawa yang mulai tidak enak, karena ucapan-ucapan Mas Attar. Ekor mataku melirik bapak yang ternyata sudah berdiri di belakangku. Wajahnya memerah dan biirnya bergetar, karena menahan amarah."Lebih baik kamu pergi dari sini, Mas. Dari pada ada keributan di hari bahagia Mbak Naura!" ujarku.Aku mengalah, bukan ingin kalah atau menan
"Beraninya melamar istriku!" teriak Mas Attar, dan satu pukulan mendarat di iga Hilman.Hilman langsung tersungkur, dan mengaduh kesakitan. Aku sangat yakin, jika pukulan Mas Attar mengenai bagian vital di perut bagian sampingnya."Pak," lirihku, yang langsung duduk di sampinG Hilman.Mas Attar mundur, dan pergi seperti pengecut. Tidak heran lagi dengan tingkah anehnya. Apa dia tidak mendengar keputusan hakim, jika kami sudah resmi bercerai dan masa iddahku juga sudah lewat.[Radit! Cepatan pulang, lagi genting di sini. kamu langsung awa motor kamu ke belakang, ya.]Bapak menghubungi Radit, dan meminta adikku segera pulang. Rasanya aku ingin memukul dan membalas apa yang sudah dilakukan ole Mas Attar pada Hilman, hanya karena rasa yang telah usai dia berbuat buruk pada orang yang salah.Cukup lama Radit datang, membuat aku dan bapak kebingungan. Para tetangga menyarankan untuk membawa Radit ke rumah sakit segera, tapi kami juga tidak ingin acara ini berantakan karena ulah Mas Attar.S
Setelah memastikan semua aman dan terkendali, aku meminta ijin pada ibu untuk pergi ke rumah sakit. bagaimana pun, Hilman terluka karena aku. Setidaknya aku harus menjenguknya. "Tapi ini sudah malam, Yumna!" ujar ibu, aku tau ibu khawatir. Akan tetapi, aku juga mengkhawatirkan Hilman. Bukan karena cinta, tapi karena merasa bersalah. Setelah membujuk ibu, dan mendapatkan ijinnya. Aku langsung menuju rumah sakit, tentu sudah mempersiapkan susu dan lainnya untuk Aqila. Beruntunnya, aku memiliki anak yang tidak rewel. Aqila bisa dekat dengan siapa saja, yang sering dilihatnya. *** [Dit, mbak diparkiran nih, kamu di kamar apa dan nomor berapa?] Tanyaku pada Radit. Saat akan berangkat tadi, aku sudah menghubunginya, bertanya mereka ada di rumah sakit mana, tapi lupa menanyakan detailnya. [Tunggu di sana saja, Mbak!] Radit mengakhiri pangilan teleponnya, aku hanya berdiri memperhatikan setiap orang yang lalu lalan. menunggu itu ternyata hal yang tidak mengenakkan. "Mbak enggak capek?
"Aku pikir kamu tertidur," ujarku menahan malu."Aku tadi tidur, tapi aku mendengar suara orang yang aku cintai, jadi otakku langsung merespon," Dengan senyum manis dia memandangku.Salah tingkah, tentu saja. Bagaimana pun hanya Mas Attar yang memandangku selekat itu dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan Radit pun tidak berani melihatku lama-lama, karena takut ada cinta diantara kami, ujarnya waktu itu.Aku beranjak, ingin menjauh dari Hilman. Namun, tanganku dicekal olehnya, membuatku sedikit terhuyung ke samping. Beruntung, aku tidak jatuh ke arah Hilman berbaring."Tenaga kamu sepertinya sudah pulih, seharusnya aku pulang saja!" kesalku. "Lepas tanganku," pintaku kemudian.Hilman melepas tanganku dan meminta maaf karena berlaku kasar. Sebenarnya dia tidak kasar dengan apa yang dilakukannya, hanya saja aku tidak ingin jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya pada lelaki asing, selain bapak.Aku beberapa kali menguap, karena meman cukup lelah. Meskipun pesta itu tidak begitu banyak m
Mataku membulat sempurna, meraba bibir dan mencari apa yang dikatakan oleh gadis kecil yang tidak lain adalah adik dari Hilman.Tante Rumi memukul pundak gadis kecilnya dan memarahinya, sedangkan aku langsung berlari ke kamar mandi. Membasuh wajahku dengan air berkali-kali, aku menepuk keningku sendiri. Merasa lalai dengan kewajibanku sebagai umat beragama."Jam berapa ini?" gumamku.Tidak ingin ambil pusing dengan iler yang dikatakan oleh gadis kecil itu, aku keluar dari kamar mandi dan berpamitan. Tante Rumi mencegahku, dan memintaku untuk menunda kepulanganku, karena ini masih subuh. Mendengar itu, aku bernapas lega."Kalau begitu, saya ke Musala dulu, tan," ijinku.Aku sedikit membungkuk, saat melewati kerabat Hilman yang lainnya. Senyum mereka membuatku sedikit tidak nyaman. aku jadi menafsirkan sesuatu yang tidak baik. Buru-buru aku ke musala terdekat dan melaksanakan sholat, meski jam sudah menunjukkan pukul 6. Prinsipku, lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali."Maaf
Mataku membulat sempurna, meraba bibir dan mencari apa yang dikatakan oleh gadis kecil yang tidak lain adalah adik dari Hilman. Tante Rumi memukul pundak gadis kecildi depanku, dan memarahinya. Sedangkan aku, langsung berlari ke kamar mandi. Mambasuh wajahku beberapa kali dengan air dingin, agar apa yang di katakan oleh gadis itu hilang dan juga kewarasanku kembali normal. Setelah selesai, aku keluar dan langsun berpamitan pada keluarga Hilman. Meski di tahan, aku tidak ingin lama-lama bersama mereka. Lagi pula aku belum melaksanakan sholat subuh yang kesiangan. Buru-buru aku ke musala terdekat dan melaksanakan sholat, meski jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih. prinsipku, lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali. "Maafin Disha, ya. Dia memang sedikit usil," ujar seseorang, ketika aku melipat mukena yang tela kupakai. "Eh, loh, Tan," ucapku kaget. Sedangkan orang di belakangku hanya tersenyum, lagi-lagi membuatku tidak nyaman. Ada apa dengan mereka sebenarnya, kenapa jadi
Setelah mandi dan membantu sedikit pekerjaan, aku menemui bapak. Meskipun ada keraguan, tapi aku tidak bisa menghindari ini."Pak," sapaku.Aku duduk di sampingnya, yang diam menatap ke arah mushaf yang di pegangnya. Jika sudah diam beini, aku bingung harus seperti apaa merayu bapak, pasti dia menahan amarahnya yang dipendam. Aku pun memilih diam dan menunduk, tidak ingin menambah amarah yang masih menguasai bapak."Kamu ada hubungan apa dengan Hilman?" tanya bapak, setelah beberapa saat terdiam."Tidak ada hubungan apa-apa, Pak. Seperti yang bapak ketahui, aku, Radit dan Hilman, adalah sahabat. Kenapa bapak bertanya seperti itu?" tanyaku penasaran. "Apa karena kata-kata Hilman kemarin?" tanyaku dengan serius.Bapak menatapku, tatapannya tidak menunjukkan amarah malah sebaliknya. Teduh dan menenangkan diriku yang masih lelah jiwa dan raga."Pak, Hilman berbicara seperti itu, bukan karena dia menyukaiku. Akan tetapi demi membuat Mas Attar tidak berlaku seenaknya denganku," Kugengam tan
"Apa yang ibu tanyakan!" ketus bapak. "Apa bapak belum yakin dengan Hilman?" tanya ibu. "Apa masih ingin menerima Attar?" Ibu sepertinya sedang memancing amarah bapak dengan pertanyaannya Bapak berdiri dan berjalan keluar dari kamar, menyisakan aku dan ibu yang tertawa aneh. Aku ingin mengejar bapak, tapi di tahan oleh ibu. Ibu memintaku untuk duduk di sampingnya, perlakuan ibu membuatku berdebar. Membuatku kembali mengingat masalalu, yang membuat kami berdua menangis semalaman. "Bu!" tegurku, ketika ibu mulai membelai rambutku, dan tersenyum haru. "Kamu tidak memiliki perasaan pada Hilman?" tanya ibu, sepertinya ibu juga tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Ibu menghela napas berat dan menatapku, menangkup kedua pipiku dan tersenyum manis. Matanya mulai berembun, menandakan ada kesedihan di dalam hatinya yang belum hilang. "Bu, aku belum ingin menikah!" putusku. Rasa trauma itu hanya aku yang rasakannya, tidak mau menunjukkan pada orang-orang yang mencintaiku. Aku hanya